Tuesday, 3 May 2016

STRATEGI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASKAH KUNO

Photo credit to: www.katawarta.com









PENDAHULUAN
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai sejarahnya. Ungkapan tersebut merupakan bentuk penghargaan suatu negara terhadap perjuangan pendahulunya. Namun perjuangan tidak selalu identik dengan peperangan. Perubahan dari masyarakat yang terbelenggu kebodohan dan barbarianisme menuju masyarakat yang hidup berdasarkan norma dan etika merupakan bentuk ’perjuangan peradaban’. Apabila ditelusur kebelakang maka kebudayaan yang ada saat ini merupakan hasil dari proses transformasi kebudayaan pendahulu kita. Pada proses transformasi tersebut muncullah ikon budaya semisal: Piramid di Mesir, Taman gantung di Mesopotamia. Ikon budaya tersebut mampu memperkaya gaya arsitekstur yang ada saat ini. Sehingga kita mengenal gaya arsitek mediteran ataupun bohemian.  
Tidak dipungkiri bahwa bangsa Indonesia mempunyai perjalanan sejarah yang panjang. Dalam rentang sejarah tersebut, telah menyisakan benda-benda sejarah.  Benda bersejarah mampu mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan pola kehidupan masyarakat pada masa lampau.  Sebelum diadakan kajian ilmiah terhadap benda peninggalan sejarah maka masih diragukan kebenaran cerita tentang kejayaan Sriwijaya yang menjadi pusat perkembangan perdagangan dan ilmu pengetahuan di Asia Tenggara pada abad ke V. Atau keberhasilan Patih Gajah Mada mempersatukan nusantara sehingga kerajaan Majapahit mencapai zaman keemasannya.  Namun kebenaran sejarah tersebut terungkap setelah para ilmuwan arkeologi melakukan kajian terhadap relief-relief pada candi maupun transliterasi manuskrip kuno peninggalan kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Gambar-gambar relief tersebut menggambarkan pola kehidupan masyarakat pada masa lampau. Sehingga muncullah pameo yang berbunyi:”  A Pictures show a thousand words” atau bermakna  Sebuah gambar lebih bermakna daripada ribuan huruf .
Kita telah mengetahui bahwa peninggalan benda warisan budaya itu sangat besar manfaatnya. Benda-benda tersebut merupakan bukti sejarah bangsa kita masa lalu. Semua bangsa di dunia berkewajiban memelihara dan melindungi benda-benda peninggalan sejarah. Sekitar abad ke-20, Pemerintah Hindia Belanda memulai mengadakan inventarisasi purbakala. Maka pada tahun 1913 didirikan Dinas Purbakala (Oidheidkundige Dienst). Secara berturut turut dari tahun 1914, 1915 dan 1923 terbitlah dokumen inventaris benda purbakala. Namun hal tersebut bukanlah tanpa pamrih karena bangsa penjajah berhasil mengeksploitasi kekayaan alam maupun kekayaan budaya bangsa Indonesia. Sehingga banyak peninggalan sejarah bangsa Indonesia yang sekarang menjadi koleksi perpustakaan Leiden di Belanda atau perpustakaan Asiatic Society di Inggris. Selain itu, usaha penyelamatan benda budaya terkendala pada tidak adanya kesadaran warga negara Indonesia untuk membantu program tersebut. Seperti halnya kasus penolakan ahli waris benda budaya untuk tetap menyimpan benda tersebut sesuai amanat leluhurnya. Atau naskah kuno yang terlanjur dijual kepada kolektor luar negeri karena ahli waris menjual naskah tersebut dengan alasan ekonomi. Kasus tersebut  menimpa naskah sunda kuno yang berjudul Carita Purwaka Caruban Negari, Pustaka Negara Kertabumi dan Pustaka Pararatuan i Bumi  Javadwipa serta Pustaka Parartuan i Bumi Nusantara  yang berpindah tangan karena ahli waris terpaksa menjualnya (sebab membutuhkan uang untuk berobat)  pada tahun 1969 di Jawa Barat (Kusumo; Pramateng. 1993).



