Thursday, 2 December 2021

SAINS UNTUK RESOLUSI KONFLIK TENURIAL HUTAN



Pendahuluan

 Pengukuhan kawasan hutan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Mengingat hutan merupakan satu kesatuan ekologis yang tidak dapat dipisahkan dari aspek pendukungnya, meliputi aspek ekonomi, sosial masyarakat. Interaksi hutan, manusia dan kepentingan memunculkan permasalahan yang komplek dan pelik. Beberapa studi tentang tenurial mengungkapkan bahwa disharmoni kepentingan ekologi, ekonomi dan sosial berdampak kepada munculnya konflik kepentingan.

Dilain sisi, harapan publik terhadap kinerja Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan  dalam hal pengukuhan, penataan dan penetapan kawasan hutan cukup tinggi. Besarnya harapan publik tersebut terungkap pada Rapat Dengar Pendapat antara Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) dan Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR RI) beberapa waktu lalu. Dikutip dari dpr ri.go.id, Salah satu unsur pimpinan komisi IV mendorong Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan   KLHK untuk mempercepat penetapan kawasan hutan dan menyampaikan datanya secara detail per-kabupaten/kota  guna memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan.1

Merespon hal tersebut, Ditjen PSKL telah berinovasi melalui sistem informasi pengaduan konflik secara online. Kehadiran aplikasi tersebut setidaknya mampu mengidentifikasi peta konflik tenurial hutan2. Namun resolusi konflik tenurial hutan diperlukan pendekatan yang integratif dan komprehensif sehingga diperlukan dukungan lintas sektoral. Salah satu eselon I Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang diberikan kewenangan memberikan dukungan scientific terhadap kebijakan pengelolaan hutan adalah Badan Litbang dan Inovasi (BLI). Mengusung  paradigma baru,  Badan Litbang dan Inovasi (BLI) mendorong terjadinya proses produksi, co-produksi dan reproduksi pengetahuan serta diseminasi IPTEK Kehutanan khususnya dibidang lingkungan hidup dan kehutanan. Sejak berdirinya BLI, yang dahulunya bernama Bosbouw Proef Station Voor Het Boswezen  tahun 1913, telah memiliki 200 inovasi IPTEK yang dapat dimanfaatkan oleh stakeholdernya sebagai alternatif solusi permasalahan3. Artikel ini akan mengulas kontribusi sains terhadap resolusi konflik tenurial melalui permodelan agroforestri dan permodelan Forest Tenurial Assessment (TAM).

Mengenal konsep Tenurial Hutan dan Akar Konfliknya

 Istilah tenurial berasal dari kata latin tenere yang diasosiakan dengan kepemilikan atau pemelihaaran terhadap suatu obyek4. Aspek penguasaan atau kepemilikan tersebut terkait dengan akses pemanfaatan atas suatu obyek atau barang.  Pada artikel ini, lingkup konsep tenurial dibatasi pada kawasan hutan atau dalam bahasa asing disebut  forest tenure. Karakteristik unik tenurial hutan adalah penguasaan atau pemilikan terhadap akses pemanfaatan sumberdaya kehutanan yang mengkombinasikan aspek legal dan adat. Dikutip dari media resmi Food and Agriculture Organization (FAO), tenurial hutan memiliki peran penting bagi para pihak berkepentingan disebabkan penguasaan dan kepemilikan tersebut menentukan siapa (pelaku) yang dapat memanfaatkan sumberdaya yang berada di kawasan tersebut dan jangka waktu beserta ketentuan penyertanya5.

