Friday, 12 November 2021

PENINGKATAN KAPASITAS HUTAN ALAM BAGI PENCAPAIAN Sink net FoLU 2030

  


     Rilis Panel Antar pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) melaporkan bahwa kenaikan suhu global naik lebih cepat sebesar 1,50 C dari yang diperkirakan (IPCC, 2019) memicu kekhawatiran komunitas global. Bagaimana tidak, kenaikan suhu global tersebut memiliki dampak multi dimensi. Kekhawatiran akan kenaikan permukaan air laut yang berpotensi merendam wilayah berelevasi rendah disepanjang garis pantai, badai El nino yang menyebabkan kemarau berkepanjangan sehingga memicu krisis pangan, krisis air bersih serta bencana hidrometrologi dan la nina. Perubahan iklim menjadi ancaman nyata bagi eksistensi umat manusia di planet biru ini. Conference on Parties (CoP) Penanggulangan Perubahan Iklim ke-26 di Glasgow menjadi medium bagi para pemimpin global menyuarakan kekhawatiran akan dampak perubahan iklim. Pada pertemuan tersebut, mereka merumuskan strategi dan aksi meredam dampak perubahan iklim. Ditengah gegap gempita-nya pembahasan tentang bagaimana strategi pencapaian target zero net emission pada tahun 2030. Terdapat beberapa isu substantif yang mengemuka pada event tersebut diantaranya, pengurangan emisi dari bahan bakar fosil, energi baru dan terbarukan serta investasi ekonomi hijau.
    Sementara itu, Indonesia sebagai negara pemilik hutan tropis terbesar ketiga di dunia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk menunjukkan kepeduliannya dalam aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Salah satu bukti keseriusan pemerintah Indonesia dalam mitigasi perubahan iklim adalah mengeluarkan kebijakan net sink Forest and other Land Use (FoLU). Kebijakan tersebut telah memiliki regulasi melalui Undang-Undang nomor: 16 tahun 2016 Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim. Gayung bersambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutaanan selaku kepanjangan tangan eksekutif disektor lingkungan hidup dan kehutanan turut menunjukkan komitmennya terhadap net sink FoLU. Pada beberapa kesempatan, petinggi Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan mewacanakan pentingya kebijakan tersebut. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dr. Siti Nurbaya Abubakar melalui keterangan tertulisnya net sink FoLU 2030 menjadi kebijakan operasional bagi pengurangan deforestasi pencegahan dini kebakaran hutan dan lahan, moratorium izin pada kawasan hutan negara setelah penataan berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja (UCK) dan penegakan hukum lingkungan dan kehutanan guna mendukung pencapaian puncak emisi Gas Rumah Kaca nasional pada tahun 2030 dan sektor FoLU dengan kondisi net sink 540 Mton CO2e pada tahun 2050 (Tribunnews, (28/8/2021)). Perlu digarisbawahi bahwa zero net sink FoLU tidak bermakna sama zero deforestation. Selanjutnya jajaran teknis Kementerian LHK pun siap mendukung kebijakan tersebut melalui pernyataan Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK bahwa salah satu aksi mitigasi dalam upaya pengurangan sektor ke FoLU adalah meningkatkan kapasitas hutan alam dalam menyerap karbon. Menimbang bahwa sektor dan lahan merupakan tulang punggung perubahan iklim 2030. Upaya menjaga usaha lestari dalam rangka pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) (YouTube KLHK, menit: 13.47-14.29, 01/11/2021). Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri KLHK dan jajarannya berupaya sekuat tenaga mengimplementasikan kebijakan sink net FoLU secara berjenjang, berkesinambungan dan konsisten guna mencapai target-target yang telah ditetapkan. Penulisan artikel ini bertujuan mengemukakan argumentasi tentang pentingnya peningkatan kapasitas hutan alam dalam menyerap karbon. 

Karbon, Hutan Alam dan Penanganan Perubahan Iklim
    Hutan dapat diibaratkan sebagai paru-paru dunia. Sebagai kumpulan tegakan tanaman, hutan memiliki mekanisme alami daur karbon melalui proses fotosintesis dan respirasi. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa, proses fotosintesis tanaman membutuhkan Carbon Dioksida (CO2) sebagai bahan pembentukan makanan bagi tanaman. Proses tersebut menghasilkan Glukosa dan Oksigen (O2) yang merupakan senyawa bermanfaat bagi binatang dan manusia untuk bernafas. Dapat dibayangkan jika jutaan tegakan tanaman menghasilkan jutaan oksigen yang bermanfaat bagi pasokan bahan pernafasan bagi jutaan mahluk hidup lainnya. Sedangkan pada proses respirasi, tanaman menyerap oksigen (O2) dan menghasilkan karbondioksida (CO2). Kedua proses tersebut saling terkait dan terjadi secara vice versa. Diperlukan keseimbangan antara produksi Oksigen dan Pelepasan CO2 guna menjaga kualitas udara dan lingkungan. Dapat dibayangkan betapa sekaratnya pernafasan mahluk hidup apabila atmosfer kita dipenuhi oleh gas CO2. Selanjutnya, pelepasan CO2 tanpa kontrol ke atmosfer akan menghasilkan efek Gas Rumah Kaca (GRK) yang memiliki spektrum luas terhadap perubahan iklim dan ketidakseimbangan ekosistem global. 

    Salah satu aset yang perlu dijaga kelestariannya, hutan alam atau intact forest landsape menyimpan peran sentral dalam penyerapan karbon. Hal tersebut didasari oleh hasil penelitian Rosa C. Goodman and Martin Herold (2014) yang dituangkan didalam kertas kerja berjudul: ‘Why Maintaining Tropical Forests Is Essential and Urgent for a Stable Climate. Working Paper 385’. Temuan penting dalam dokumen tersebut menyebutkan bahwa hutan tropis memiliki densitas karbon yang tinggi dan memiliki cakupan yang luas jika dibandingkan dengan bioma lainnya. Hutan tropis tersebut berperan sebagai bumper perubahan iklim karena mampu menyerap karbon sebesar 2.2 sampai 2.7 Gt per tahunnya. Adapun hutan alam mampu menyerap karbon 1.0 GtC pertahun. Menariknya, mekanisme alami hutan mampu menahan laju perubahan iklim melalui siklus regenerasi alami tanaman di hutan dengan kapasitas penyerapan karbon sebesar 4 Gt setiap tahun sejak 1990 (Pan et.all 2011 dalam Rosa e.all 2014). Sebagai hutan tak terjamah, hutan alam perlu dijaga kelestariannya guna menjaga kapasitas optimalnya dalam menyerap karbon. 
    Menjaga kelestarian hutan alam tidaklah semudah membalikkan telapak tangan sebab pengelolaan hutan alam senantiasa dibayang-bayangi oleh ancaman deforestasi. Pada umumnya, intervensi manusia menjadi penyebab deforestasi hutan. Merujuk temuan Honosuma et.all (2012) dalam Rosa Et.all (2014), alih fungsi kawasan hutan menjadi areal pertanian maupun peruntukan lain merupakan pendorong deforestasi. Dampaknya adalah hilangnya kemampuan penyerapan karbon akibat ketiadaan tegakan tanaman penghasil rosot karbon.Tak kalah gaharnya, kebakaran hutan merupakan ancaman bagi kelestarian hutan alam. Apabila terjadi kebakaran hutan maka api akan memusnahkan tanaman penghasil rosot karbon sekaligus menghasilkan polutan dan CO2 serta memusnahkan biodiversitas yang ada di kawasan hutan tersebut. Musnahnya fauna pemakan buah juga akan mengganggu regenerasi alami tanaman hutan sebab hewan yang memakan buah-buahan juga tidak sengaja menyebarluaskan biji-bijian tanaman dan membantu regenerasi alami tanaman hutan. Pemicu kebakaran hutan pun dapat berasal dari alam akibat kemarau berkepanjangan yang menyebabkan seresah mengering dan mudah terbakar. Sambaran petir pun dapat memicu kebakaran hutan alam. Penyebab terakhir yakni intervensi manusia yang membakar hutan secara sengaja. Ancaman yang tidak diantisipasi dan dikelola dengan baik akan mengganggu kelestarian hutan alam dan bermuara pada potensi hilangnya kemampuan hutan alam dalam melakukan penyerapan karbon. Bukan tidak mungkin dalam periode yang panjang, hilangnya kemampuan hutan alam menyerap karbon berkontribusi terhadap meningkatnya kerentanan perubahan iklim. Berdasarkan uraian di atas maka upaya peningkatan kapasitas hutan alam dalam menyerap karbon adalah menjaga kondisi optimal hutan alam dalam menyerap karbon. Dalam artian, hutan alam dijauhkan dari berbagai potensi ancaman yang berpotensi mengganggu bahkan memusnahkan kemampuan hutan alam dalam menyerap karbon. Diperlukan kontrol/pengawasan ketat yang berjenjang, berkesinambungan dan konsisten terhadap hutan alam guna menjaga kelestariannya. 

Sekilas sink net FoLU Indonesia 2030. 
     Sejak meratifikasi Paris Agreement di tahun 2016, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk berperan aktif menanggulangi perubahan iklim melalui perumusan aksi dan strategi. Setelah sekian tahun berjalan maka diinisiasi net sink FoLU yang merupakan strategi pencapaian target menahan laju suhu bumi dibawah 1,50 C sekaligus kebijakan tersebut menjadi panduan bagi Indonesia dalam melakukan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Sektor kehutanan menjadi salah satu tulang punggung aksi penanggulangan iklim di Indonesia dengan menimbang potensi luasan hutan dan unsur pendukungnya (lahan gambut dan mangrove) yang diharapkan mampu mengoptimalkan penyerapan karbon. Seperti telah disebutkan oleh Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK bahwa peningkatan kapasitas hutan alam menjadi salah satu strategi aksi mitigasi perubahan iklim. Merujuk pada beberapa dokumen pemerintahan, tercantum bahwa aksi penanggulangan perubahan iklim dilakukan melalui pengurangan degradasi hutan. Diskenariokan bahwa penurunan luasan hutan dari terdegrasi 139,000 hektar pertahun di tahun 2020 menjadi 82,000 hektar di tahun 2030 dan di tahun 2050 mencapai luasan 44.000 hektar serta tahun 2060 diturunkan drastis ke luasan 1,000 hektar (Kementerian PPN/Bappenas, 2021, halaman 39). Menilik skenario tersebut maka pemerintah Indonesia telah memiliki perencanaan yang matang dan terukur dalam merumuskan dan melaksakan net sink FoLU. Yang diperlukan saat ini adalah kerja kolaboratif antar instansi/lembaga dalam mendukung pelaksanaan kebijakan net sink FoLU dalam mencapai target-target yang telah ditetapkan. 

Simpulan 
    Terdapat dasar argumen yang menguatkan bahwa hutan alam atau intac forest memiliki peran penting dalam penyerapan karbon. Data kuantitatif menunjukkan bahwa kemampuan menyerap hutan alam mencapai 1.0 GtC pertahunnya. Bahkan hutan tropis memiliki kemampuan menyerap karbon dengan kapasitas 2.2 sampai 2.7 Gt pertahunnya. Kondisi optimal hutan alam ditilik dari jumlah dan kondisi tegakan alaminya serta jumlah luasan kawasan perlu dijaga dan diawasi secara ketat, berjenjang, berkesinambungan dan konsisten sebagai upaya peningkatan kapasitas hutan alam dalam menyerap karbon. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka hutan alam berpotensi rusak akibat deforestatasi. Alhasil kemampuan menyerap karbonnya turut menurun. Analoginya adalah kondisi paru-paru akan berjalan baik dengan dukungan 2 buah paru-paru dari pada hanya ada satu paru. Menimbang hal tersebut maka menjaga kemampuan hutan alam menyerap karbon penting dilakukan untuk mencapai target sink net FoLU 2030 (RAH) 

Daftar Pustaka 
  1. IPCC, 2019, Global warming of 1.5°C An IPCC Special Report on the impacts of global warming of 1.5°C above pre-industrial levels and related global greenhouse gas emission pathways, in the context of strengthening the global response to the threat of climate change, sustainable development, and efforts to eradicate poverty, diakses tanggal 4 November 2021, < https://www.ipcc.ch/site/assets/uploads/sites/2/2019/06/SR15_Full_Report_High_Res.pdf>
  2.  Kementerian PPN/BAPPENAS, 2021, A Green Economy For A Net-Zero Future: How Indonesia can build back better after COVID-19 with the Low Carbon Development Initiative (LCDI), diakses tanggal 04 November 2021,
  3. Rosa C. Goodman and Martin Herold, 2014, Working Paper 385: Why Maintaining Tropical Forests Is Essential and Urgent for a Stable Climate , diakses tanggal 4 November 2021,
  4. Tribunnews,2021, Menteri LHK Siti Nurbaya Jelaskan FoLU Net Sink Bersih Karbon 2030, diakses tanggal 4 November 2021, 
  5. YouTube KLHK, Apel Pagi Bersama Lingkup KLHK menit 13.47-14.29 tanggal 1 November 2021, diakses tanggal 04 November 2021, < https://youtu.be/tKhlHhR2Eag?t=89>

0 comments: