Dua puluh tahun telah berlalu sejak langkah pertama saya menapaki tangga dunia kepustakawanan. Dari ruang kecil berdebu di Balai Penelitian Kehutanan Bali Nusa Tenggara hingga ruang rapat modern di Pusat Data dan Informasi Kementerian Kehutanan, waktu berjalan secepat bayangan yang berpindah di antara dedaunan. Namun di balik laju itu, ada jejak panjang pembelajaran, kerja keras, dan permenungan yang tak pernah selesai.
Menjadi pustakawan bukanlah jalan yang populer ketika saya memulainya. Profesi ini kerap dianggap sunyi, bahkan terpinggirkan. Banyak orang membayangkan pustakawan hanya duduk di belakang meja, mencatat dan meminjamkan buku. Tapi bagi saya, di situlah justru letak kebesaran profesi ini: ia sunyi, tetapi berpengaruh; ia tidak banyak bicara, tetapi menjaga denyut kehidupan ilmu pengetahuan bangsa.
Saya belajar bahwa setiap buku yang tersusun di rak adalah hasil perjalanan panjang manusia yang mencari arti hidup. Setiap data yang tersimpan dengan rapi adalah bentuk tanggung jawab kita terhadap masa depan. Dan setiap perpustakaan, sekecil apa pun, adalah ruang keabadian gagasan.
Ketika saya menoleh ke belakang, perjalanan ini bukan tanpa jatuh bangun. Dari keterbatasan fasilitas di Kupang, peralihan sistem manual ke otomasi, hingga perjuangan melanjutkan studi ke Australia yang penuh rintangan budaya dan bahasa — semua meninggalkan bekas yang mendalam. Ada masa-masa ketika saya hampir menyerah, ketika rindu keluarga terasa seperti beban yang tak tertahankan. Namun di situlah kekuatan baru tumbuh: dari kesabaran, dari tekad, dan dari keyakinan bahwa ilmu adalah cahaya yang tak boleh padam.
Saya masih ingat ketika berdiri di tepi Torrens River, di Adelaide, menatap air yang mengalir pelan sambil membuka buku dan mengenang wajah keluarga di Indonesia. Saat itu saya memahami bahwa pengabdian tidak selalu berarti hadir secara fisik, tetapi bagaimana kita menjaga makna dari jarak — tetap belajar, tetap berjuang, agar kelak pulang membawa manfaat.
Kembali ke tanah air pada 2017 membawa tanggung jawab baru: membangun kembali, menata ulang, dan menyesuaikan langkah dengan perubahan zaman. Dunia pustakawan tidak lagi sama. Teknologi digital merambah cepat, mengubah cara orang mencari, mengelola, dan memahami informasi. Namun esensinya tetap: pustakawan adalah penuntun. Di tengah banjir informasi, ia menyalakan lentera agar orang tak tersesat.
Saya bersyukur karena sepanjang perjalanan, saya dikelilingi oleh orang-orang yang tulus — rekan sejawat, mentor, dan pimpinan yang memberi ruang tumbuh. Mereka tidak hanya mengajarkan pekerjaan, tetapi juga kebijaksanaan hidup. Saya belajar bahwa di balik sistem dan dokumen, ada nilai kemanusiaan yang jauh lebih besar: empati, kesabaran, dan semangat untuk terus berbagi pengetahuan.
Kini, setelah lebih dari dua dekade mengabdi, saya memahami bahwa profesi pustakawan sejati bukanlah tentang seberapa tinggi jabatan atau seberapa banyak sertifikat yang dikantongi. Melainkan tentang seberapa banyak pengetahuan yang berhasil dijaga dan diwariskan.
Ilmu itu seperti hutan. Ia tumbuh perlahan, memerlukan ketekunan, perawatan, dan perlindungan. Bila dirawat dengan baik, ia menjadi paru-paru bagi peradaban. Bila dibiarkan gundul, bangsa akan kehilangan arah. Dan pustakawan, sejatinya, adalah penjaga hutan itu — rimbawan pengetahuan yang menjaga keseimbangan antara tradisi dan inovasi, antara teks dan nilai.
Kepada generasi muda pustakawan, saya ingin menitipkan pesan sederhana:
Jangan pernah merasa kecil karena memilih profesi ini. Dunia mungkin berubah cepat, tetapi nilai dasar pustakawan — kejujuran, integritas, dan pelayanan ilmu — tidak akan lekang oleh waktu. Jadilah penjaga data yang andal, tetapi juga penjaga nurani yang lembut. Jadilah profesional yang terampil, tetapi juga manusia yang rendah hati.
Karena sesungguhnya, bekerja di dunia kepustakawanan adalah bekerja untuk peradaban. Kita mungkin tak selalu berada di panggung utama, tetapi dari balik layar, kita menyalakan lampu agar dunia tetap terang.
Saya menulis kisah ini bukan untuk membanggakan pencapaian, melainkan untuk menyadari betapa setiap langkah kecil ternyata memiliki arti besar bila dijalani dengan ketulusan. Bahwa hidup adalah serangkaian bab yang harus ditulis dengan kejujuran — baik saat bahagia, lelah, maupun ragu.
Dan kini, ketika menatap masa depan yang masih panjang, saya hanya ingin tetap berjalan di jalur ini: menjadi pustakawan yang belajar seumur hidup. Sebab dalam belajar, manusia menemukan dirinya; dalam berbagi pengetahuan, manusia menemukan makna hidupnya.
Maka biarlah kisah ini berakhir di sini, tapi semangatnya tidak.
Karena selama masih ada buku yang dibuka, data yang dikaji, dan generasi yang haus akan ilmu, tugas seorang pustakawan sejati tidak akan pernah selesai.
Rattahpinnusa Haresariu Handisa
Bogor – Jakarta, 2025
0 comments:
Post a Comment