Sunday, 12 October 2025

IX. Meniti Ujung Ranting, Merenda Akar Baru (2023–2025)

 Perjalanan hidup kerap membawa manusia pada persimpangan yang tak selalu mudah ditebak. Tahun 2023 menjadi tahun yang sarat dinamika bagi dunia kerja saya, sekaligus momentum besar bagi arah kelembagaan di tempat saya mengabdi. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang selama ini berdiri dalam satu atap besar, memasuki fase pemisahan kembali menjadi dua entitas: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan.

Pemisahan itu tidak sekadar berarti pergeseran struktur organisasi, tetapi juga membawa gelombang perubahan dalam penataan sumber daya manusia, sarana, dan kebijakan teknis. Dalam proses tersebut, Badan Standardisasi Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BSILHK) — tempat saya mengabdikan diri beberapa tahun terakhir — resmi dinyatakan dibubarkan.

Bagi banyak orang, pembubaran ini seperti kehilangan sebuah rumah besar yang telah membesarkan banyak ide, penelitian, dan kerja sama. Bagi saya pribadi, BSILHK bukan sekadar unit kerja, melainkan tempat di mana nilai integritas dan kolaborasi tumbuh subur. Saya masih ingat jelas saat dipercaya menjadi bagian dari tim penyusunan dokumen lingkungan Kantor Pusat BSI Gunung Batu, sebuah pengalaman yang mempertemukan saya dengan banyak sosok inspiratif, salah satunya Pak Dasminto, S.Pi., M.Si. — seorang figur yang saya anggap sebagai guru kehidupan dan mentor sejati.

Dari beliau, saya belajar tentang ketelitian, kesabaran, dan nilai tanggung jawab yang sederhana namun mendalam. Ia tidak banyak berbicara, tetapi setiap arahannya tajam dan penuh makna. “Kualitas kerja itu bukan dari seberapa cepat selesai, tapi seberapa dalam kita memahami maknanya,” begitu salah satu pesannya yang masih saya ingat. Dalam setiap rapat, dalam setiap lembar dokumen yang kami kerjakan bersama, saya menemukan keteladanan dalam diam — bentuk kepemimpinan yang menumbuhkan, bukan menekan.

Ketika wacana pemisahan kementerian mulai menguat, muncul dilema pribadi yang cukup berat: apakah saya akan tetap bertahan di ranah lingkungan hidup, atau kembali ke kementerian kehutanan, akar profesi dan jiwa rimbawan yang sudah melekat sejak awal pengabdian?

Pertimbangan itu tidak hanya bersifat administratif, melainkan juga spiritual dan emosional. Lingkungan hidup memberi ruang bagi pengembangan lintas disiplin, sementara kehutanan telah menanamkan nilai-nilai rimba yang mendalam dalam diri saya — nilai kesetiaan, ketekunan, dan penghormatan terhadap alam sebagai bagian dari kehidupan.

Pada akhirnya, setelah melalui perenungan panjang, saya memilih untuk kembali ke kehutanan. Saya sadar, jalan pulang bukan berarti mundur. Justru, di sanalah akar nilai profesional dan pengabdian saya tumbuh. Jiwa rimbawan adalah napas yang tidak bisa dipisahkan dari perjalanan saya sebagai pustakawan di sektor kehutanan.

Tahun 2025 menjadi awal babak baru setelah badai perubahan organisasi itu mereda. Saya mendapatkan amanah baru untuk bertugas di Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Kehutanan sebagai Pustakawan Madya. Penugasan ini terasa seperti lingkaran kehidupan yang berputar kembali: dari dulu mengelola data, pengetahuan, dan informasi di Kupang, kini kembali berhadapan dengan dunia data di tingkat pusat — dengan tantangan yang lebih luas dan teknologi yang jauh lebih kompleks.

Di Pusdatin, saya menemukan kembali gairah untuk belajar. Dunia pustakawan kini telah bertransformasi ke arah digitalisasi penuh, dengan tekanan pada open access, interoperabilitas data, dan integrasi sistem informasi. Tanggung jawab sebagai pustakawan madya bukan lagi sekadar mengelola koleksi, melainkan juga memastikan bahwa data dan pengetahuan dapat memberi manfaat strategis bagi pengambilan kebijakan.

Selain menjalankan tugas utama, saya juga diberi kepercayaan untuk mengasah kemampuan manajerial melalui berbagai kegiatan lintas bidang. Saya terlibat dalam pengembangan sistem layanan publik berbasis data, menjadi narasumber pelatihan literasi informasi, serta ikut menginisiasi kegiatan transformasi digital pustaka kehutanan.

Tak berhenti di sana, pada tahun yang sama saya mendapatkan kesempatan untuk menjadi asesor profesi pustakawan, sebuah peran yang membawa tanggung jawab moral besar untuk menilai sekaligus membina rekan sejawat agar kompetensi pustakawan Indonesia terus meningkat. Peran ini membuat saya semakin memahami bahwa profesi pustakawan bukan hanya tentang mengelola koleksi, tetapi juga tentang mengelola manusia dan martabat pengetahuan.

Selain itu, saya juga dipercaya sebagai jurnal reviewer di beberapa terbitan ilmiah. Aktivitas ini membuka ruang refleksi akademik baru — menelaah tulisan, memberi masukan substansial, dan memastikan kualitas publikasi pustakawan Indonesia semakin terjaga. Dari situ saya belajar bahwa menulis dan menilai tulisan adalah dua sisi dari proses belajar yang sama.

Meski dinamika organisasi terus bergulir, saya merasa justru di sinilah makna kedewasaan profesional diuji. Tidak lagi tergantung pada stabilitas institusi, melainkan pada keteguhan diri. Pengalaman panjang dari Kupang hingga Adelaide, dari ruang kecil perpustakaan Balai hingga meja kerja di pusat data, membentuk keteguhan bahwa di mana pun ditempatkan, pengabdian harus tetap berakar pada nilai: ilmu, integritas, dan kemanfaatan.

Kini, memasuki akhir tahun 2025, saya menatap masa depan profesi pustakawan dengan semangat baru. Dunia informasi bergerak cepat, teknologi berubah setiap waktu, namun esensi pustakawan tetap sama — menjaga agar pengetahuan tetap hidup, tersusun, dan bermanfaat bagi generasi berikutnya.

Sebagai seorang rimbawan pustakawan, saya percaya bahwa pengetahuan adalah hutan yang harus dirawat. Di dalamnya tumbuh berbagai pohon ide, semak pemikiran, dan bunga-bunga inspirasi. Bila tidak dijaga, hutan itu akan gundul — dan bangsa akan kehilangan arah.

Dari perjalanan panjang ini, saya belajar bahwa setiap fase, baik yang penuh tantangan maupun yang membawa kebahagiaan, semuanya adalah bagian dari proses menjadi manusia yang utuh. Perjalanan karier bukan sekadar soal jabatan, tetapi tentang makna hidup yang tumbuh dari kerja keras, kesetiaan, dan ketulusan.

Dan di antara semua perubahan yang datang silih berganti, saya selalu kembali pada satu keyakinan: bahwa pustakawan sejati bukan hanya penjaga buku, tetapi penjaga pengetahuan dan jiwa bangsa.

0 comments: