(Photo credit to |
Buku merupakan wujud
karsa manusia berbentuk kumpulan tulisan. Perkembangan peradapan manusia
berpengaruh terhadap perkembangan buku dari masa ke masa. Pada mulanya, manusia
menganut pola kehidupan meramu dan berburu sehingga pola kehidupan tersebut
menuntut mereka hidup berkelompok dan berpindah-pindah tempat (non-maden). Pada masa itu, mereka
belajar ilmu navigasi dan melacak jejak hewan buruan. Menyadari akan
keterbatasan daya ingatnya maka mereka berkomunikasi secara sederhana melalui
beragam simbol yang terpahat pada dinding gua, batu, kayu atau benda lainnya. Selanjutnya
pada awal peradapan, bangsa Mesopotamia membuat cantuman (record) pada lempeng tanah liat. Semenjak saat itu, manusia mulai
berkomunikasi dengan manusia lain dengan bahasa tulisan secara formal.
Pada abad pertengahan, bangsa Eropa membuat
buku dalam bentuk lembaran yang dijilid dan diletakkan antara dua papan kayu
serta mengunakan kulit binatang sebagai pelapis (Parchmen). Selanjutnya pada abad ke-16, buku berkembang secara
pesat karena Guttenberg menciptakan mesin cetak. Bersamaan dengan penemuan tersebut,
lahir paham Renaissance di Eropa. Timbulnya aliran romantik yang mementingkan
logika dalam berbagai penemuan serta usaha gereja disegala bidang. Penentangan
itu secara tidak langsung mendapat dukungan dari penemuan mesin cetak. Saat
Marthen luther menempelkan protesnya di gereja Wiltenberg 1517, dia menggunakan
protes tercetak. Semenjak saat itu mesin cetak yang diasosiakan dengan buku
memiliki dampak sosial yang besar yakni sebagai media propaganda.
Pasang surut perkembangan buku disuatu
negara bergantung pada kondisi sosial politik, ekonomi dan pendidikan negara
tersebut. Hal prinsipil yang membedakan perkembangan buku antara negara maju
dan berkembang adalah: masyarakat di negara maju buku telah menjadikan buku
sebagai kebutuhan kultural sedangkan masyarakat negara berkembang masih
berkutat pada pemenuhan kebutuhan ekonomi. Kebutuhan kultural yang identik
dengan aktivitas intelektual dan seni seperti membaca, menulis atau seni
pertunjukan menjadikan negara maju unggul dalam ilmu pengetahuan. Ungkapan
Roger Bacon, filosof berkebangsaan Perancis pada abad pertengahan, “Nam et
ipsa scientia postesa est” atau ‘ Ilmu
pengetahuan adalah kekuatan’ merupakan tabir rahasia keunggulan negara maju
diberbagai sektor. Kondisi yang ideal seperti: adanya kemakmuran ekonomi merangsang
individu maupun organisasi mengekspresikan intelektualitasnya secara bebas. Pertumbuhan
ekonomi turut merangsang perkembang industri penerbitan dan media massa. Namun
faktor-faktor tersebut diluar jangkauan bagi masyarakat di negara berkembang.
Mereka masih disibukkan pemenuhan primernya daripada kebutuhan intelektualnya sehingga
perkembangan buku masih stagnan jika dibandingkan dengan perkembangan buku di
negara maju.
Pencapaian
kondisi ideal memerlukan proses. Dalam konteks kelokalan maka sepatutnya pemerintah
Indonesia memposisikan buku sebagai katalisator pembentukan karakter bangsa. Realitasnya,
harapan tersebut masih angan belaka. Menilik perkembangan buku di Indonesia maka
tersaji kendala-kendala sebagai berikut:
1.
Sensor
Sensor merupakan tindakan preventif untuk menilai ‘isi’ atau ‘kandungan
informasi’ pada sebuah buku sebelum buku tersebut diedarkan. Sensor kerap kali
menjadi ‘momok’ bagi para penulis dan para penerbit yang terbitannya
bersentuhan dengan politik. Apabila buku-buku karya mereka ‘terindikasi’ mengancam
penguasa maka rezim penguasa dapat sepihak mencabut izin penerbitan buku-buku
tersebut. Sehingga buku-buku tersebut akan gagal beredar di masyarakat. Tercatat
beberapa buku, semisal: ‘Sapta Dharma’
karangan Mr. Yamin; ‘Demokrasi Kita’
karya milik Mr. Mochamad Hatta sempat dilarang peredarannya karena tokoh-tokoh
tersebut berseberangan politik dengan rezim penguasa. Selain itu, buku-buku
karangan sastrawan yang ‘dicap oleh rezim berkuasa’ berafiliasi Lekra, semisal:
seri novel karangan Pramoedya Ananta Noer sempat terkena dampak sensor sehingga
tertralogi karya Ananta Noer tersendat peredarannya akibat tidak lulus sensor. Namun,
pelarangan tersebut tidak permanen sifatnya. Maksudnya, buku yang pada mulanya dilarang
peredarannya oleh rezim penguasa. Pada akhirnya buku tersebut dapat beredar
disebabkan tumbangnya rezim.
2.
Pelarangan
Terdapat banyak faktor yang menyebabkan sebuah buku dilarang beredar
disuatu negara. Selain buku tidak dapat
melewati proses sensor sehingga berakibat pelarangan. Namun kondisi sosial
kemasyarakan turut berpengaruh. Munculnya kelompok penekan (pressure group) yang memanfaatkan
potensi massanya dapat menekan pemerintah serta penerbit swasta untuk tidak
menerbitkan buku yang dianggap bertentangan dengan ajaran mereka. Tekanan
kepada pemerintah untuk melarang beredarnya buku ‘Terang Bulan’ pada tahun
1950-an karena buku ini dianggap memuat hal-hal yang berbau pornografi oleh kalangan tertentu.
3.Maraknya tayangan hiburan yang menawarkan gaya hidup hedonisme.
Sebagian besar masyarakat menggandrungi serial televisi dan aneka
ragam film-film daripada buku. Masyarakat
seolah abai terhadap penetrasi budaya secara senyap (klandestain). Apabila kita kritis maka kita akan mengenali
penetrasi budaya ‘instanme’ dan ‘hedonisme’ pada tayangan-tayangan televisi maupun
film-film. Virus gaya hidup hedonis mulai menjangkiti sebgian besar generasi
muda bangsa Indonesia sehingga mereka mulai melupakan budipekerti dan
nasionalisme yang menjadi identitas bangsa. Terlebih budaya literer yang
melekat pada tradisi nenek moyang turut luntur.
4.Pembajakan.
Pembajakan merupakan wujud ‘kejahatan intelektual’ sebab pembajakan buku
telah menciderai hak cipta baik penulis maupun pengarang. Ternyata, Undang Undang
nomor 12 tahun 1997 tentang Hak Kekayaan Intelektual belum efektif memberantas
kejahatan ini. Walaupun pembajakan buku termasuk delik perkara, namun masih
banyak para pembajak buku yang lolos dari jeratan hukum. Teridentifikasi bahwa
para pembajak bermotif bisnis semata. Para pembajak melihat celah bahwanya
terjadi ‘gap’ antara ongkos produksi yang tinggi dan daya beli masyarakat yang rendah. Sehingga
para pembajak mencoba menekan ongkos produksi dengan cara mereproduksi
buku-buku best seller sehingga para pembajak buku tidak terbebani membayar
royalti kepada penulis dan membayar pajak dan mereka dapat memaksimalkan
keuntungannya. Tidak mengherankan jika buku bajakan lebih diminati oleh
konsumennya.
Namun praktek dan produk
bajakan tidak dapat ditolerir sebab kemanfaatan produk bajakan tidak sepadan
dengan dampaknya. Perlu direnungkan bahwa pembajakan buku mematikan eksistensi para
penulis. Gairah mereka untuk berkarya akan surut sebab mereka tidak
memperoleh income dari karya-karya mereka. Ingatlah, para penulis juga seorang
manusia yang butuh sandang, pangan dan papan. Jika mereka tidak dapat memenuhi
kebutuhan pokoknya maka mereka juga tidak dapat berkarya. Selain itu, konsumen
buku bajakan juga akan dirugikan karena
mereka memperoleh produk dengan kualitas yang rendah. Terlebih lagi, kualitas
buku asli jauh lebih baik daripada buku bajakan.
Berdasarkan uraian diatas, perkembangan
buku turut dipengaruhi oleh kondisi sosial politik, ekonomi dan pendidikan pada
suatu negara. Apabila buku telah ditempatkan sebagai kebutuhan kultural maka
masyarakat akan berposes menuju kematangan sosial dan kultural. Dampaknya bermuara
pada kemajuan suatu bangsa.
Adapun tantangan bagi buku yang teridentifikasi
adalah ‘politisasi’ aturan sensor, munculnya kelompok penekan ‘anti buku’ serta
maraknya pembajakan buku. Walaupun tantangan tersebut dating menghadang, namun
praktisi perbukuan harus optimis untuk bertahan. Buku akan eksis selama ilmu
pengetahuan masih dipelajari dan dikembangkan oleh manusia. Optimisme tersebut
hendaknya diwujudkan dengan sikap selalu berinovasi dalam dunia penerbitan, semisal
mempublikasikan buku secara independen guna menekan ongkos distribusi ataupun
mencetak buku dalam format elektronik. Selain itu, hubungan baik antara
penerbit dengan Eksekutif, Legislative maupun Lembaga swadaya masyarakat dapat
menaikkan posisi tawar praktisi penerbitan. Terlebih, sinergi antara Lembaga
swadaya masyarakat yang bergerak bidang media dengan praktisi perbukuan akan
menghasilkan kekuatan penyeimbang dalam hal perumusan regulasi tentang ‘Perbukuan’.
Sedangkan pembajakan buku dapat dilakukan secara preventif dan kuratif oleh
para penegak hokum dan stakeholdenya. Semoga artikel singkat ini menambah khazanah
kita terkait dunia perbukuan. Sekian
0 comments:
Post a Comment