(photo credit: commons.wikimedia.org) |
“Carpe Diem”
yang bermakna : “Sesuatu yang tertulis
tetap akan dikenang”. Tulisan merupakan jembatan antara masa lalu dan saat ini. Tak
mengherankan jika pemikiran Karl Max; William Shakespeare maupun Ir. Sukarno
masih hidup, walaupun raga mereka telah terkubur. Mereka hadir ketengah-tengah
kita melalui buku Das Kapital; Roman Romeo dan Juliet serta Di Bawah Bendera
Revolusi. Tulisan dapat menggambarkan tingkat peradapan suatu bangsa. Melalui
tulisan paku (hieroglip) yang tertulis diatas lempeng-lempeng tanah maka kita mengetahui
kecanggihan arsitektur bangsa Sumeria dengan taman gantungnya. Dan berkat
tulisannya, Carl Berstein dan Bob B.Woodland memenangkan Pulitzer karena mereka
berhasil membongkar skandal besar water gate. Skandal yang memaksa Presiden
Nixon turun dari jabatannya.
Menulis bukanlah monopoli kalangan ilmuwan, cendekiawan
maupun wartawan. Hanya saja
mereka telah terlatih menuangkan ide yang mereka miliki kedalam tulisan. Pada
dasarnya, semua orang bisa menulis karena baca tulis merupakan kemampuan dasar
yang diperoleh dari bangku sekolah. Namun ketrampilan menulis masyarakat awam
kurang terasah sehingga terkesan menulis sebagai aktivitas ekslusif. Kurang berkembangnya kegiatan
kepenulisan disebabkan oleh faktor sebagai berikut:
1. Rendahnya motivasi diri untuk menulis
seringkali dianggap sebagai pemicunya. Hal tersebut muncul akibat mispersepsi
terhadap dunia kepenulisan. Selama ini masyarakat menganggap bahwa menulis
belum bisa sebagai gantungan hidup. Selain itu, profesi penulis masih kalah
pamor dari profesi lainnya. Krisis ekonomi yang mendera Indonesia saat ini
telah memalingkan orientasi masyarakat awam untuk mengejar hal-hal bersifat
materialisme. Jika ditelisik lebih dalam maka menulis merupakan solusi jitu
ditengah himpitan ekonomi saat ini. Menjamurnya berbagai media massa dan
masyarakat yang haus akan hiburan merupakan dampak dari reformasi dan krisi
ekonomi yang berkepanjangan. Dan menulis dapat memanfaatkan dua kondisi
tersebut sebagai peluang usaha. Bermodalkan ide kreatif dan orisinil maka seseorang
dapat menuangkan idenya kedalam novel, kolumnis maupun naskah skenario (scriptwriter). Siapa
sangka J.K Rowling berhasil naik strata sosialnya menjadi milyader berkat novel
Harry Potter yang laris dipasaran. Ataupun Andrea Hirata dengan novel Laskar
Pelanginya yang berhasil melambungkan namanya.
2. Rendahnya tingkat melek (literasi) informasi. Budaya tutur yang mengakar
menyebabkan masyarakat awam cenderung menyukai komunikasi lisan. Namun pola
komunikasi ini mempunyai kelemahan yakni: informasinya bias dan terbatas
jangkauannya. Pola komunikasi terkait erat dengan kegiatan menulis. Karena
aktivitas ini memerlukan informasi yang valid, cepat dan tepat. Seiring
perkembangan zaman terjadi pergeseran pola komunikasi tradisional ke pola
komunikasi modern yang memadukan teknologi komunikasi dan informasi (ICT). Kondisi
tersebut jika tidak dipersiapkan secara matang akan memunculkan masyarakat yang
gagap teknologi (gaptek). Dan masyarakat gaptek merupakan cerminan dari
rendahnya tingkat literasi informasi. Penulis atau calon penulis mutlak
menguasai literasi informasi karena hal ini terkait dengan ketrampilan dan kemampuan berkomunikasi dan menggunakan
berbagai media teknologi informasi.
3. Sikap mudah menyerah. Pesimisme seringkali
menghantui calon penulis ketika mengirimkan naskah hasil karya mereka ke media.
Apakah naskah yang mereka kirimkan layak muat atau sebaliknya berakhir di bak
sampah ? sebuah pertanyaan yang seringkali muncul dibenak calon penulis.
Penolakan sah-sah saja terjadi karena hal itu merupakan hak prerogratif editor. Seorang editor berwenang memberikan penilaian terhadap sebuah naskah. Penilain tersebut berdasar pada kaidah-kaidah
penulisan yang baik dan kesesuaian naskah dengan jenis media yang mereka kelola.
Penolakan jangan sampai menjadi trauma bagi calon penulis. Hendaknya penolakan
dijadikan sebagai pelecut untuk menghasilkan karya yang lebih berkualitas
sembari mengatur strategi menahlukkan editor.
Ketiga aspek tersebut menjadi faktor penghambat mengembangkan budaya tulis.
Bagaimana membiasakan diri menulis. ?
Bagaimana membiasakan diri menulis. ?
Menulis merupakan sebuah ketrampilan. Dia ibarat
pisau yang akan semakin tajam jika diasah. Tradisi menulis dapat berawal dari pembiasaan
individu yang dilakukan secara kontinyu. Awali pembiasaan tersebut dengan
menulis pengalaman sehari-hari pada buku harian atau berkorespondesi.
Pembiasaan tersebut akan melatih calon penulis dalam menuangkan ide-ide yang dimilikinya.
Biasakanlah membaca atau berdiskusi untuk memperkaya wawasan. Omong kosong jika
seseorang mengaku bisa menulis tanpa membaca. Kedua hal tersebut ibarat dua
sisi mata uang. Membaca merupakan sarana efektif untuk mengakses informasi
karena informasi dari membaca lebih
mudah disimpan otak daripada informasi yang bersifat audio. Sedangkan untuk
menggali ide-ide kreatif maka kita dapat bergabung dengan kelompok menulis. Dalam kelompok tersebut, kita akan dilatih mengkritisi sesuatu
hal melalui diskusi. Proses diskusi tersebut akan merangsang kita berpikir
kreatif. Selanjutnya adalah melatih intuisi menulis dengan mengirimkan naskah
ke media atau mengikuti berbagai lomba penulisan. Karena semakin sering kita
mengirimkan naskah maka semakin tinggi pula jam terbang kita dalam dunia
kepenulisan. Dari situlah kita dapat menentukan tingkat kemampuan menulis serta
mengidentifikasi spesilaisasi kepenulisan. Karena intuisi menulis terkait
dengan kemampuan kita mengendus tema-tema yang lagi hangat untuk dibahas, gaya
kepenulisan serta tehnik-tehnik menulis. Last but not least adalah membangun
mentalitas pantang menyerah. Seperti dikemukakan diatas bahwa menulis ditentukan
oleh sembilanpuluh sembilan persen usaha dan satu persen bakat. Jadi apabila
saat ini kita belum mampu menulis maka tidak ada salahnya untuk memulai menulis
dan mengirimkan tulisan anda ke berbagai media. Apapun hasilnya maka hal itu
harus menjadikan kita terlecut untuk menghasilkan karya-karya yang bermutu. Jadikan
menulis sebagai tradisi yang mengangkat harkat bangsa ini.
0 comments:
Post a Comment