PEMBAHASAN 
A. Peranan Perpustakaan Nasional dalam Usaha Pelestarian Warisan Budaya.
            Perpustakaan merupakan lembaga yang bertanggungjawab melakukan kegiatan penyimpanan, pengolahan, pendistribusian serta pelestarian informasi dari koleksi cetak maupun noncetak. Keberadaaan perpustakaan berkaitan erat dengan usaha pelestarian warisan budaya yang menitikberatkan peranannya pada fungsi kultural. Maksudnya, perpustakaan turut melestarikan warisan budaya dengan menyimpan koleksi budaya serta memfasilitasi kegiatan penelitian, penyebaran informasi dan pendidikan untuk meningkatkan nilai koleksi budaya. Sehingga apresiasi masyarakat terhadap koleksi budaya meningkat.
            Peranan perpustakaan nasional Republik Indonesia tidak jauh berbeda dengan perpustakaan lainnya, khususnya dalam hal  pelestarian budaya. Hanya saja perpustakaan nasional Republik Indonesia menitik beratkan pada tugas pokok fungsinya yakni: melaksanakan pengumpulan dan penyimpanan bahan pustaka tertulis, tercetak dan terekam selengkapnya baik yang terbit di Indonesia maupun di luar negeri sebagai khazanah kebudayaan bangsa dalam arti yang luas serta melaksanakan pelayanannya untuk kepentingan pembangunan nasional dan kemajuan bangsa. (Sulistyo-Basuki: 1991). Kewenangan perpustakaan nasional Republik Indonesia dalam upaya pelestarian Budaya bangsa tidak tumpang tindih dengan instansi lain seperti Arsip Nasional maupun Museum Indonesia. Sebab perpustakaan nasional RI bertanggungjawab melestarikan benda budaya yang memiliki ke-khasan tersendiri semisal: naskah-naskah kuno. 

B. Jenis – Jenis Koleksi Naskah Kuno Yang Patut Di lestarikan.
 Jenis benda peninggalan budaya di Indonesia semakin beragam ketika nenek moyang kita telah mengenal baca tulis. Hal tersebut terbukti saat sekelompok arkeolog menemukan prasasti di situs Ciaretun, kebon kopi, Pasir Jambu di Jawa Barat. Prasasti tersebut membuktikan kepandaian tulis menulis di daerah sunda sejak awal abad kelima. Huruf dan bahasa tulis yang digunakan adalah huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta dari India. Sedangkan naskah sunda kuno berangka 1256 saka ditemukan oleh ilmuwan Belanda yang bernama N. J Krom. Naskah-naskah kuno sunda rata-rata menggunakan bahan antara lain: lontar, janur, daun enau, daun pandan, nipah, daluang dan kertas.
Naskah kuno juga mudah diketemukan di Bali sebab Bali merupakan gudang naskah terkaya di Indonesia. Setiap 210 bertepatan dengan hari suci Saraswati para pemilik naskah rontal membersihkannya beramai-ramai. Naskah rontal mencakup ilmu pengetahuan seperti arsitektur, hukum, perbintangan. Naskah rontal tersebut berjudul antara lain: naskah Asta bumi, Astakosala, Wismakarma atau naskah rontal tentang arsitektur yang berjudul Dharmaning sangging.
Kebudayaan dari India mempengaruhi penulisan naskah-naskah kuno di tanah Jawa. Pemakaian daun palem untuk menulis pada naskah jawa kuno berasal dari India. Hal tersebut diketahui dari sebuah relief candi di Jawa Timur  yang menggambarkan sang kawi mengempit lontar pada tangannya. Seorang pakar budaya yakni Prof.Dr. Zoet mulder mengatakan bahwa titik pangkal penciptaan karya tulis jawa telah berawal pada abad ke-9. Naskah-naskah tersebut ditulis dari aksara jawa, arab, pegon dan latin. Isinya meliputi: lingkungan luar yang merupakan curahan pikiran serta perasaan nenek moyang yang memberikan gambaran hal ikhwal pada jamannya. Sedangkan naskah jawa kuno yang terkenal dan dianggap berharga adalah naskah Negara Kertagama karya Mpu Prapanca. Naskah tersebut ditulis semasa pemerintahan raja Hayam wuruk.Dan setelah sekian lama menghilang, akhirnya naskah itu ditemukan di puri Cakranegara.


C. Metode Pelestarian Terhadap Naskah Kuno
Koleksi naskah kuno patut dilestarikan karena benda-benda tersebut merupakan bukti sejarah bagi bangsa kita. Metode pelestarian terhadap naskah kuno dapat berupa:
1. Preservasi dan Konservasi:
 Preservasi merupakan tindakan rutin untuk mencegah kerusakan pada naskah kuno. Sedangkan bahan naskah tersebut mempunyai sifat kimia yang berbeda dengan kertas. Sehingga naskah perlu perlakuan khusus dalam hal penyimpanan dan pengawetannya. Perlakuan khusus dapat berupa penempatan masnuskrip pada inkubator yang temperaturnya terjaga maupun  pemilihan bahan anti jamur yang unsur kimianya tidak merusak struktur bahan naskah kuno. Patut dipertimbangkan bahwa substansi naskah kuno rentan hilang akibat pengaruh perubahan kimiawi yang terjadi pada bahan manuskrip. Maka  perlu diadakan reproduksi terhadap naskah kuno dengan cara mengalihwujudkan informasi yang terkandung dalam nasakah ke bentuk microfiche atau format digital. Kegiatan konservasi dilakukan sebagai antipasi terhadap kepunahan naskah kuno.
 2. Publikasi
Publikasi naskah kuno kepada masyarakat bertujuan mengenalkan, menyadarkan dan merangsang masyarakat untuk turut melestarikan naskah tersebut. Kita mengambil contoh tentang eksisnya kitab Mahabrata. Masyarakat kita sampai saat ini masih familiar dengan kisah pertarungan antara kekuatan jahat dengan kebajikan yang direpesentasikan oleh Kurawa melawan Pandawa. Pertanyaan yang muncul berkaitan dengan kepopuleran epos Mahabarata ialah: Mengapa kisah tersebut begitu digandrungi di Indonesia ? Padahal kisah Pandawa melawan Kurawa merupakan kisah dalam kitab Mahabarata yang berasal dari India. Realita tersebut merupakan imbas dari kreativitas masyarakat India dalam melestarikan budaya leluhurnya. Kisah-kisah dari Kitab Mahabarata disadur dan dipublikasikan dalam bentuk serial televisi, film, komik dan buku . Sehingga masyarakat India saat ini masih mengenal tokoh-tokoh, alur dan pesan dari kisah Mahabarata. Dari publikasi tersebut setidaknya masyarakat India mencoba melestarikan produk kebudayaan leluhurnya.    
Sebaliknya di Indonesia, pemerintah maupun masyarakatnya masih apatis terhadap upaya pelestarian manuskrip kuno. Sebab akses informasi terhadap naskah-naskah kuno masih terbatas dan kesadaran untuk turut melestarikannya masih rendah. Kegiatan pelestarian masih berkutat pada usaha menyimpan dan mengawetkan dan belum sampai pada usaha pendistribusian informasi ( baca: publikasi). Kegiatan  publikasi naskah kuno dapat berupa pameran secara berkala,  menyusun bibliografi, menyadur cerita –cerita dalam naskah sebagai bahan pembuatan skenario film maupun komik.
3. Perlindungan Hukum.
Perlindungan Hukum terhadap naskah kuno merupakan hal mendesak untuk dilakukan. Sebab fungsi kultural di perpustakaan nasional belum efektif terkendala masih banyaknya naskah-naskah kuno yang tersebar diluar negeri maupun ditangan kolektor barang antik. Selain itu. usaha berupa preservasi, konservasi dan publikasi terhadap naskah-naskah, kuno akan bersinggungan dengan hukum apabila dilakukan secara serampangan. Hal tersebut ditunjang fakta bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki beragam suku, etnis, budaya. Kekayaan dibidang seni dan sastra tersebut  memerlukan perlindungan Hak Cipta terutama hasil olah kriya dan cipta yang berasal dari keanekaragaman tersebut.
        Payung hukum untuk perlindungan hak cipta telah ada sejak tahun 1982 dengan dikeluarkannya UU nomor 6 tahun 1982. Dan UU Hak Cipta berturut-turut mengalami perubahan dengan UU Nomor 7 tahun 1987 dan terakhir diubah dengan UU nomor 19 tahun 2002. Dalam UU Hak Cipta dikenal 4 (empat) istilah penting yang mewakili substansi UU tersebut. Empat istilah beserta definisinya menurut UU nomor 19 tahun 2002 ialah:
1.      Hak Cipta       : Hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut aturan yang berlaku.
2.      Pencipta         : Seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang dituangkan kedalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.
3.      Pemegang Hak cipta  : Pencipta sebagai pemilik Hak Cipta atau pihak yang menerima hak tersebut dari Pencipta atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut.
4.      Lisensi            : Izin yang diberikan oleh pemegang hak cipta atau pemegang hak terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya dengan persyaratan tertentu.
Hak cipta mempunyai sifat yang bergerak. Artinya kepemilihan Hak Cipta dapat dialihkan kepada pihak lain dengan memenuhi syarat-syarat tertentu. Adapun pengambil alihan kepemilikan Hak Cipta terjadi karena Pewarisan, Hibah, Wasiat, Perjanjian Tertulis dan sebab-sebab lain  yang dibenarkan oleh perundang-undangan. Pengambil alihan tersebut tidak dapat dilakukan secara lisan tetapi harus dilakukan secara tertulis baik dengan maupun tanpa akta notaris.
Terbitnya UU Hak Cipta di Indonesia merupakan peluang bagi perpustakaan nasional untuk melestarikan warisan budaya khususnya naskah kuno melalui jalur hukum. Adapun manfaat penerapan UU Hak Cipta ini antara lain: Adanya kejelasan hukum mengenai hubungan antara kekayaan dengan inventor, pencipta, desainer, pemilik, pemakai, perantara yang menggunakannya, wilayah kerja pemanfaatannya dan yang menerima akibat pemanfaatannya dan yang menerima pemanfaatan HAKI untuk jangka waktu tertentu. Serta mempromosikan publikasi ciptaan dalam bentuk dokumen HKI yang terbuka bagi masyarakat.

