Pendahuluan
Dilain sisi, harapan publik terhadap kinerja Direktorat
Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan dalam hal pengukuhan, penataan dan penetapan kawasan hutan cukup tinggi. Besarnya
harapan publik tersebut terungkap pada Rapat Dengar Pendapat antara Kementerian
Lingkungan Hidup (KLHK) dan Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR
RI) beberapa waktu lalu. Dikutip dari dpr ri.go.id, Salah satu unsur pimpinan
komisi IV mendorong Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata
Lingkungan KLHK untuk mempercepat penetapan kawasan hutan
dan menyampaikan datanya secara detail per-kabupaten/kota guna memberikan kepastian hukum atas kawasan
hutan.1
Merespon hal tersebut, Ditjen PSKL telah berinovasi melalui sistem informasi pengaduan konflik secara online. Kehadiran aplikasi tersebut setidaknya mampu mengidentifikasi peta konflik tenurial hutan2. Namun resolusi konflik tenurial hutan diperlukan pendekatan yang integratif dan komprehensif sehingga diperlukan dukungan lintas sektoral. Salah satu eselon I Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang diberikan kewenangan memberikan dukungan scientific terhadap kebijakan pengelolaan hutan adalah Badan Litbang dan Inovasi (BLI). Mengusung paradigma baru, Badan Litbang dan Inovasi (BLI) mendorong terjadinya proses produksi, co-produksi dan reproduksi pengetahuan serta diseminasi IPTEK Kehutanan khususnya dibidang lingkungan hidup dan kehutanan. Sejak berdirinya BLI, yang dahulunya bernama Bosbouw Proef Station Voor Het Boswezen tahun 1913, telah memiliki 200 inovasi IPTEK yang dapat dimanfaatkan oleh stakeholdernya sebagai alternatif solusi permasalahan3. Artikel ini akan mengulas kontribusi sains terhadap resolusi konflik tenurial melalui permodelan agroforestri dan permodelan Forest Tenurial Assessment (TAM).
Mengenal konsep Tenurial Hutan dan Akar Konfliknya
Sejatinya, konsep tenurial hutan di Indonesia terjadi jauh
sebelum kolonialisasi Belanda. Dalam disertasinya, Mia Siscawati (hal.47-50,
2012) mengupas tentang tenurial hutan di Indonesia di mulai sejak zaman Hindu
Jawa. Kala itu, hutan telah dikuasai dan dimanfaatkan
oleh masyarakat dengan kemunculan profesi kehutanan yang merujuk pada istilah
juruwana. Selanjutnya, hak privat atas hutan berubah menjadi hak publik
semenjak kolonial Belanda menjalankan
kebijakan ‘Politik Kehutanan’ di Jawa. Kebijakan tersebut mendorong Dinas
Kehutanan Belanda (Boschwezen)
mengeluarkan aturan tentang pemisahan antara lahan pertanian dan kehutanan.
Adapun lahan hutan dan lahan yang tidak bertuan diklaim sebagai lahan milik
pemerintah kolonial Belanda. Pasca kemerdekaan Indonesia, kebijakan tersebut
terus dianut oleh pemerintahan Indonesia6
Namun perlu diketahui bersama bahwa konflik merupakan
suatu situasi yang menyebabkan hambatan akibat salah satu pihak yang tidak
kooperatif terhadap kesepakatan bersama antar personal maupun kelompok.
Demikian halnya, konflik tenurial hutan muncul akibat disharmoni kepentingan
ekologi, sosial dan ekonomi.
Berkiprah selama 108 tahun, BLI telah memproduksi dan mereproduksi pengetahuan kehutanan mencakup aspek silvikutur, konservasi, rehabilitasi, ekologi, sosial ekonomi kehutanan, lingkungan hidup dan teknologi hasil hutan sebagai perwujudan paradigma baru. Di antara 200 inovasi aplikatif dan tepat guna telah dikembangkan oleh para peneliti yang berdedikasi, berkompeten dan profesional terdapat dua produk IPTEK relevan dimanfaatkan sebagai alternatif resolusi konflik. Detail keduanya akan diuraikan sebagai berikut:
Pola agroforestri merupakan resolusi konflik tenurial yang ideal karena mengakomodir kebutuhan para pihak yang terlibat konflik. Berdasarkan studi kasus yang diteliti, model agroforestri mampu memberdayakan masyarakat sekitar hutan untuk mendapatkan pendapatan tambahan tanpa mengabaikan aspek kelestarian hutan. Aplikasi model agroforestri potensial diimplementasikan pada kawasan hutan yang memiliki konflik penggunaan.
2. FORTAM: Forest Tenurial Assessment Model8
Model ini dikembangkan berdasarkan hasil studi kasus
tentang analisis tenurial dalam pengembangan kesatuan Pengelolaan Hutan di
Lampung. Tim penelitian terdiri dari
Sylviani dan Ismatul Hakim berupaya menguraikan kompleksitas konflik tenurial
hutan disebabkan oleh ketidakpastian
status kawasan hutan. Luaran FORTAM adalah menghasilkan suatu model pemanfaatan
lahan dalam satu unit manajemen KPH. Berdasarkan temuan lapangan dan analisis
terhadap riwayat dokumen kawasan hutan, relasi dan interaksi antar para pihak
bersengketa maka tim peneliti tersebut merumuskan model FORTAM kepanjangan dari
Forest Tenurial Assessment Model.
FORTAM bertujuan memberikan kejelasan status kawasan hutan
dengan mengulas riwayat pengelolaan kawasan merujuk dokumen otentik sehingga model analisis tenurial berguna
sebagai dasar dalam mengidentifikasi konflik lahan dengan menguraikan secara
rinci, mulai dari sejarah kawasan, penggunaan kawasan hingga dampak
pemanfaatan kawasan.
Adapun FORTAM
mengetahui tingkat konflik yang ada dalam kawasan hutan melalui beberapa
tahapan-tahapan seperti bagan dibawah ini.
Konflik tenurial hutan muncul akibat dishamoni kepentingan
ekologi, sosial dan ekonomi. Disharmoni tersebut membuka peluang penyalahgunaan
hak pemanfaatan kawasan hutan. Konflik tersebut perlu segera diurai dengan
memetakan para pihak yang terlibat dan motif kepentingannya sehingga formulasi
resolusi konflik dapat tepat sasaran.
Kebijakan berlandaskan scientific
based akan meminimalkan resiko karena proses perumusan kebijakan tersebut
bersandar pada nilai obyektivitas dan validitas. Kontribusi sains terhadap
resolusi konflik tenurial melalui 2 model, yakni:
1) Model agroforestri merangkul para pihak terlibat konflik mengharmonisasi
kepentingan ekologi, sosial dan ekonomi;
2) FORTAM memberikan panduan guna mengetahui tingkat konflik
dalam kawasan hutan berdasarkan penjejagan terhadap riwayat status kawasan,
pemanfaatan dan dampak konflik sehingga diperoleh formulasi resolusi konflik
tenurial yang komprehensif. Model agroforestri dan FORTAM merupakan wujud nyata
dukungan sains terhadap resolusi konflik tenurial. Sekian
Daftar Pustaka
- –(2020) KLHK Didorong Selesaikan Target Penetapan Kawasan Hutan, diakses
tanggal 15 Februari 2021, < https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/30283/t/KLHK+Didorong+Selesaikan+Target+Penetapan+Kawasan+Hutan>;
- –(sine ano),link pengaduan konflik, tenurial dan hutan adat,
Diakses tanggal 17 Februari 2021, <http://pskl.menlhk.go.id/pktha/pengaduan/frontend/web/index.php?r=site%2Findex>
- Sylvana Ratina, Yayuk Siswiyanti, Dyah Puspasari, Nurva Chaily,
Tutik Sriyati, Indah Rahmawati (2019) Jelajah IPTEK & Inovasi
Lingkungan Hidup dan Kehutanan:
Direktori Riset dan Inovasi, Badan Litbang dan Inovasi, Bogor
- Sri Lasmi, (2015) Penanganan konflik tenurial dan skema-skema
pemberdayaan masyarakat didalam kawasan hutan, (slide presentasi pada
Rapat Rekonsiliasi KHDTK tanggal 14-15 September 2015, diakses tanggal 17
Februari 2020, https://www.forda-mof.org//files/PENANGANAN_KONFLIK_DAN_TENURIAL.pdf
- Food and Agriculture Organization, (sine anno), Forest Tenure:
Why Assessing Forest Ownership Important, website, diakses tanggal 17 Februari 2021 < http://www.fao.org/forestry/tenure/en/>
- Mia Siscawati, (2012), Dissertation of Doctor Philosphy: Social
Movement and Forestry Scientific Examining the Community Forestry Movement
in Indonesia, University of Washington, diakses tanggal 17 Februari 2021, https://digital.lib.washington.edu/researchworks/bitstream/handle/1773/21883/Siscawati_washington_0250E_10951.pdf?sequence=1&isAllowed=y
- Widyaningsih, T. S., Achmad, B., & Suyarno, S. (2014). Analisis
Konflik Lahan Eks Kpwn Di Desa Teja, Kecamatan Rajagaluh, Kabupaten
Majalengka, Provinsi Jawa Barat. Jurnal Penelitian Agroforestri, 2(2),
57-66.
- Sylviani, S., & Hakim, I. (2014). Analisis Tenurial dalam
Pengembangan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH): Studi Kasus KPH Gedong
Wani, Provinsi Lampung. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan,
11(4), 29125.
- Krisdianto, Hendra Gunawan, Muhammad Zahrul
M, Ratih Damayanti,. Dewi Ratnaningsih, Alfonsus H. Harianja (2018) 200
INOVASI BLI untuk Kelestarian Hutan dan Peningkatan Kualitas Lingkungan
Hidup, Edisi Revisi. Bogor. Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi
0 comments:
Post a Comment