Tahun 2005 menjadi salah satu titik balik paling menentukan dalam hidup saya. Hari itu, dengan setengah terpaksa saya berangkat ke Kantor KSDAE Jawa Timur yang terletak di Area Bandara Juanda guna melihat pengumuman hasil tes CPNS Departemen Kehutanan T.A 2025. Sesampainya di kantor tersebut telah ada kerumunan orang dengan niat yang sama yakni melihat hasil pengumuman. Walaupun perasaaan pesimis menyelimuti hati, namun saya paksakan masuk kerumuman dan coba membaca dengan cermat daftar pengumuman kelulusan Calon Pegawai Negeri Sipil. Di antara deretan nama dan nomor peserta yang panjang, saya menemukan nama saya sendiri: dinyatakan lulus sebagai Calon Pustakawan.
Sejenak saya terdiam. Antara tak percaya dan syukur yang sulit diucapkan. Perasaan itu campur aduk—bahagia, haru, gugup, dan juga rasa tanggung jawab yang tiba-tiba terasa begitu besar. Dalam sekejap, semua usaha bertahun-tahun, dari belajar di bangku kuliah hingga menunggu peluang kerja yang pasti, terasa berbuah manis. Saya akan menjadi seorang pustakawan—profesi yang bagi sebagian orang terdengar sederhana, tetapi bagi saya, sangat bermakna.
Menerima Penugasan ke Kupang
Ada rasa bangga karena dipercaya untuk bertugas di kawasan timur Indonesia. Tapi ada juga sedikit keraguan. Saya tahu, penempatan di daerah berarti harus siap menghadapi segala keterbatasan: fasilitas, jarak dari keluarga, dan tentu saja perbedaan budaya. Namun dalam hati kecil saya, ada suara yang berkata pelan: “Setiap langkah baru selalu membawa pelajaran baru.”
Perjalanan ke Kupang dengan Pesawat Merpati
Hari keberangkatan tiba. Saya masih ingat jelas pagi itu, udara di bandara penuh dengan aroma khas bensin avtur dan suara mesin pesawat yang bergemuruh. Saya terbang dengan pesawat Merpati Nusantara Airlines, maskapai yang waktu itu masih setia melayani rute ke berbagai pelosok Indonesia.
Bagi saya, itu bukan penerbangan pertama, tetapi entah mengapa terasa sangat berbeda. Saya duduk di dekat jendela, menatap awan-awan putih yang bergerak perlahan di bawah sayap pesawat. Perasaan campur antara antusiasme dan gugup membuat waktu seolah berjalan cepat. Di kepala saya, terbayang banyak hal: bagaimana rupa kantor baru saya nanti, seperti apa kota Kupang, bagaimana orang-orang di sana berinteraksi, dan bagaimana saya bisa berkontribusi di tempat baru itu.
Saat roda pesawat menyentuh landasan, hati saya terasa hangat. Saya resmi tiba di Kupang—tempat di mana babak baru kehidupan saya akan dimulai.
Kesan Pertama di Tanah Timor
Begitu keluar dari pesawat, angin panas segera menyapa wajah. Kupang terasa lebih terik dari yang saya bayangkan. Namun di balik teriknya udara, saya merasakan kehangatan yang lain—senyum ramah para petugas bandara, sapaan sopan dengan logat khas NTT, dan cara mereka melayani penumpang yang membuat saya cepat merasa diterima.
Di luar bandara, saya dijemput oleh staf dari balai penelitian. Kami meluncur melewati jalan-jalan yang diapit oleh pohon lontar dan rumah-rumah sederhana. Kota Kupang saat itu masih tenang, belum seramai sekarang. Banyak area masih berupa padang rumput, dengan sesekali terlihat kambing atau sapi yang digembalakan di pinggir jalan.
Dalam perjalanan, saya mencoba mengenal ritme kota ini. Kupang punya tempo hidup yang berbeda: tidak tergesa-gesa, tenang, dan apa adanya. Saya segera menyadari, di sinilah saya akan belajar tentang kesabaran, ketulusan, dan cara hidup yang sederhana namun bermakna.
Hari Pertama di Balai Penelitian Kehutanan Bali Nusra
Gedung Balai Penelitian Kehutanan Bali Nusa Tenggara terletak di jalan Untung Suropati Air Nona dan berada kawasan yang tenang, dikelilingi pohon-pohon jati dan halaman luas. Suasana kantor itu memancarkan kesan ilmiah sekaligus bersahaja. Sebagian besar pegawai sudah lebih dulu mengenal satu sama lain, dan saya, pendatang baru, menyapa mereka dengan rasa segan tapi juga antusias.
Hari-hari pertama di Kupang adalah masa penyesuaian yang tidak mudah, tapi penuh pelajaran. Bahasa sehari-hari di lingkungan kantor dan masyarakat setempat terasa berbeda. Logat khas NTT terdengar tegas namun hangat. Saya belajar memahami gaya komunikasi mereka, yang kadang disertai tawa keras dan ungkapan spontan.
Perbedaan waktu dan gaya hidup juga cukup terasa. Di Kupang, matahari terbit lebih awal dan tenggelam lebih cepat. Banyak aktivitas masyarakat berlangsung di pagi hari, dan kantor pun biasanya sudah mulai ramai sejak pukul tujuh. Di sore hari, setelah jam kerja selesai, suasana kota menjadi sunyi perlahan.
Saya mencoba berbaur. Di luar jam kantor, saya sering berbincang dengan tetangga, mengikuti kegiatan gereja lingkungan, atau sekadar menikmati kopi di warung kecil sambil mendengarkan musik daerah. Dari interaksi itu, saya belajar tentang nilai-nilai kehidupan masyarakat NTT: keterbukaan, gotong royong, dan penghargaan terhadap hubungan kekeluargaan. Semua itu membuat saya merasa diterima dan nyaman.
Merombak Desain Pengelolaan Perpustakaan
Ketika mulai bertugas di Seksi Data dan Informasi, saya menemukan perpustakaan balai masih dikelola secara manual. Buku-buku penelitian tersimpan di rak kayu tanpa sistem katalog yang baku. Banyak koleksi laporan hasil penelitian belum terdokumentasi dengan baik, sehingga sulit dicari kembali. Saya menyadari bahwa bila ingin perpustakaan berfungsi optimal, harus ada perubahan mendasar.
Dengan semangat muda, saya mulai merancang desain pengelolaan perpustakaan yang lebih standar. Saya mempelajari berbagai pedoman dari Perpustakaan Nasional, berdiskusi dengan rekan pustakawan di daerah lain, dan mulai menyusun sistem klasifikasi sederhana.
Langkah pertama yang saya lakukan adalah melakukan inventarisasi ulang seluruh koleksi. Pekerjaan ini memakan waktu berbulan-bulan. Bersama dua rekan staf, kami menata ulang setiap buku, laporan, dan dokumen penelitian ke dalam sistem klasifikasi DDC sederhana. Saya juga mulai memperkenalkan nomor panggil dan kartu katalog, sesuatu yang belum pernah diterapkan di sana sebelumnya.
Meskipun sederhana, perubahan itu mulai menunjukkan hasil. Peneliti yang semula kesulitan mencari referensi, kini bisa menemukan bahan pustaka lebih cepat. Semangat kerja tim meningkat, dan perlahan, perpustakaan mulai menjadi ruang yang hidup.
Mimpi Membangun Otomasi Perpustakaan
Setelah fondasi tata kelola manual selesai, saya mulai bermimpi lebih jauh: membangun sistem otomasi perpustakaan. Tahun-tahun itu (sekitar 2006–2007) masih masa awal perkembangan teknologi informasi di instansi pemerintah daerah. Akses internet terbatas, komputer hanya beberapa unit, dan sebagian besar pegawai belum familiar dengan perangkat lunak perpustakaan.
Namun, saya percaya bahwa perpustakaan harus mengikuti perkembangan zaman. Saya mulai mempelajari perangkat lunak otomasi berbasis open source seperti Senayan Library Management System (SLiMS) dan beberapa sistem sederhana yang dapat dioperasikan secara lokal. Dengan dukungan kepala seksi dan pimpinan balai, saya mulai mencoba menginstal sistem katalog digital dan menginput data koleksi.
Proses ini tidak selalu mulus. Sering kali listrik padam di tengah pekerjaan, atau komputer mengalami gangguan. Tapi semangat untuk menghadirkan perpustakaan yang modern tidak pernah padam. Saya yakin bahwa perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil dan kesungguhan yang konsisten.
Tantangan dan Kemandirian
Kupang mengajarkan saya arti kemandirian. Dalam kondisi serba terbatas, saya belajar untuk tidak mudah menyerah. Ketika alat tidak tersedia, saya berimprovisasi. Ketika dukungan teknis minim, saya belajar secara otodidak. Saya percaya bahwa kemampuan pustakawan bukan hanya pada menjaga buku, tetapi juga pada kemampuan beradaptasi dan menciptakan solusi di tengah keterbatasan.
Saya juga belajar menghargai kerja sama lintas bidang. Banyak peneliti di balai yang mulai menyadari pentingnya dokumentasi hasil penelitian. Mereka datang ke perpustakaan untuk menitipkan laporan atau artikel ilmiah agar dapat diarsipkan dengan baik. Hubungan antara pustakawan dan peneliti pun menjadi semakin erat.
Perlahan tapi pasti, perpustakaan yang dulu sepi mulai ramai. Buku-buku baru berdatangan, laporan penelitian disusun rapi, dan sistem pengelolaan mulai tertata. Saya merasa puas setiap kali melihat rekan-rekan peneliti bisa menemukan referensi yang mereka butuhkan dengan mudah. Di situlah saya menemukan makna terdalam dari profesi ini: pustakawan bukan sekadar penjaga buku, tetapi penjaga pengetahuan.
Menutup Bab Kedua
Lima tahun pertama di Kupang menjadi masa pembentukan jati diri saya sebagai pustakawan dan sebagai pribadi. Saya belajar tentang tanggung jawab, ketekunan, dan arti pelayanan publik yang sesungguhnya.
Kupang bukan sekadar tempat penugasan. Ia menjadi ruang belajar yang mengasah karakter saya: dari seorang pemula yang kikuk menjadi sosok yang mulai memahami arti mengabdi. Setiap pagi, ketika sinar matahari menembus jendela ruang baca, saya selalu merasa ada semangat baru—semangat untuk terus memperbaiki diri dan memberikan yang terbaik, meskipun di tempat yang jauh dari pusat perhatian.
Di balik segala kesederhanaannya, Kupang memberikan saya satu pelajaran penting: bahwa perubahan tidak selalu dimulai dari kota besar. Kadang, perubahan bermula dari sebuah perpustakaan kecil di tanah kering, di mana semangat belajar tetap tumbuh di antara debu dan sinar matahari.
0 comments:
Post a Comment