D. Strategi Pemanfaatan UU Hak Cipta Sebagai Perlindungan Hukum Bagi Naskah Kuno.

 Permasalahan yang dihadapi perpustakaan nasional dalam melestarikan naskah kuno yakni: masih tercecernya naskah kuno baik yang berada di lembaga asing, kolektor benda antik maupun  di pihak ahli waris. Selain itu usaha presevasi dan konservasi dalam rangka melestarikan naskah kuno apabila dilakukan serampangan dapat menimbulkan permasalahan hukum. Demikian halnya dengan publikasi naskah kuno tanpa mengindahkan pranata hukum yang berlaku dapat menimbulkan sengketa terkait kepemilikan Hak Cipta atas naskah yang melibatkan antara pemerintah dengan ahli warisnya atau dengan pihak lainnya. Maka diperlukan sebuah strategi perlindungan hukum terhadap naskah kuno dengan jalan menelaah  pasal-pasal dalam UU nomor 19 tahun 200 tentang Hak Cipta.
Pada dasarnya, perpustakaan nasional mempunyai posisi tawar yang kuat atas kepemilikan naskah-naskah kuno walaupun ada pihak-pihak yang mengklaim dirinya sebagai ahli waris dari naskah tersebut. Pendapat itu merujuk pada pasal  10 UU nomor 19 tahun 2002 yang berbunyi  bahwa ”Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah dan benda budaya nasional lainnya”. Hal tersebut dimaksudkan bahwa negara dapat mencegah adanya monopoli  atau komersialisasi serta tindakan yang merusak tanpa seizin negara Indonesia sebagai pemegang Hak Cipta. Ketentuan ini bertujuan mencegah tindakan dari pihak-pihak yang ingin merusak nilai kebudayaan yang eksis. Sedangkan ciptaan di bidang litelatur, seni, sastra dan program komputer termasuk benda yang dilindungi UU Hak Cipta. Ada beberapa perkecualian terkait pelanggaran hak cipta yakni: penggunaan ciptaan hasil budaya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan pihak pemegang Hak Cipta.
Berikut dibawah ini merupakan permasalahan hukum terkait pelanggaran Hak Cipta atas naskah-naskah kuno berikut strategi yang hendak diterapkan.
1.      Sengketa kepemilikan Hak cipta atas naskah kuno antara ahli waris dengan perpustakaan nasional. Kasus seperti ini muncul ketika perpustakaan nasional coba menginventarisir keberadaan naskah-naskah kuno. Seringkali usaha menghimpun naskah kuno dan menyimpannya di perpustakaan nasional akan mendapat ganjalan dari ahli waris. Hendaknya kepemilikan naskah-naskah kuno berada perpustakaan nasional untuk memudahkan pengawasannya. Hal terkait pengambil alihan kepemilikan Hak cipta, perpustakaan nasional dapat mengambil alternatif pertama: Ahli waris dengan suka rela atau dengan kompensasi tertentu menyerahkan kepemilikan Hak cipta naskah kuno yang dimilikinya kepada perpustakaan jalan dengan cara Hibah, atau Perjanjian tertulis. Alternatif kedua: perpustakaan menempuh jalur hukum. Hal tersebut dimungkinkan dengan merujuk pasal 3 ayat 2e UU nomor 19 tahun 2002 yang menyatakan bahwa Hak Cipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruhnya atau sebagian karena sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.

  1. Penyalahgunaan publikasi naskah kuno untuk kepentingan komersial.
Naskah kuno mempunyai nilai historis dan nilai ekonomis. Sebagai hasil dari kebudayaan lampau, naskah kuno memuat folklor yang bernilai ekonomis apabila dimanfaatkan untuk kepentingan komersial. Folklor yang dimaksud ialah sekumpulan ciptaan tradisional  yang mencakup cerita rakyat, puisi rakyat, lagu dan musik rakyat, taria-tarian serta hasil seni lainnya. Folklor yang disadur dan dialih wujudkan menjadi film,sinetron,  komik oleh praktisi industri hiburan, rata-rata mengalami Booming dimasyarakat.
 Disinilah terjadi penyimpangan publikasi naskah kuno. Sebab kepemilikan atas folklore menjadi milik negara dan publikasi folklore ditujukan untuk kepentingan pendidikan, penelitian dan pelestarian. Sedangkan kasus pengalihwujudan folklore untuk kepentingan komersil tanpa ada persetujuan dari pemilik Hak cipta merupakan sebuah pelanggaran hukum. Solusi dari permasalahan itu adalah negara memberikan lisensi kepada pihak yang berkepentingan untuk memanfaatkan folklore dengan konsekuensi yang disepakati bersama.

 PENUTUP
Indonesia, sebagai bangsa yang besar, dituntut untuk mengamankan dan melestarikan aset-aset kebudayaan demi kepentingan bersama. Sehingga anak cucu kita kelak masih mengenal kebudayaan pendahulunya yang direpresentasikan oleh benda-benda peninggalan sejarah.  Dalam melestarikan peninggalan sejarah, seringkali perpustakaan nasional mengalami hambatan dan tantangan. Wujudnya dapar berupa klaim sepihak atas kepemilikan ilegal peninggalan sejarah oleh pihak yang tidak berkepentingan. Ataupun penyalah gunaan folklore untuk kepentingan komersial. Penyimpangan-penyimpangan tersebut mengarah pada pelanggaran hukum perdata. Perpustakaan Nasional sebagai lembaga yang berkompeten menjalankan fungsi kultural dituntut proaktif mengantisipasi permasalahan terkait Hak cipta atas naskah kuno. Konkretnya ialah perpusnas hendaknya mengimplementasikan Undang-undang nomor 19 tahun 2002 tentang hak cipta.
Meskipun realita dilapangan seringkali terjadi benturan kepentingan antara usaha pelestarian dan penegakan hukum. Alangkah bijaknya bila para pemegang kebijakan pada instansi terkait melakukan tindakan kompromis dalam koridor hukum. Tindakan tersebut berupa pengambil alihan Hak cipta atas kepemilikan naskah kuno dari pihak yang tidak berhak kepada negara. Hal tersebut mengacu pada pasal 3 UU nomor 19 tahun 2002. Serta memberikan lisensi bagi praktisi industri hiburan ( Penerbit, produser maupun penulis skrip) yang produknya bersumber pada folklore. Demikianlah uraian tentang strategi perlindungan hukum bagi naskah kuno.


Daftar pustaka:
  1. Kusumo, Pramateng. Menimba Ilmu dari Museum; Jakarta: Balai Pustaka;1993.
  2. Manaf, Abdul.Himpunan Peraturan Perundang-undangan dibidang Hak-Hak Atas Kekayaan Intelektual. Bandung: Mandar Maju; 2004.
  3. Sulistyo-Basuki. Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: Gramedia; 1993.


0 comments: