Bangsa yang
besar adalah bangsa yang mampu menghargai sejarahnya. Ungkapan tersebut
merupakan bentuk penghargaan suatu negara terhadap perjuangan pendahulunya. Namun
perjuangan tidak selalu identik dengan peperangan. Perubahan dari masyarakat
yang terbelenggu kebodohan dan barbarianisme menuju masyarakat yang hidup
berdasarkan norma dan etika merupakan bentuk ’perjuangan peradaban’. Apabila ditelusur kebelakang maka kebudayaan
yang ada saat ini merupakan hasil dari proses transformasi kebudayaan pendahulu
kita. Pada proses transformasi tersebut muncullah ikon budaya semisal: Piramid
di Mesir, Taman gantung di Mesopotamia. Ikon budaya tersebut mampu memperkaya
gaya arsitekstur yang ada saat ini. Sehingga kita mengenal gaya arsitek
mediteran ataupun bohemian.
Tidak dipungkiri
bahwa bangsa Indonesia mempunyai perjalanan sejarah yang panjang. Dalam rentang
sejarah tersebut, telah menyisakan benda-benda sejarah. Benda bersejarah mampu mengungkapkan hal-hal
yang berkaitan dengan pola kehidupan masyarakat pada masa lampau. Sebelum diadakan kajian ilmiah terhadap benda
peninggalan sejarah maka masih diragukan kebenaran cerita tentang kejayaan Sriwijaya
yang menjadi pusat perkembangan perdagangan dan ilmu pengetahuan di Asia
Tenggara pada abad ke V. Atau keberhasilan Patih Gajah Mada mempersatukan
nusantara sehingga kerajaan Majapahit mencapai zaman keemasannya. Namun kebenaran sejarah tersebut terungkap setelah
para ilmuwan arkeologi melakukan kajian terhadap relief-relief pada candi
maupun transliterasi manuskrip kuno peninggalan kerajaan Sriwijaya dan
Majapahit. Gambar-gambar relief tersebut menggambarkan pola kehidupan
masyarakat pada masa lampau. Sehingga muncullah pameo yang berbunyi:” A Pictures show a thousand words” atau bermakna
Sebuah
gambar lebih bermakna daripada ribuan huruf .
Kita telah
mengetahui bahwa peninggalan benda warisan budaya itu sangat besar manfaatnya.
Benda-benda tersebut merupakan bukti sejarah bangsa kita masa lalu. Semua
bangsa di dunia berkewajiban memelihara dan melindungi benda-benda peninggalan sejarah.
Sekitar abad ke-20, Pemerintah Hindia Belanda memulai mengadakan inventarisasi
purbakala. Maka pada tahun 1913 didirikan Dinas Purbakala (Oidheidkundige
Dienst). Secara berturut turut dari tahun 1914, 1915 dan 1923 terbitlah dokumen
inventaris benda purbakala. Namun hal tersebut bukanlah tanpa pamrih karena bangsa
penjajah berhasil mengeksploitasi kekayaan alam maupun kekayaan budaya bangsa Indonesia.
Sehingga banyak peninggalan sejarah bangsa Indonesia yang sekarang menjadi
koleksi perpustakaan Leiden di Belanda atau perpustakaan Asiatic Society di
Inggris. Selain itu, usaha penyelamatan benda budaya terkendala pada tidak
adanya kesadaran warga negara Indonesia untuk membantu program tersebut.
Seperti halnya kasus penolakan ahli waris benda budaya untuk tetap menyimpan
benda tersebut sesuai amanat leluhurnya. Atau naskah kuno yang terlanjur dijual
kepada kolektor luar negeri karena ahli waris menjual naskah tersebut dengan
alasan ekonomi. Kasus tersebut menimpa
naskah sunda kuno yang berjudul Carita Purwaka Caruban Negari, Pustaka Negara
Kertabumi dan Pustaka Pararatuan i Bumi
Javadwipa serta Pustaka Parartuan i Bumi Nusantara yang berpindah tangan karena ahli waris
terpaksa menjualnya (sebab membutuhkan uang untuk berobat) pada tahun 1969 di Jawa Barat (Kusumo;
Pramateng. 1993).
Peranan Perpustakaan Nasional dalam Usaha Pelestarian Warisan Budaya
Perpustakaan merupakan lembaga yang bertanggungjawab
melakukan kegiatan penyimpanan, pengolahan, pendistribusian serta pelestarian
informasi dari koleksi cetak maupun noncetak. Keberadaaan perpustakaan berkaitan
erat dengan usaha pelestarian warisan budaya yang menitikberatkan peranannya pada
fungsi kultural. Maksudnya, perpustakaan turut melestarikan warisan budaya
dengan menyimpan koleksi budaya serta memfasilitasi kegiatan penelitian,
penyebaran informasi dan pendidikan untuk meningkatkan nilai koleksi budaya.
Sehingga apresiasi masyarakat terhadap koleksi budaya meningkat.
Peranan perpustakaan nasional Republik Indonesia
tidak jauh berbeda dengan perpustakaan lainnya, khususnya dalam hal pelestarian budaya. Hanya saja perpustakaan
nasional Republik Indonesia menitik beratkan pada tugas pokok fungsinya yakni: melaksanakan
pengumpulan dan penyimpanan bahan pustaka tertulis, tercetak dan terekam selengkapnya
baik yang terbit di Indonesia maupun di luar negeri sebagai khazanah kebudayaan
bangsa dalam arti yang luas serta melaksanakan pelayanannya untuk kepentingan
pembangunan nasional dan kemajuan bangsa. (Sulistyo-Basuki: 1991). Kewenangan
perpustakaan nasional Republik Indonesia dalam upaya pelestarian Budaya bangsa
tidak tumpang tindih dengan instansi lain seperti Arsip Nasional maupun Museum
Indonesia. Sebab perpustakaan nasional RI bertanggungjawab melestarikan benda
budaya yang memiliki ke-khasan tersendiri semisal: naskah-naskah kuno.
Jenis – Jenis Koleksi Naskah Kuno Yang Patut Di lestarikan.
Jenis benda peninggalan budaya di Indonesia
semakin beragam ketika nenek moyang kita telah mengenal baca tulis. Hal
tersebut terbukti saat sekelompok arkeolog menemukan prasasti di situs
Ciaretun, kebon kopi, Pasir Jambu di Jawa Barat. Prasasti tersebut membuktikan
kepandaian tulis menulis di daerah sunda sejak awal abad kelima. Huruf dan
bahasa tulis yang digunakan adalah huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta dari
India. Sedangkan naskah sunda kuno berangka 1256 saka ditemukan oleh ilmuwan
Belanda yang bernama N. J Krom. Naskah-naskah kuno sunda rata-rata menggunakan
bahan antara lain: lontar, janur, daun enau, daun pandan, nipah, daluang dan
kertas.
Naskah kuno
juga mudah diketemukan di Bali sebab Bali merupakan gudang naskah terkaya di
Indonesia. Setiap 210 bertepatan dengan hari suci Saraswati para pemilik naskah
rontal membersihkannya beramai-ramai. Naskah rontal mencakup ilmu pengetahuan
seperti arsitektur, hukum, perbintangan. Naskah rontal tersebut berjudul antara
lain: naskah Asta bumi, Astakosala, Wismakarma atau naskah rontal tentang arsitektur
yang berjudul Dharmaning sangging.
Kebudayaan
dari India mempengaruhi penulisan naskah-naskah kuno di tanah Jawa. Pemakaian
daun palem untuk menulis pada naskah jawa kuno berasal dari India. Hal tersebut
diketahui dari sebuah relief candi di Jawa Timur yang menggambarkan sang kawi mengempit lontar
pada tangannya. Seorang pakar budaya yakni Prof.Dr. Zoet mulder mengatakan
bahwa titik pangkal penciptaan karya tulis jawa telah berawal pada abad ke-9.
Naskah-naskah tersebut ditulis dari aksara jawa, arab, pegon dan latin. Isinya
meliputi: lingkungan luar yang merupakan curahan pikiran serta perasaan nenek
moyang yang memberikan gambaran hal ikhwal pada jamannya. Sedangkan naskah jawa
kuno yang terkenal dan dianggap berharga adalah naskah Negara Kertagama karya
Mpu Prapanca. Naskah tersebut ditulis semasa pemerintahan raja Hayam wuruk.Dan
setelah sekian lama menghilang, akhirnya naskah itu ditemukan di puri
Cakranegara.