Sejatinya, konsep tenurial hutan di Indonesia terjadi jauh sebelum kolonialisasi Belanda. Dalam disertasinya, Mia Siscawati (hal.47-50, 2012) mengupas tentang tenurial hutan di Indonesia di mulai sejak zaman Hindu Jawa. Kala itu, hutan telah dikuasai dan dimanfaatkan oleh masyarakat dengan kemunculan profesi kehutanan yang merujuk pada istilah juruwana. Selanjutnya, hak privat atas hutan berubah menjadi hak publik semenjak kolonial Belanda  menjalankan kebijakan ‘Politik Kehutanan’ di Jawa. Kebijakan tersebut mendorong Dinas Kehutanan Belanda (Boschwezen) mengeluarkan aturan tentang pemisahan antara lahan pertanian dan kehutanan. Adapun lahan hutan dan lahan yang tidak bertuan diklaim sebagai lahan milik pemerintah kolonial Belanda. Pasca kemerdekaan Indonesia, kebijakan tersebut terus dianut oleh pemerintahan Indonesia6

Namun perlu diketahui bersama bahwa konflik merupakan suatu situasi yang menyebabkan hambatan akibat salah satu pihak yang tidak kooperatif terhadap kesepakatan bersama antar personal maupun kelompok. Demikian halnya, konflik tenurial hutan muncul akibat disharmoni kepentingan ekologi, sosial dan ekonomi.

 Kontribusi Sains Kehutanan terhadap resolusi konflik tenurial

Berkiprah selama 108 tahun,  BLI telah memproduksi dan mereproduksi pengetahuan kehutanan mencakup aspek silvikutur, konservasi, rehabilitasi, ekologi, sosial ekonomi kehutanan, lingkungan hidup dan teknologi hasil hutan sebagai perwujudan paradigma baru. Di antara 200 inovasi aplikatif dan tepat guna telah dikembangkan oleh para peneliti yang berdedikasi, berkompeten dan profesional terdapat dua produk IPTEK relevan dimanfaatkan sebagai alternatif resolusi konflik. Detail keduanya akan diuraikan sebagai berikut:

 1.    Resolusi Konflik Lahan Melalui Pendekatan Model Agroforestri7

 Model agroforestri sebagai alternatif resolusi konflik ini dikembangkan oleh tim peneliti Balai Litbang Teknologi Agroforestri Ciamis. Mulanya, model ini merupakan studi kasus terhadap konflik pemanfaatan lahan eks KPWN di Majalengka. Dalam penelitian ini, tim beranggotakan Widyaningsih, Achmad, Fauziyah, Suyarno, dan Utomo menelaah dan menganalisis konflik tenurial mencakup aspek: riwayat status lahan yang disengketakan, mengidentifikasi aktor terlibat dan pembagian perannya, mengkaji dinamika konflik dan merumuskan pola pemanfaaan lahan objek konflik guna meresolusi dampak dari konflik tenurial lahan.

Pola agroforestri merupakan resolusi konflik tenurial yang ideal karena mengakomodir kebutuhan para pihak yang terlibat konflik. Berdasarkan studi kasus yang diteliti, model agroforestri mampu memberdayakan masyarakat sekitar hutan untuk mendapatkan pendapatan tambahan tanpa mengabaikan aspek kelestarian hutan. Aplikasi model agroforestri potensial diimplementasikan pada kawasan hutan  yang memiliki konflik penggunaan.

2.    FORTAM: Forest Tenurial Assessment Model8

Model ini dikembangkan berdasarkan hasil studi kasus tentang analisis tenurial dalam pengembangan kesatuan Pengelolaan Hutan di Lampung.  Tim penelitian terdiri dari Sylviani dan Ismatul Hakim berupaya menguraikan kompleksitas konflik tenurial hutan  disebabkan oleh ketidakpastian status kawasan hutan. Luaran FORTAM adalah menghasilkan suatu model pemanfaatan lahan dalam satu unit manajemen KPH. Berdasarkan temuan lapangan dan analisis terhadap riwayat dokumen kawasan hutan, relasi dan interaksi antar para pihak bersengketa maka tim peneliti tersebut merumuskan model FORTAM kepanjangan dari Forest Tenurial Assessment Model.

FORTAM bertujuan memberikan kejelasan status kawasan hutan dengan  mengulas riwayat pengelolaan kawasan merujuk dokumen otentik  sehingga model analisis tenurial berguna sebagai dasar dalam mengidentifikasi konflik lahan dengan menguraikan secara rinci, mulai dari sejarah kawasan, penggunaan kawasan hingga dampak pemanfaatan kawasan.

Adapun  FORTAM mengetahui tingkat konflik yang ada dalam kawasan hutan melalui beberapa tahapan-tahapan seperti bagan dibawah ini.

 

Penutup

Konflik tenurial hutan muncul akibat dishamoni kepentingan ekologi, sosial dan ekonomi. Disharmoni tersebut membuka peluang penyalahgunaan hak pemanfaatan kawasan hutan. Konflik tersebut perlu segera diurai dengan memetakan para pihak yang terlibat dan motif kepentingannya sehingga formulasi resolusi konflik dapat tepat sasaran.

Kebijakan berlandaskan scientific based akan meminimalkan resiko karena proses perumusan kebijakan tersebut bersandar pada nilai obyektivitas dan validitas. Kontribusi sains terhadap resolusi konflik tenurial melalui 2 model, yakni:

1)    Model agroforestri merangkul para pihak terlibat konflik mengharmonisasi kepentingan ekologi, sosial dan ekonomi;

2)    FORTAM memberikan panduan guna mengetahui tingkat konflik dalam kawasan hutan berdasarkan penjejagan terhadap riwayat status kawasan, pemanfaatan dan dampak konflik sehingga diperoleh formulasi resolusi konflik tenurial yang komprehensif. Model agroforestri dan FORTAM merupakan wujud nyata dukungan sains terhadap resolusi konflik tenurial. Sekian

Daftar Pustaka

 

  1. –(2020) KLHK Didorong Selesaikan Target Penetapan Kawasan Hutan, diakses tanggal 15 Februari 2021, < https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/30283/t/KLHK+Didorong+Selesaikan+Target+Penetapan+Kawasan+Hutan>;
  2. –(sine ano),link pengaduan konflik, tenurial dan hutan adat, Diakses tanggal 17 Februari 2021,  <http://pskl.menlhk.go.id/pktha/pengaduan/frontend/web/index.php?r=site%2Findex>
  3. Sylvana Ratina, Yayuk Siswiyanti, Dyah Puspasari, Nurva Chaily, Tutik Sriyati, Indah Rahmawati (2019) Jelajah IPTEK & Inovasi Lingkungan Hidup dan Kehutanan: Direktori Riset dan Inovasi, Badan Litbang dan Inovasi, Bogor
  4. Sri Lasmi, (2015) Penanganan konflik tenurial dan skema-skema pemberdayaan masyarakat didalam kawasan hutan, (slide presentasi pada Rapat Rekonsiliasi KHDTK tanggal 14-15 September 2015, diakses tanggal 17 Februari 2020, https://www.forda-mof.org//files/PENANGANAN_KONFLIK_DAN_TENURIAL.pdf
  5. Food and Agriculture Organization, (sine anno), Forest Tenure: Why Assessing Forest Ownership Important, website, diakses tanggal  17 Februari 2021 < http://www.fao.org/forestry/tenure/en/>
  6. Mia Siscawati, (2012), Dissertation of Doctor Philosphy: Social Movement and Forestry Scientific Examining the Community Forestry Movement in Indonesia, University of Washington, diakses tanggal 17 Februari 2021, https://digital.lib.washington.edu/researchworks/bitstream/handle/1773/21883/Siscawati_washington_0250E_10951.pdf?sequence=1&isAllowed=y

 

  1. Widyaningsih, T. S., Achmad, B., & Suyarno, S. (2014). Analisis Konflik Lahan Eks Kpwn Di Desa Teja, Kecamatan Rajagaluh, Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat. Jurnal Penelitian Agroforestri, 2(2), 57-66.
  2. Sylviani, S., & Hakim, I. (2014). Analisis Tenurial dalam Pengembangan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH): Studi Kasus KPH Gedong Wani, Provinsi Lampung. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 11(4), 29125.
  3. Krisdianto, Hendra Gunawan, Muhammad Zahrul M, Ratih Damayanti,. Dewi Ratnaningsih, Alfonsus H. Harianja (2018) 200 INOVASI BLI untuk Kelestarian Hutan dan Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup, Edisi Revisi. Bogor. Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi
 *Artikel diterbitkan pada Buletin Baplan Vol 19 no 3

0 comments: