Memasuki tahun-tahun setelah adaptasi awal, semangat saya untuk memperkuat pengelolaan perpustakaan di Balai Penelitian Kehutanan Bali Nusa Tenggara semakin besar. Saya mulai melihat bahwa peran pustakawan tidak hanya berkutat pada penataan buku, tetapi jauh lebih luas: membangun sistem informasi yang menjadi jantung dari aktivitas penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Menata Ulang Fondasi Pengelolaan Data
Pada 2008, saya memimpin inisiatif untuk menata ulang seluruh data hasil penelitian. Saat itu, laporan penelitian sering tersimpan di berbagai unit dan belum terkumpul secara sistematis. Saya bersama tim kecil di Seksi Data dan Informasi mulai menyusun strategi digitalisasi dokumen.
Dengan peralatan sederhana—sebuah komputer dengan prosesor lawas, scanner yang lambat, dan jaringan internet seadanya—kami mulai mendigitalisasi laporan-laporan penelitian terdahulu. Saya masih ingat, setiap kali mesin scanner berbunyi berisik dan hasil pemindaian mun
cul di layar, ada rasa puas yang sulit dijelaskan. Kami sedang membangun sesuatu yang penting: jembatan antara masa lalu dan masa depan ilmu pengetahuan kehutanan di Bali-Nusra.
Digitalisasi ini memberi dampak besar. Peneliti yang sebelumnya harus membuka lembaran laporan fisik tebal, kini bisa mengakses data dalam bentuk file digital. Lambat laun, sistem pengelolaan informasi penelitian menjadi lebih efisien, dan saya mulai dikenal di lingkungan balai sebagai pustakawan yang “gemar mencoba hal baru.”
Kupang dan Perubahan Teknologi
Sekitar tahun 2008–2009, teknologi informasi mulai berkembang cepat. Internet mulai lebih mudah diakses, dan muncul banyak aplikasi berbasis web. Saya mengikuti perubahan itu dengan penuh semangat. Hampir setiap malam, saya menyempatkan diri membaca panduan daring, mencoba instalasi sistem perpustakaan open source, dan berdiskusi melalui forum-forum pustakawan nasional.
Saya teringat masa ketika pertama kali berhasil menginstal SLiMS (Senayan Library Management System) versi awal di komputer kantor. Meski belum terhubung jaringan, tampilan layar yang menampilkan katalog digital itu membuat saya merasa dunia perpustakaan di Kupang memasuki babak baru.
Dari situ, saya menyusun roadmap sederhana: bagaimana menjadikan perpustakaan balai sebagai perpustakaan rujukan berbasis teknologi informasi untuk wilayah Bali dan Nusa Tenggara. Bukan sekadar wacana, tapi langkah nyata yang kami jalankan perlahan.
Tantangan Infrastruktur dan Sumber Daya
Namun, jalan menuju perubahan tidak selalu mulus. Fasilitas masih sangat terbatas. Listrik sering padam, koneksi internet lambat, dan banyak rekan kerja belum familiar dengan komputer. Ada yang berkomentar dengan nada bercanda, “Ah, pustakawan kok kayak operator komputer.”
Saya tersenyum mendengar itu. Saya tahu, tantangan terbesar bukan pada keterbatasan alat, melainkan mengubah cara pandang terhadap pustakawan itu sendiri. Bahwa pustakawan bukan hanya penjaga koleksi, tapi bagian penting dari rantai pengelolaan pengetahuan.
Saya tidak marah, justru menjadikan setiap komentar itu sebagai bahan bakar untuk terus bergerak. Saya mengadakan pelatihan internal kecil untuk rekan staf—cara mengetik cepat, mengelola file, dan memahami sistem katalog. Perlahan, kesadaran itu tumbuh. Mereka mulai melihat perpustakaan sebagai pusat data, bukan sekadar ruang penyimpanan.
Menemukan Ritme Kerja dan Arti Dedikasi
Kupang mengajarkan saya tentang keseimbangan hidup dan arti dedikasi yang sesungguhnya. Di tengah keterbatasan fasilitas, saya menemukan kekayaan lain yang jauh lebih berharga: semangat manusia yang luar biasa. Setiap orang di balai itu memiliki cara unik dalam berkontribusi, dan dari merekalah saya belajar bahwa pengabdian tidak selalu diukur dari besar kecilnya sarana, melainkan dari ketulusan hati.
Setiap pagi, saya datang lebih awal ke kantor. Membuka jendela ruang baca, mengatur ventilasi agar udara segar masuk, lalu memastikan rak-rak buku tersusun rapi. Ada ketenangan tersendiri ketika melihat sinar matahari perlahan menyentuh punggung buku, memunculkan aroma kertas yang khas—seakan memberi energi baru untuk memulai hari.
Tiap kali ada pengunjung datang, entah itu peneliti, mahasiswa, atau masyarakat umum, saya selalu berusaha melayani mereka dengan sebaik-baiknya. Saya percaya, pelayanan yang ramah adalah wajah pertama dari sebuah perpustakaan yang baik. Dari sanalah lahir keinginan kuat untuk meningkatkan kemampuan komunikasi, agar setiap informasi dan koleksi yang kami miliki dapat lebih dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat luas.
Sekitar tahun 2008, saya kembali memantapkan niat untuk melanjutkan pendidikan. Sebelumnya, saya telah menyelesaikan D3 Teknisi Perpustakaan di Universitas Airlangga dan S1 Administrasi Negara di Universitas Tulungagung pada tahun 2005. Namun, keinginan untuk terus belajar tidak pernah padam. Saya ingin memahami lebih dalam tentang ilmu komunikasi, karena pekerjaan saya sebagai staf di Seksi Data dan Informasi menuntut kemampuan dalam menyebarluaskan hasil penelitian dan mempromosikan koleksi perpustakaan secara lebih efektif.
Dorongan itu akhirnya membawa saya melanjutkan pendidikan di program S1 Ilmu Komunikasi Universitas Terbuka (UPBJJ Kupang), yang saat itu masih berlokasi di kampus lama Universitas Nusa Cendana, Naitoen. Saya menempuhnya melalui program alih jalur, sehingga dapat diselesaikan dalam waktu dua tahun, dari 2008 hingga 2010. Sistem pembelajaran jarak jauh menuntut kedisiplinan tinggi — saya harus pandai membagi waktu antara tugas kantor dan belajar mandiri. Malam hari dan akhir pekan sering saya manfaatkan untuk membaca modul, menulis tugas, atau berdiskusi dengan rekan sekelas.
Perjalanan studi ini menjadi pengalaman berharga yang memperluas wawasan sekaligus membentuk cara berpikir saya. Ilmu komunikasi membantu saya memahami bagaimana pesan dan pengetahuan dapat disampaikan secara efektif kepada publik, baik melalui kegiatan promosi perpustakaan maupun publikasi informasi ilmiah.
Bekal keilmuan tersebut juga mengasah keterampilan menulis opini. Saya mulai menyalurkan gagasan melalui tulisan-tulisan ringan dan reflektif, beberapa di antaranya terbit di media massa lokal seperti Pos Kupang, Timor Express, dan Kursor. Menulis menjadi sarana untuk berbagi pandangan, sekaligus bentuk kontribusi kecil saya dalam dunia literasi dan pelayanan informasi.
Setelah lulus dan diwisuda pada tahun 2010, saya tidak hanya resmi menyandang gelar Sarjana Ilmu Komunikasi (S.I.Kom.), tetapi juga mendapatkan peluang untuk penyetaraan gelar dan alih jenjang jabatan dari pustakawan terampil menjadi pustakawan keahlian. Semua ini menjadi bukti bahwa dengan niat, disiplin, dan semangat belajar yang berkelanjutan, ilmu dapat menjadi jalan untuk berkembang sekaligus memberi manfaat bagi banyak orang.
Itulah salah satu titik balik dalam karier saya—ketika dedikasi di bidang kepustakawanan berpadu dengan semangat belajar tanpa henti, demi menjadikan perpustakaan bukan sekadar tempat menyimpan buku, tetapi juga jembatan pengetahuan yang hidup dan berdaya guna.
Alih Jalur Pustakawan Ahli – Langkah Profesional
Tahun 2010 menjadi tahun penting berikutnya dalam perjalanan karier saya. Saat itu, pemerintah membuka kesempatan bagi pustakawan untuk mengikuti program alih jalur menjadi pustakawan ahli. Program ini diselenggarakan di Merdeka Selatan, Jakarta, di bawah koordinasi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Saya melihat kesempatan ini sebagai pintu untuk memperdalam pemahaman profesionalisme pustakawan. Dengan dukungan pimpinan, saya mengajukan diri dan dinyatakan lolos seleksi. Bagi saya, ini bukan sekadar pelatihan, tapi proses pembentukan kembali cara berpikir tentang peran pustakawan di era modern.Ketika tiba di Jakarta, suasana berbeda jauh dari Kupang. Kota yang sibuk, padat, dengan gedung-gedung tinggi dan ritme kerja yang cepat. Namun di tengah hiruk pikuk itu, saya merasa beruntung bisa belajar langsung dari para pustakawan senior dan akademisi yang menjadi narasumber.
Materi pelatihan mencakup banyak hal: manajemen koleksi, pengelolaan metadata, pelayanan informasi, hingga teknologi otomasi. Saya merasa seperti mendapatkan “peta baru” untuk melangkah lebih jauh.
Refleksi dari Merdeka Selatan
Selama program berlangsung, saya sering merenung malam-malam di asrama pelatihan. Saya memikirkan perjalanan saya dari perpustakaan kecil di Kupang hingga kini duduk bersama rekan-rekan pustakawan dari berbagai provinsi. Perasaan bangga bercampur dengan rasa tanggung jawab besar: apa yang saya pelajari di sini harus saya bawa kembali ke timur, untuk kemajuan daerah saya.
Saya sadar, menjadi pustakawan di daerah bukan hanya soal menjalankan tugas, tetapi juga soal membangun kesetaraan akses informasi. Daerah timur Indonesia tidak boleh tertinggal dalam hal pengetahuan.
Dari sinilah saya menemukan makna mendalam dari profesi yang saya pilih. Pustakawan adalah penjembatan antara ilmu dan masyarakat. Dan saya merasa terpanggil untuk terus memperjuangkan itu, sekecil apa pun langkahnya.
Kembali ke Kupang: Membawa Semangat Baru
Setelah menyelesaikan program alih jalur, saya kembali ke Kupang dengan semangat baru. Saya merasa seperti mendapat bekal energi segar. Saya mulai menerapkan apa yang saya pelajari: memperbaiki sistem klasifikasi, memperkuat layanan referensi, dan mulai merancang kegiatan literasi sederhana untuk staf dan masyarakat sekitar.
Saya juga mulai menulis laporan pengembangan perpustakaan secara berkala—bukan hanya sebagai kewajiban administratif, tapi sebagai bentuk dokumentasi kemajuan. Saya percaya, setiap proses perlu ditulis agar dapat menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya.
Kenaikan Pangkat Istimewa
Usaha keras itu mulai membuahkan hasil. Antara tahun 2010 hingga 2014, saya mendapat kenaikan pangkat istimewa setiap dua tahun. Dari golongan II/d naik hingga III/b, sebuah capaian yang pada waktu itu jarang terjadi secara beruntun di lingkungan balai.
Saya tidak melihatnya sekadar sebagai prestasi pribadi, tapi lebih sebagai pengakuan atas dedikasi dan konsistensi dalam menjalankan tugas. Di balik setiap angka golongan, ada jam-jam panjang di perpustakaan, ada kerja sunyi di balik layar komputer, ada kegigihan untuk terus belajar dan memperbaiki diri.
Kepuasan yang Tak Tergantikan
Yang paling membahagiakan bukan penghargaan atau pangkat, tetapi melihat perubahan nyata di lingkungan kerja. Perpustakaan yang dulu sepi kini menjadi tempat yang sering dikunjungi peneliti, mahasiswa, bahkan masyarakat umum.
Buku-buku hasil penelitian mulai dipinjam lebih sering, koleksi digital bertambah, dan sistem otomasi berjalan dengan baik meski masih sederhana. Ketika melihat seseorang menemukan referensi yang dibutuhkan berkat sistem yang saya bangun, saya merasa pekerjaan ini benar-benar berarti.
Kupang, Tempat Belajar Kehidupan
Di luar pekerjaan, kehidupan di Kupang juga membawa banyak pelajaran berharga. Saya belajar menghargai waktu, hidup sederhana, dan menjaga hubungan baik dengan masyarakat sekitar. Saya sering ikut kegiatan sosial, membantu sekolah-sekolah kecil dalam penyediaan bahan bacaan, atau memberikan pelatihan dasar literasi informasi bagi guru dan siswa.
Dari sana, saya semakin yakin bahwa pustakawan bukan profesi yang bekerja di balik meja saja. Ia adalah agen perubahan yang bisa membawa manfaat langsung bagi masyarakat.
Kadang, di sore hari ketika matahari mulai condong ke barat dan langit Kupang berubah jingga, saya duduk di beranda rumah dinas, memandangi cakrawala sambil merenungkan perjalanan hidup. Dari seseorang yang dulu hanya bermimpi bisa bekerja di dunia ilmu, kini saya menjadi bagian dari sistem yang menyebarkan ilmu itu sendiri.
Menatap Masa Depan
Menjelang akhir 2010, banyak hal sudah berubah. Saya tidak lagi merasa asing di Kupang. Kantor sudah seperti rumah kedua, rekan kerja seperti keluarga. Saya mulai berpikir untuk melangkah lebih jauh—bagaimana membawa ilmu pustakawan ke tingkat yang lebih tinggi, dan bagaimana terus belajar agar tidak tertinggal oleh perkembangan zaman.
Saya percaya, setiap orang memiliki panggilan hidup. Bagi saya, panggilan itu adalah mengabdi melalui pengetahuan. Apa pun bentuknya—buku, data, atau sistem—semuanya bermuara pada satu hal: melayani manusia agar lebih berpengetahuan.
Dan di penghujung tahun itu, ketika saya menutup pintu perpustakaan setelah jam kerja, saya tahu perjalanan saya baru saja dimulai.

https://orcid.org/0000-0002-6201-100X

0 comments:
Post a Comment