Metode Pelestarian Terhadap Naskah Kuno
Koleksi naskah
kuno patut dilestarikan karena benda-benda tersebut merupakan bukti sejarah bagi
bangsa kita. Metode pelestarian terhadap naskah kuno dapat berupa:
1. Preservasi
dan Konservasi:
Preservasi merupakan tindakan rutin untuk
mencegah kerusakan pada naskah kuno. Sedangkan bahan naskah tersebut mempunyai
sifat kimia yang berbeda dengan kertas. Sehingga naskah perlu perlakuan khusus dalam
hal penyimpanan dan pengawetannya. Perlakuan khusus dapat berupa penempatan
masnuskrip pada inkubator yang temperaturnya terjaga maupun pemilihan bahan anti jamur yang unsur
kimianya tidak merusak struktur bahan naskah kuno. Patut dipertimbangkan bahwa
substansi naskah kuno rentan hilang akibat pengaruh perubahan kimiawi yang
terjadi pada bahan manuskrip. Maka perlu
diadakan reproduksi terhadap naskah kuno dengan cara mengalihwujudkan informasi
yang terkandung dalam nasakah ke bentuk microfiche atau format digital.
Kegiatan konservasi dilakukan sebagai antipasi terhadap kepunahan naskah kuno.
2. Publikasi
Publikasi naskah
kuno kepada masyarakat bertujuan mengenalkan, menyadarkan dan merangsang
masyarakat untuk turut melestarikan naskah tersebut. Kita mengambil contoh
tentang eksisnya kitab Mahabrata. Masyarakat kita sampai saat ini masih
familiar dengan kisah pertarungan antara kekuatan jahat dengan kebajikan yang
direpesentasikan oleh Kurawa melawan Pandawa. Pertanyaan yang muncul berkaitan
dengan kepopuleran epos Mahabarata ialah: Mengapa
kisah tersebut begitu digandrungi di Indonesia ? Padahal kisah Pandawa
melawan Kurawa merupakan kisah dalam kitab Mahabarata yang berasal dari India.
Realita tersebut merupakan imbas dari kreativitas masyarakat India dalam
melestarikan budaya leluhurnya. Kisah-kisah dari Kitab Mahabarata disadur dan
dipublikasikan dalam bentuk serial televisi, film, komik dan buku . Sehingga
masyarakat India saat ini masih mengenal tokoh-tokoh, alur dan pesan dari kisah
Mahabarata. Dari publikasi tersebut setidaknya masyarakat India mencoba
melestarikan produk kebudayaan leluhurnya.
Sebaliknya
di Indonesia, pemerintah maupun masyarakatnya masih apatis terhadap upaya
pelestarian manuskrip kuno. Sebab akses informasi terhadap naskah-naskah kuno
masih terbatas dan kesadaran untuk turut melestarikannya masih rendah. Kegiatan
pelestarian masih berkutat pada usaha menyimpan dan mengawetkan dan belum
sampai pada usaha pendistribusian informasi ( baca: publikasi). Kegiatan publikasi
naskah kuno dapat berupa pameran secara berkala, menyusun bibliografi, menyadur cerita –cerita
dalam naskah sebagai bahan pembuatan skenario film maupun komik.
3. Perlindungan
Hukum.
Perlindungan
Hukum terhadap naskah kuno merupakan hal mendesak untuk dilakukan. Sebab fungsi
kultural di perpustakaan nasional belum efektif terkendala masih banyaknya
naskah-naskah kuno yang tersebar diluar negeri maupun ditangan kolektor barang
antik. Selain itu. usaha berupa preservasi, konservasi dan publikasi terhadap
naskah-naskah, kuno akan bersinggungan dengan hukum apabila dilakukan secara
serampangan. Hal tersebut ditunjang fakta bahwa Indonesia merupakan negara yang
memiliki beragam suku, etnis, budaya. Kekayaan dibidang seni dan sastra
tersebut memerlukan perlindungan Hak
Cipta terutama hasil olah kriya dan cipta yang berasal dari keanekaragaman
tersebut.
Payung hukum untuk perlindungan hak cipta telah ada
sejak tahun 1982 dengan dikeluarkannya UU nomor 6 tahun 1982. Dan UU Hak Cipta
berturut-turut mengalami perubahan dengan UU Nomor 7 tahun 1987 dan terakhir
diubah dengan UU nomor 19 tahun 2002. Dalam UU Hak Cipta dikenal 4 (empat)
istilah penting yang mewakili substansi UU tersebut. Empat istilah beserta
definisinya menurut UU nomor 19 tahun 2002 ialah:
1. Hak Cipta : Hak eksklusif bagi pencipta atau
penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan
izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut aturan
yang berlaku.
2. Pencipta : Seorang atau beberapa orang
secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan
kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang
dituangkan kedalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.
3. Pemegang Hak
cipta : Pencipta sebagai pemilik Hak
Cipta atau pihak yang menerima hak tersebut dari Pencipta atau pihak lain yang
menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut.
4. Lisensi : Izin yang diberikan oleh pemegang hak cipta
atau pemegang hak terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau
memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya dengan persyaratan tertentu.
Hak cipta
mempunyai sifat yang bergerak. Artinya kepemilihan Hak Cipta dapat dialihkan
kepada pihak lain dengan memenuhi syarat-syarat tertentu. Adapun pengambil
alihan kepemilikan Hak Cipta terjadi karena Pewarisan, Hibah, Wasiat,
Perjanjian Tertulis dan sebab-sebab lain
yang dibenarkan oleh perundang-undangan. Pengambil alihan tersebut tidak
dapat dilakukan secara lisan tetapi harus dilakukan secara tertulis baik dengan
maupun tanpa akta notaris.
Terbitnya UU
Hak Cipta di Indonesia merupakan peluang bagi perpustakaan nasional untuk
melestarikan warisan budaya khususnya naskah kuno melalui jalur hukum. Adapun
manfaat penerapan UU Hak Cipta ini antara lain: Adanya kejelasan hukum mengenai
hubungan antara kekayaan dengan inventor, pencipta, desainer, pemilik, pemakai,
perantara yang menggunakannya, wilayah kerja pemanfaatannya dan yang menerima
akibat pemanfaatannya dan yang menerima pemanfaatan HAKI untuk jangka waktu
tertentu. Serta mempromosikan publikasi ciptaan dalam bentuk dokumen HKI yang
terbuka bagi masyarakat.
Strategi Pemanfaatan UU Hak Cipta Sebagai Perlindungan Hukum Bagi Naskah
Kuno.
Permasalahan
yang dihadapi perpustakaan nasional dalam melestarikan naskah kuno yakni: masih
tercecernya naskah kuno baik yang berada di lembaga asing, kolektor benda antik
maupun di pihak ahli waris. Selain itu
usaha presevasi dan konservasi dalam rangka melestarikan naskah kuno apabila
dilakukan serampangan dapat menimbulkan permasalahan hukum. Demikian halnya
dengan publikasi naskah kuno tanpa mengindahkan pranata hukum yang berlaku
dapat menimbulkan sengketa terkait kepemilikan Hak Cipta atas naskah yang
melibatkan antara pemerintah dengan ahli warisnya atau dengan pihak lainnya.
Maka diperlukan sebuah strategi perlindungan hukum terhadap naskah kuno dengan
jalan menelaah pasal-pasal dalam UU
nomor 19 tahun 200 tentang Hak Cipta.
Pada dasarnya,
perpustakaan nasional mempunyai posisi tawar yang kuat atas kepemilikan naskah-naskah
kuno walaupun ada pihak-pihak yang mengklaim dirinya sebagai ahli waris dari naskah
tersebut. Pendapat itu merujuk pada pasal 10 UU nomor 19 tahun 2002 yang berbunyi bahwa ”Negara
memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah dan benda budaya
nasional lainnya”. Hal tersebut dimaksudkan bahwa negara dapat mencegah
adanya monopoli atau komersialisasi
serta tindakan yang merusak tanpa seizin negara Indonesia sebagai pemegang Hak Cipta.
Ketentuan ini bertujuan mencegah tindakan dari pihak-pihak yang ingin merusak
nilai kebudayaan yang eksis. Sedangkan ciptaan di bidang litelatur, seni,
sastra dan program komputer termasuk benda yang dilindungi UU Hak Cipta. Ada
beberapa perkecualian terkait pelanggaran hak cipta yakni: penggunaan ciptaan
hasil budaya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah
atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan pihak pemegang Hak Cipta.
Berikut dibawah
ini merupakan permasalahan hukum terkait pelanggaran Hak Cipta atas
naskah-naskah kuno berikut strategi yang hendak diterapkan.
1. Sengketa
kepemilikan Hak cipta atas naskah kuno antara ahli waris dengan perpustakaan
nasional. Kasus seperti ini muncul ketika perpustakaan nasional coba menginventarisir
keberadaan naskah-naskah kuno. Seringkali usaha menghimpun naskah kuno dan
menyimpannya di perpustakaan nasional akan mendapat ganjalan dari ahli waris.
Hendaknya kepemilikan naskah-naskah kuno berada perpustakaan nasional untuk memudahkan
pengawasannya. Hal terkait pengambil alihan kepemilikan Hak cipta, perpustakaan
nasional dapat mengambil alternatif pertama: Ahli waris dengan suka rela atau
dengan kompensasi tertentu menyerahkan kepemilikan Hak cipta naskah kuno yang
dimilikinya kepada perpustakaan jalan dengan cara Hibah, atau Perjanjian
tertulis. Alternatif kedua: perpustakaan menempuh jalur hukum. Hal tersebut
dimungkinkan dengan merujuk pasal 3 ayat 2e UU nomor 19 tahun 2002 yang
menyatakan bahwa Hak Cipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruhnya atau
sebagian karena sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan
perundang-undangan.
- Penyalahgunaan publikasi naskah kuno untuk kepentingan komersial.
Naskah kuno
mempunyai nilai historis dan nilai ekonomis. Sebagai hasil dari kebudayaan
lampau, naskah kuno memuat folklor yang bernilai ekonomis apabila dimanfaatkan
untuk kepentingan komersial. Folklor yang dimaksud ialah sekumpulan ciptaan
tradisional yang mencakup cerita rakyat,
puisi rakyat, lagu dan musik rakyat, taria-tarian serta hasil seni lainnya.
Folklor yang disadur dan dialih wujudkan menjadi film,sinetron, komik oleh praktisi industri hiburan,
rata-rata mengalami Booming
dimasyarakat.
Disinilah terjadi penyimpangan publikasi
naskah kuno. Sebab kepemilikan atas folklore menjadi milik negara dan publikasi
folklore ditujukan untuk kepentingan pendidikan, penelitian dan pelestarian.
Sedangkan kasus pengalihwujudan folklore untuk kepentingan komersil tanpa ada
persetujuan dari pemilik Hak cipta merupakan sebuah pelanggaran hukum. Solusi
dari permasalahan itu adalah negara memberikan lisensi kepada pihak yang
berkepentingan untuk memanfaatkan folklore dengan konsekuensi yang disepakati
bersama.
PENUTUP
Indonesia, sebagai
bangsa yang besar, dituntut untuk mengamankan dan melestarikan aset-aset
kebudayaan demi kepentingan bersama. Sehingga anak cucu kita kelak masih
mengenal kebudayaan pendahulunya yang direpresentasikan oleh benda-benda
peninggalan sejarah. Dalam melestarikan
peninggalan sejarah, seringkali perpustakaan nasional mengalami hambatan dan
tantangan. Wujudnya dapar berupa klaim sepihak atas kepemilikan ilegal
peninggalan sejarah oleh pihak yang tidak berkepentingan. Ataupun penyalah
gunaan folklore untuk kepentingan komersial. Penyimpangan-penyimpangan tersebut
mengarah pada pelanggaran hukum perdata. Perpustakaan Nasional sebagai lembaga
yang berkompeten menjalankan fungsi kultural dituntut proaktif mengantisipasi
permasalahan terkait Hak cipta atas naskah kuno. Konkretnya ialah perpusnas
hendaknya mengimplementasikan Undang-undang nomor 19 tahun 2002 tentang hak
cipta.
Meskipun
realita dilapangan seringkali terjadi benturan kepentingan antara usaha
pelestarian dan penegakan hukum. Alangkah bijaknya bila para pemegang kebijakan
pada instansi terkait melakukan tindakan kompromis dalam koridor hukum.
Tindakan tersebut berupa pengambil alihan Hak cipta atas kepemilikan naskah
kuno dari pihak yang tidak berhak kepada negara. Hal tersebut mengacu pada
pasal 3 UU nomor 19 tahun 2002. Serta memberikan lisensi bagi praktisi industri
hiburan ( Penerbit, produser maupun penulis skrip) yang produknya bersumber
pada folklore. Demikianlah uraian tentang strategi perlindungan hukum bagi
naskah kuno.
Daftar pustaka:
Kusumo, Pramateng. Menimba Ilmu dari
Museum; Jakarta: Balai Pustaka;1993.
Manaf, Abdul.Himpunan Peraturan
Perundang-undangan dibidang Hak-Hak Atas Kekayaan Intelektual. Bandung:
Mandar Maju; 2004.
Sulistyo-Basuki. Pengantar Ilmu
Perpustakaan. Jakarta: Gramedia; 1993.
0 comments:
Post a Comment