Monday, 30 March 2020

Best Practice Pengembangan Literasi Informasi Berbasis Komunitas


Deklarasi kesetaraan akses informasi pada World Summit on the information society (WSIS) di Geneva (2003) dan Tunisia (2005) menjadi pijakan bagi pengembangan masyarakat informasi secara global. Tatanan masyarakat baru tersebut bercirikan memiliki kebebasan berekspresi dalam hal penciptaan, pemanfaatan dan pendistribusian konten digital (Sudarsono et al. 2009). Perkembangan teknologi infomasi yang pesat turut mendukung pengembangan masyarakat informasi sebab penemuan internet pada tahun 1960-an dan pengembangan teknologi website 1990-an telah mendorong masyarakat disegala penjuru dunia untuk memproduksi sekaligus mendistribusikan informasi melalui internet. Alhasil kesetaraan akses informasi bertransformasi menjadi hak dasar bagi setiap insan manusia sebagaimana hak mendapatkan layanan kesehatan dan pendidikan. Manifesto pada deklarasi WSIS mengakui kesetaraan hak dalam mengakses informasi sebagai hak dasar manusia.
. Walaupun perkembangan teknologi informasi telah mendorong terbentuknya masyarakat informasi, namun pemerataan akses informasi masih terkendala dengan keterbatasan infrastruktur dan keterbatasan literasi informasi. Dalam konteks lokal, pengembangan literasi informasi pada masyarakat Nusa Tenggara Timur masih memerlukan kerja keras. Mengingat bentang wilayah NTT yang yang didominasi oleh perairan dan topografinya yang dominan pegunungan menyebabkan pembangunan infrastruktur telekomunikasi akan membutuhkan investasi yang besar. Selain itu, struktur sosial masyarakat NTT memiliki keberagaman etnis, latar belakang pendidikan dan ekonomi.  Keragaman struktur sosial tersebut menyebabkan upaya pengentasan ‘buta informasi’ (illiteracy information) masyarakat NTT sampai lapisan terbawah akan membutuhkan waktu yang panjang dan kerja keras.
Segala keterbatasan diatas tidak menyurutkan niat perpustakaan, pustakawan dan organisasi profesi kepustakawanan untuk berkontribusi mengembangkan literasi informasi bagi masyarakat di NTT. Upaya tersebut tidak mustahil dilakukan apabila perpustakaan dan stakeholdernya mampu merumuskan program dan strategi yang tepat. Perpustakaan sebagai lembaga pengelola informasi dapat mengadopsi konsep ‘ATM (Amati, Tiru dan Modifikasi) program pengembangan literasi informasi yang telah sukses di tempat lain. Salah satu program yang telah berjalan di Adelaide, Australia Selatan adalah pengembangan literasi informasi berbasis komunitas. Hal yang mendasari program tersebut adalah fitrah manusia sebagai mahluk sosial. Manusia akan berinteraksi dalam sesamanya dalam sebuah kelompok atau komunitas. Diyakini bahwa pengembangan literasi informasi berbasis komunitas akan berjalan lebih efektif jika dibandingkan pengembangan literasi informasi berbasis individual.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan beberapa program terbaik dalam rangka pengembangan literasi informasi berbasis komunitas dari beberapa perpustakaan di Adelaide. Adapun data yang diperoleh berdasarkan observasi dan studi kepustakaan.

Mengenal konsep literasi informasi, komunitas dan perilaku serta kebutuhan informasi pada beberapa komunitas.
Istilah literasi informasi bermakna sebagai kemampuan atau keterampilan individual dalam rangka mengidentifikasi kebutuhan informasi dan sumber penyedia informasinya, menentukan strategi pencarian informasi dan menemukan informasi yang tepat serta mengevaluasi sumber penyedia informasi (Association of College and Research Libraries 2000). Merujuk pada definisi tersebut maka literasi informasi dapat dikategorikan sebagai ketrampilan hidup (life skill) karena ketrampilan tersebut dapat meningkatkan kualitas hidup seseorang. Semisal: seorang awam yang memiliki ketrampilan informasi akan mudah mengakses dan menemukan lowongan pekerjaan atau peluang usaha hanya dengan mengidentifikasi kebutuhan informasi, menentukan strategi pencarian dan mengevaluasi hasil penelusuran dengan bantuan teknologi informasi. Dia akan lebih mudah menemukan informasi tentang lowongan pekerjaan beserta persyaratannya. Alhasil dia akan lebih  percaya diri untuk berkompetisi dengan pelamar pekerjaan lainnya. Dengan kata lain, orang yang terampil informasi akan selangkah lebih maju jika dibandingkan dengan orang yang tidak terampil informasi.
Ketrampilan informasi dapat diperoleh melalui dua metode yakni: Pertama adalah otodidak. Beberapa individu memiliki kelebihan dalam belajar dan menyerap pengetahuan secara mandiri. Individu tersebut dapat mengasah ketrampilan informasi secara mandiri dengan bantuan buku manual maupun video tutorial. Namun metode ototidak membutuhkan proses yang panjang, intensitas yang tinggi serta berkesinambungan. Kedua adalah melalui pelatihan bersifat formal maupun informal. Seseorang dapat mengasah ketrampilan informasinya dengan mengikuti pelatihan. Penyelenggara pelatihan akan menyediakan tenaga pengajar, sarana prasarana serta silabus sehingga peserta pelatihan akan memperoleh pengetahuan dan mampu mengembangkan ketrampilan informasinya secara sistematis dan terarah. Pada umumnya, pelatihan tersebut diselenggarakan secara berkelompok atau secara komunal.
Adapun istilah komunitas bermakna sebagai kumpulan individu yang memiliki keterikatan antar anggota kelompok dan pengelompokkan tersebut dapat berdasarkan atas kesamaan minat/hobby, kesamaan profesi/pekerjaan maupun kesamaan usia. Menimbang keterbatasan waktu maka makalah ini membatasi ruang lingkup pembahasan komunitas berdasarkan profesi meliputi: Pelajar/Mahasiswa, dan Veteran/Pensiunan.
Setiap komunitas memiliki jenis kebutuhan informasi yang berbeda dengan komunitas lainnya. Semisal komunitas pelajar atau mahasiswa akan membutuhkan informasi bersifat saintifik guna menunjang kegiatan akademik seperti pembuatan makalah, pembuatan tugas akhir ataupun pembuatan artikel ilmiah. Lain lagi dengan kebutuhan informasi para professional seperti akuntan, dokter maupun pengacara. Para professional tersebut membutuhkan informasi yang menunjang profesi mereka, seperti regulasi profesi, standarisasi profesi serta berita profesi terbaru. Sedangkan para pensiunan akan membutuhkan informasi terkait kesehatan, pengembangan minat/hobi maupun pengembangan jaringan sosial.

Program literasi informasi pada komunitas terpilih
Program Tech Savy di Perpustakaan Hamra, City of West Torrent
Kemampuan mengidentifikasi sumber informasi dan melakukan penelusuran informasi dapat dikategorikan sebagai kemampuan dasar literasi informasi. Perpustakaan Hamra menyediakan program technical savy atau pelatihan penggunaan teknologi baik berupa pemanfaatan internet dan aplikasinya maupun penggunaan komputer. Tujuan program tersebut adalah mengembangkan ketrampilan literasi informasi tingkat dasar. Sasaran pesertanya adalah pelajar K-12 dan pensiunan. Pelatihan tersebut dilakukan setiap akhir pekan dengan topik terpilih, semisal: topik pelatihan pada bulan ini adalah penggunaan pemanfaatan internet dengan sub-topik penggunaan surat elektronik (e-mail), penggunaan mesin pencari (google), dan penggunaan aplikasi penunjang lainnya. Prosedur pendaftarannya pun cukup mudah karena calon peserta yang berminat cukup menghubungi petugas di stand informasi Perpustakaan Hamra untuk mendaftarkan diri.
Adapun setiap sesinya terbatas 10 orang peserta dan durasi waktunya berkisar 60 menit. Pustakawan bertindak sebagai fasilitator akan memberikan bekal pengetahuan teknis terkait materi tech savvy. Selanjutnya, peserta akan praktek langsung menggunakan internet atau komputer dibawah bimbingan fasilitator. Program tersebut bersifat semi privat karena peserta yang mengalami kesulitan akan dibimbing oleh fasilitator sampai peserta tersebut sampai terampil menggunakan internet dan aplikasinya.

Program Management Sitiran: pengembangan literasi informasi mahasiswa di perpustakaan Unversitas Australia Selatan (UniSA Library)
Kemampuan mengelola hasil penelusuran informasi merupakan tingkatan puncak dalam literasi informasi. Hal tersebut yang mendorong Unversitas Australia Selatan atau lebih dikenal dengan istilah UniSA Library untuk menginiasi program managemen sitiran (reference management). Program tersebut merupakan salah satu bagian dari wokshop strategi sukses dalam penelitian: Menemukan dan mengelola informasi (Du and Evans 2011). Adapun tujuan program tersebut adalah meningkatkan ketrampilan mengoperasikan aplikasi pengelolaan sitiran (semisal: Endnote, Mendeley dan Zotero) dan meningkatkan keakurasian penggunaan gaya sitiran yang tepat. Perlu diketahui bahwa terampil mengelola sitiran akan menghindarkan mahasiswa atau civitas akademika dari pelanggaran plagiat.Adapun sasaran pesertanya adalah mahasiswa program strata 1 sampai strata 3 di Universitas South Australia. Para calon peserta perlu mendaftar secara online sebelum mnegikuti program tersebut karena setiap sesi pelatihan terbatas bagi 20 orang peserta.
Pematerinya adalah pustakawan lingkup UniSA yang menguasai reference management software. Durasi pelatihan selama 45 menit dan metode pelatihan adalah tatap muka disertai praktikum. Pelatihan tersebut ditunjang oleh ketersediaan software reference manager, komputer dan jaringan internet yang memadai. Adapun materinya meliputi: cara menginstalasi software, pembuatan akun pengguna dan setting akun di software reference manager, proses input file sitasi beserta pelampiran file pdfnya serta cara menginsert file sitiran pada lembar kerja pada mikrosoft word. Pada akhir pelatihan, para peserta diminta mengisi kuesioner sebagai bahan evaluasi bagi pengembangan program pelatihan tersebut dimasa mendatang.

Analisis Keberhasilan Program-Program Literasi Informasi Berbasis Komunitas
Beberapa contoh pengembangan literasi informasi berbasis komunitas memberikan kontribusi positif bagi masyarakat. Salah satu bentuknya adalah semakin meningkatnya kualitas hidup masyarakat yang ‘melek informasi. Merujuk hasil penelitian tentang peran perpustakaan umum dalam pengembangan jejaring masyarakat informasi dengan menggunakan internet menunjukkan bahwa pengembangan literasi informasi berbasis komunitas merupakan salah satu katalis dalam peningkatan modal sosial, yakni: peningkatan kualitas pengetahuan yang diiringi oleh peningkatan kualitas hidup (Pettigrew, Durrance, and Unruh 2002).
Selain itu, terdapat sebuah hasil penelitian yang menjelaskan tentang keberhasilan pengembangan program literasi informasi berbasis komunitas. Menurut (Bruce 2011), keberhasilan tersebut tidak terlepas dari reposisi peran perpustakaan yang ‘sensitif’ mengidentifikasi kebutuhan informasi pemustakanya dan perpustakaan yang proaktif serta inovatif menginiasi program literasi informasi sesuai kebutuhan informasi pemustakanya. Weiner (1997) dalam Bruce (2011) mengidentifikasi peran perpustakaan sebagai jembatan informasi dan teknologi informasi antara komunitas dengan sumber informasinya. Selanjutnya perpustakaan mengembangkan program literasi informasi dengan tujuan menjadikan komunitas tersebut mandiri dalam penelusuran informasi. Merujuk pada hasil penelitian tersebut maka perpustakaan berperan penting dalam pengembangan literasi informasi masyarakat. Kuncinya adalah perpustakaan harus pro aktif dalam mengidentifikasi kebutuhan informasi pemustakanya. Selanjutnya, perpustakaan harus inovatif menginiasi program literasi informasi disesuaikan kebutuhan informasi pemustakanya.
Penutup
      Deklarasi WSIS mendorong terbentuknya masyarakat informasi yang bercirikan keleluasaan dalam mencipta, memanfaatkan dan menyebarluaskan informasi. Pengembangan masyarakat informasi perlu ditunjang oleh kesetaraan dan pemerataan informasi, tetapi kedua aspek tersebut masih menjadi kendala bagi pengembangan literasi informasi bagi masyarakat di negara berkembang. Salah satu cara mengikis kendala tersebut adalah dengan pengembangan literasi informasi dengan merujuk konsep Amati, Tiru dan Modifikasi.
      Beberapa perpustakaan diluar negeri berhasil mengembangkan program literasi berbasis komunitas. Adapun tujuannya adalah meningkatkan kualitas hidup masyarakat dengan memberkali masyarakat tersebut dengan kemampuan mengidentifikasi, mencari dan memanfaatkan informasi. Sebagai contohnya adalah program Tech savvy pada peprustakaan Hamra yang menyasar komunitas pelajar dan manusia lanjut usia serta program manajemen sitiran dengan target pesertanya adalah mahasiswa S1, S2, dan S3.
Adapun kunci keberhasilan pengembangan literasi informasi adalah pro-aktifnya perpustakaan mengidentifikasi kebutuhan informasi pengguna.Selanjutnya, perpustakaan berperan sebagai jembatan informasi antara pemustaka dengan sumber informasi dengan jalan memfasilitasi berbagai pelatihan literasi informasi
Pengembangan literasi informasi berbasis komunitas merupakan metode yang efektif untuk membekali masyarakat ketrampilan berinformassi menuju masyarakat informasi yang cerdas dan beradab.

*Makalah ini dipresentasikan pada Rapat Kerja Ikatan Pustakawan Indonesia Nusa Tenggara Timur. Kupang, 2 Agustus 2017


Daftar Pustaka
Association of College and Research Libraries. 2000. “Information Literacy Competency Standards for Higher Education.” presented at the Midwinter Meeting of the American Library Association, San Antonio,Texas, January 18.
Bruce, Christine. 2011. “Information Literacy Programs and Research: An International Review.” The Australian Library Journal 63 (4): 326–33.
Du, Jia Tina, and Nina Evans. 2011. “Academic Library Services Support For Research Information Seeking.” Academic Library Services Support For Research Information Seeking 42 (2): 103–20.
Pettigrew, Karen E., Joan C. Durrance, and Kenton T. Unruh. 2002. “Facilitating Community Information Seeking Using the Internet: Findings from Three Public Library–Community Network Systems.” JOURNAL OF THE AMERICAN SOCIETY FOR INFORMATION SCIENCE AND TECHNOLOGY 53 (11): 894–903.
Sudarsono, Blasius, Latuputy Hanna, Hadimono Winda, and Hariyadi Utami. 2009. Literasi Informasi (Information Literacy): Pengantar Untuk Perpustakaan Sekolah. Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.






0 comments: