Deklarasi kesetaraan akses informasi pada World Summit on the information
society (WSIS) di Geneva (2003) dan Tunisia (2005) menjadi pijakan bagi
pengembangan masyarakat informasi secara global. Tatanan masyarakat baru tersebut bercirikan memiliki kebebasan
berekspresi dalam hal penciptaan, pemanfaatan dan pendistribusian konten
digital (Sudarsono
et al. 2009). Perkembangan teknologi infomasi yang pesat turut mendukung pengembangan
masyarakat informasi sebab penemuan internet pada tahun 1960-an dan pengembangan
teknologi website 1990-an telah mendorong masyarakat disegala penjuru dunia untuk
memproduksi sekaligus mendistribusikan informasi melalui internet. Alhasil
kesetaraan akses informasi bertransformasi menjadi hak dasar bagi setiap insan
manusia sebagaimana hak mendapatkan layanan kesehatan dan pendidikan. Manifesto pada deklarasi WSIS mengakui kesetaraan hak dalam
mengakses informasi sebagai hak dasar manusia.
. Walaupun perkembangan teknologi informasi telah
mendorong terbentuknya masyarakat informasi, namun pemerataan akses informasi
masih terkendala dengan keterbatasan infrastruktur dan keterbatasan literasi
informasi. Dalam konteks lokal,
pengembangan literasi informasi pada masyarakat Nusa Tenggara Timur masih
memerlukan kerja keras. Mengingat bentang wilayah NTT yang yang didominasi oleh
perairan dan topografinya yang dominan pegunungan menyebabkan pembangunan
infrastruktur telekomunikasi akan membutuhkan investasi yang besar. Selain itu,
struktur sosial masyarakat NTT memiliki keberagaman etnis, latar belakang
pendidikan dan ekonomi. Keragaman struktur
sosial tersebut menyebabkan upaya pengentasan ‘buta informasi’ (illiteracy information) masyarakat NTT
sampai lapisan terbawah akan membutuhkan waktu yang panjang dan kerja keras.
Segala keterbatasan diatas tidak menyurutkan niat
perpustakaan, pustakawan dan organisasi profesi kepustakawanan untuk
berkontribusi mengembangkan literasi informasi bagi masyarakat di NTT. Upaya
tersebut tidak mustahil dilakukan apabila perpustakaan dan stakeholdernya mampu
merumuskan program dan strategi yang tepat. Perpustakaan sebagai lembaga
pengelola informasi dapat mengadopsi konsep ‘ATM’ (Amati, Tiru dan Modifikasi)
program pengembangan literasi informasi yang telah sukses di tempat lain. Salah
satu program yang telah berjalan di Adelaide, Australia
Selatan adalah pengembangan literasi informasi berbasis komunitas. Hal yang
mendasari program tersebut adalah fitrah manusia sebagai mahluk sosial. Manusia
akan berinteraksi dalam sesamanya dalam sebuah kelompok atau komunitas.
Diyakini bahwa pengembangan literasi informasi berbasis komunitas akan berjalan
lebih efektif jika dibandingkan pengembangan literasi informasi berbasis
individual.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan beberapa
program terbaik dalam rangka pengembangan literasi informasi berbasis komunitas
dari beberapa perpustakaan di Adelaide. Adapun data yang diperoleh berdasarkan
observasi dan studi kepustakaan.
Mengenal konsep literasi informasi, komunitas
dan perilaku serta kebutuhan informasi pada beberapa komunitas.
Istilah literasi informasi bermakna sebagai kemampuan atau
keterampilan individual dalam rangka mengidentifikasi kebutuhan informasi dan
sumber penyedia informasinya, menentukan strategi pencarian informasi dan menemukan
informasi yang tepat serta mengevaluasi sumber penyedia informasi (Association
of College and Research Libraries 2000). Merujuk
pada definisi tersebut maka literasi informasi dapat dikategorikan sebagai
ketrampilan hidup (life skill) karena
ketrampilan tersebut dapat meningkatkan kualitas hidup seseorang. Semisal:
seorang awam yang memiliki ketrampilan informasi akan mudah mengakses dan
menemukan lowongan pekerjaan atau peluang usaha hanya dengan mengidentifikasi
kebutuhan informasi, menentukan strategi pencarian dan mengevaluasi hasil
penelusuran dengan bantuan teknologi informasi. Dia akan lebih mudah menemukan informasi
tentang lowongan pekerjaan beserta persyaratannya. Alhasil dia akan lebih percaya diri untuk berkompetisi dengan pelamar
pekerjaan lainnya. Dengan kata lain, orang yang terampil informasi akan
selangkah lebih maju jika dibandingkan dengan orang yang tidak terampil
informasi.
Ketrampilan informasi dapat diperoleh melalui dua metode yakni:
Pertama adalah otodidak. Beberapa individu memiliki kelebihan dalam belajar dan
menyerap pengetahuan secara mandiri. Individu tersebut dapat mengasah
ketrampilan informasi secara mandiri dengan bantuan buku manual maupun video tutorial.
Namun metode ototidak membutuhkan proses yang panjang, intensitas yang tinggi
serta berkesinambungan. Kedua adalah melalui pelatihan bersifat formal maupun
informal. Seseorang dapat mengasah ketrampilan informasinya dengan mengikuti
pelatihan. Penyelenggara pelatihan akan menyediakan tenaga pengajar, sarana
prasarana serta silabus sehingga peserta pelatihan akan memperoleh pengetahuan
dan mampu mengembangkan ketrampilan informasinya secara sistematis dan terarah.
Pada umumnya, pelatihan tersebut diselenggarakan secara berkelompok atau secara
komunal.
Adapun istilah komunitas bermakna sebagai kumpulan individu yang
memiliki keterikatan antar anggota kelompok dan pengelompokkan tersebut dapat
berdasarkan atas kesamaan minat/hobby, kesamaan profesi/pekerjaan maupun
kesamaan usia. Menimbang keterbatasan waktu maka makalah
ini membatasi ruang lingkup pembahasan komunitas berdasarkan profesi meliputi: Pelajar/Mahasiswa,
dan Veteran/Pensiunan.
Setiap komunitas memiliki jenis kebutuhan informasi
yang berbeda dengan komunitas lainnya. Semisal komunitas pelajar atau mahasiswa
akan membutuhkan informasi bersifat saintifik guna menunjang kegiatan akademik
seperti pembuatan makalah, pembuatan tugas akhir ataupun pembuatan artikel
ilmiah. Lain lagi dengan kebutuhan informasi para professional seperti akuntan,
dokter maupun pengacara. Para professional tersebut membutuhkan informasi yang
menunjang profesi mereka, seperti regulasi profesi, standarisasi profesi serta
berita profesi terbaru. Sedangkan para pensiunan akan membutuhkan informasi
terkait kesehatan, pengembangan minat/hobi maupun pengembangan jaringan sosial.
Program
literasi informasi pada komunitas terpilih
Program
Tech Savy di Perpustakaan Hamra, City of West Torrent
Kemampuan mengidentifikasi sumber informasi dan melakukan
penelusuran informasi dapat dikategorikan sebagai kemampuan dasar literasi
informasi. Perpustakaan Hamra menyediakan program technical savy atau pelatihan
penggunaan teknologi baik berupa pemanfaatan internet dan aplikasinya maupun
penggunaan komputer. Tujuan program tersebut adalah mengembangkan ketrampilan
literasi informasi tingkat dasar. Sasaran pesertanya adalah pelajar K-12 dan
pensiunan. Pelatihan tersebut dilakukan setiap akhir pekan dengan topik
terpilih, semisal: topik pelatihan pada bulan ini adalah penggunaan pemanfaatan
internet dengan sub-topik penggunaan surat elektronik (e-mail), penggunaan mesin pencari (google), dan penggunaan aplikasi penunjang lainnya. Prosedur
pendaftarannya pun cukup mudah karena calon peserta yang berminat cukup
menghubungi petugas di stand informasi Perpustakaan Hamra untuk mendaftarkan
diri.
Adapun setiap sesinya terbatas 10 orang peserta dan
durasi waktunya berkisar 60 menit. Pustakawan bertindak sebagai fasilitator
akan memberikan bekal pengetahuan teknis terkait materi tech savvy.
Selanjutnya, peserta akan praktek langsung menggunakan internet atau komputer
dibawah bimbingan fasilitator. Program tersebut bersifat semi privat karena
peserta yang mengalami kesulitan akan dibimbing oleh fasilitator sampai peserta
tersebut sampai terampil menggunakan internet dan aplikasinya.
Program Management Sitiran: pengembangan literasi informasi mahasiswa di
perpustakaan Unversitas Australia Selatan (UniSA Library)
Kemampuan mengelola
hasil penelusuran informasi merupakan tingkatan puncak dalam literasi
informasi. Hal tersebut yang mendorong Unversitas Australia Selatan atau lebih
dikenal dengan istilah UniSA Library untuk menginiasi program managemen sitiran
(reference management). Program
tersebut merupakan salah satu bagian dari wokshop strategi sukses dalam
penelitian: Menemukan dan mengelola informasi (Du and
Evans 2011). Adapun tujuan program
tersebut adalah meningkatkan ketrampilan mengoperasikan aplikasi pengelolaan
sitiran (semisal: Endnote, Mendeley dan Zotero) dan meningkatkan keakurasian
penggunaan gaya sitiran yang tepat. Perlu diketahui bahwa terampil mengelola
sitiran akan menghindarkan mahasiswa atau civitas akademika dari pelanggaran
plagiat.Adapun sasaran pesertanya adalah mahasiswa program strata 1 sampai
strata 3 di Universitas South Australia. Para calon peserta perlu mendaftar
secara online sebelum mnegikuti program tersebut karena setiap sesi pelatihan
terbatas bagi 20 orang peserta.
Pematerinya adalah
pustakawan lingkup UniSA yang menguasai reference management software. Durasi
pelatihan selama 45 menit dan metode pelatihan adalah tatap muka disertai
praktikum. Pelatihan tersebut ditunjang oleh ketersediaan software reference
manager, komputer dan jaringan internet yang memadai. Adapun materinya
meliputi: cara menginstalasi software, pembuatan akun pengguna dan setting akun
di software reference manager, proses input file sitasi beserta pelampiran file
pdfnya serta cara menginsert file sitiran pada lembar kerja pada mikrosoft
word. Pada akhir pelatihan, para peserta diminta mengisi kuesioner sebagai
bahan evaluasi bagi pengembangan program pelatihan tersebut dimasa mendatang.
Analisis
Keberhasilan Program-Program Literasi Informasi Berbasis Komunitas
Beberapa contoh pengembangan literasi informasi berbasis komunitas
memberikan kontribusi positif bagi masyarakat. Salah satu bentuknya adalah
semakin meningkatnya kualitas hidup masyarakat yang ‘melek informasi. Merujuk
hasil penelitian tentang peran perpustakaan umum dalam pengembangan jejaring
masyarakat informasi dengan menggunakan internet menunjukkan bahwa pengembangan
literasi informasi berbasis komunitas merupakan salah satu katalis dalam
peningkatan modal sosial, yakni: peningkatan kualitas pengetahuan yang diiringi
oleh peningkatan kualitas hidup (Pettigrew,
Durrance, and Unruh 2002).
Selain itu, terdapat sebuah hasil penelitian yang
menjelaskan tentang keberhasilan pengembangan program literasi informasi
berbasis komunitas. Menurut (Bruce 2011), keberhasilan tersebut tidak terlepas dari
reposisi peran perpustakaan yang ‘sensitif’ mengidentifikasi kebutuhan informasi pemustakanya dan perpustakaan yang proaktif
serta inovatif menginiasi program literasi informasi sesuai kebutuhan informasi
pemustakanya. Weiner (1997) dalam Bruce (2011) mengidentifikasi peran
perpustakaan sebagai jembatan informasi dan teknologi informasi antara
komunitas dengan sumber informasinya. Selanjutnya perpustakaan mengembangkan
program literasi informasi dengan tujuan menjadikan komunitas tersebut mandiri
dalam penelusuran informasi. Merujuk pada hasil penelitian tersebut maka
perpustakaan berperan penting dalam pengembangan literasi informasi masyarakat.
Kuncinya adalah perpustakaan harus pro aktif dalam mengidentifikasi kebutuhan
informasi pemustakanya. Selanjutnya, perpustakaan harus inovatif menginiasi
program literasi informasi disesuaikan kebutuhan informasi pemustakanya.
Penutup
Deklarasi WSIS mendorong
terbentuknya masyarakat informasi yang bercirikan keleluasaan dalam mencipta,
memanfaatkan dan menyebarluaskan informasi. Pengembangan masyarakat informasi
perlu ditunjang oleh kesetaraan dan pemerataan informasi, tetapi kedua aspek
tersebut masih menjadi kendala bagi pengembangan literasi informasi bagi
masyarakat di negara berkembang. Salah satu cara mengikis kendala tersebut
adalah dengan pengembangan literasi informasi dengan merujuk konsep Amati, Tiru
dan Modifikasi.
Beberapa perpustakaan diluar
negeri berhasil mengembangkan program literasi berbasis komunitas. Adapun
tujuannya adalah meningkatkan kualitas hidup masyarakat dengan memberkali
masyarakat tersebut dengan kemampuan mengidentifikasi, mencari dan memanfaatkan
informasi. Sebagai contohnya adalah program Tech savvy pada peprustakaan Hamra
yang menyasar komunitas pelajar dan manusia lanjut usia serta program manajemen
sitiran dengan target pesertanya adalah mahasiswa S1, S2, dan S3.
Adapun kunci keberhasilan pengembangan literasi informasi adalah
pro-aktifnya perpustakaan mengidentifikasi kebutuhan informasi
pengguna.Selanjutnya, perpustakaan berperan sebagai jembatan informasi antara
pemustaka dengan sumber informasi dengan jalan memfasilitasi berbagai pelatihan
literasi informasi
Pengembangan literasi informasi berbasis komunitas merupakan metode yang
efektif untuk membekali masyarakat ketrampilan berinformassi menuju masyarakat
informasi yang cerdas dan beradab.
*Makalah ini
dipresentasikan pada Rapat Kerja Ikatan Pustakawan Indonesia Nusa Tenggara Timur. Kupang, 2 Agustus 2017
Daftar Pustaka
Association
of College and Research Libraries. 2000. “Information Literacy Competency
Standards for Higher Education.” presented at the Midwinter Meeting of the
American Library Association, San Antonio,Texas, January 18.
Bruce, Christine. 2011. “Information Literacy Programs and
Research: An International Review.” The Australian Library Journal 63
(4): 326–33.
Du, Jia Tina, and Nina Evans. 2011. “Academic Library Services
Support For Research Information Seeking.” Academic Library Services Support
For Research Information Seeking 42 (2): 103–20.
Pettigrew, Karen E., Joan C. Durrance, and Kenton T. Unruh. 2002.
“Facilitating Community Information Seeking Using the Internet: Findings from
Three Public Library–Community Network Systems.” JOURNAL OF THE AMERICAN
SOCIETY FOR INFORMATION SCIENCE AND TECHNOLOGY 53 (11): 894–903.
Sudarsono, Blasius, Latuputy Hanna, Hadimono Winda, and Hariyadi
Utami. 2009. Literasi Informasi (Information Literacy): Pengantar Untuk
Perpustakaan Sekolah. Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
0 comments:
Post a Comment