Sunday, 17 April 2016

BUKU MENGHADAPI TANTANGAN ZAMAN

(Photo credit to stephsureads.blogspot.com)

Buku merupakan wujud karsa manusia berbentuk kumpulan tulisan. Perkembangan peradapan manusia berpengaruh terhadap perkembangan buku dari masa ke masa. Pada mulanya, manusia menganut pola kehidupan meramu dan berburu sehingga pola kehidupan tersebut menuntut mereka hidup berkelompok dan berpindah-pindah tempat (non-maden). Pada masa itu, mereka belajar ilmu navigasi dan melacak jejak hewan buruan. Menyadari akan keterbatasan daya ingatnya maka mereka berkomunikasi secara sederhana melalui beragam simbol yang terpahat pada dinding gua, batu, kayu atau benda lainnya. Selanjutnya pada awal peradapan, bangsa Mesopotamia membuat cantuman (record) pada lempeng tanah liat. Semenjak saat itu, manusia mulai berkomunikasi dengan manusia lain dengan bahasa tulisan secara formal.
Pada abad pertengahan, bangsa Eropa membuat buku dalam bentuk lembaran yang dijilid dan diletakkan antara dua papan kayu serta mengunakan kulit binatang sebagai pelapis (Parchmen). Selanjutnya pada abad ke-16, buku berkembang secara pesat karena Guttenberg menciptakan mesin cetak. Bersamaan dengan penemuan tersebut, lahir paham Renaissance di Eropa. Timbulnya aliran romantik yang mementingkan logika dalam berbagai penemuan serta usaha gereja disegala bidang. Penentangan itu secara tidak langsung mendapat dukungan dari penemuan mesin cetak. Saat Marthen luther menempelkan protesnya di gereja Wiltenberg 1517, dia menggunakan protes tercetak. Semenjak saat itu mesin cetak yang diasosiakan dengan buku memiliki dampak sosial yang besar yakni sebagai media propaganda.
Pasang surut perkembangan buku disuatu negara bergantung pada kondisi sosial politik, ekonomi dan pendidikan negara tersebut. Hal prinsipil yang membedakan perkembangan buku antara negara maju dan berkembang adalah: masyarakat di negara maju buku telah menjadikan buku sebagai kebutuhan kultural sedangkan masyarakat negara berkembang masih berkutat pada pemenuhan kebutuhan ekonomi. Kebutuhan kultural yang identik dengan aktivitas intelektual dan seni seperti membaca, menulis atau seni pertunjukan menjadikan negara maju unggul dalam ilmu pengetahuan. Ungkapan Roger Bacon, filosof berkebangsaan Perancis pada abad pertengahan, “Nam et ipsa scientia postesa est” atau ‘ Ilmu pengetahuan adalah kekuatan’ merupakan tabir rahasia keunggulan negara maju diberbagai sektor. Kondisi yang ideal seperti: adanya kemakmuran ekonomi merangsang individu maupun organisasi mengekspresikan intelektualitasnya secara bebas. Pertumbuhan ekonomi turut merangsang perkembang industri penerbitan dan media massa. Namun faktor-faktor tersebut diluar jangkauan bagi masyarakat di negara berkembang. Mereka masih disibukkan pemenuhan primernya daripada kebutuhan intelektualnya sehingga perkembangan buku masih stagnan jika dibandingkan dengan perkembangan buku di negara maju.
Pencapaian kondisi ideal memerlukan proses. Dalam konteks kelokalan maka sepatutnya pemerintah Indonesia memposisikan buku sebagai katalisator pembentukan karakter bangsa. Realitasnya, harapan tersebut masih angan belaka. Menilik perkembangan buku di Indonesia maka tersaji kendala-kendala sebagai berikut:
1.      Sensor
Sensor merupakan tindakan preventif untuk menilai ‘isi’ atau ‘kandungan informasi’ pada sebuah buku sebelum buku tersebut diedarkan. Sensor kerap kali menjadi ‘momok’ bagi para penulis dan para penerbit yang terbitannya bersentuhan dengan politik. Apabila buku-buku karya mereka ‘terindikasi’ mengancam penguasa maka rezim penguasa dapat sepihak mencabut izin penerbitan buku-buku tersebut. Sehingga buku-buku tersebut akan gagal beredar di masyarakat. Tercatat beberapa buku, semisal: ‘Sapta Dharma’ karangan Mr. Yamin; ‘Demokrasi Kita’ karya milik Mr. Mochamad Hatta sempat dilarang peredarannya karena tokoh-tokoh tersebut berseberangan politik dengan rezim penguasa. Selain itu, buku-buku karangan sastrawan yang ‘dicap oleh rezim berkuasa’ berafiliasi Lekra, semisal: seri novel karangan Pramoedya Ananta Noer sempat terkena dampak sensor sehingga tertralogi karya Ananta Noer tersendat peredarannya akibat tidak lulus sensor. Namun, pelarangan tersebut tidak permanen sifatnya. Maksudnya, buku yang pada mulanya dilarang peredarannya oleh rezim penguasa. Pada akhirnya buku tersebut dapat beredar disebabkan tumbangnya rezim.
2.      Pelarangan
Terdapat banyak faktor yang menyebabkan sebuah buku dilarang beredar disuatu negara. Selain  buku tidak dapat melewati proses sensor sehingga berakibat pelarangan. Namun kondisi sosial kemasyarakan turut berpengaruh. Munculnya kelompok penekan (pressure group) yang memanfaatkan potensi massanya dapat menekan pemerintah serta penerbit swasta untuk tidak menerbitkan buku yang dianggap bertentangan dengan ajaran mereka. Tekanan kepada pemerintah untuk melarang beredarnya buku ‘Terang Bulan’ pada tahun 1950-an karena buku ini dianggap memuat hal-hal yang berbau pornografi   oleh kalangan tertentu.
3.Maraknya tayangan hiburan yang menawarkan gaya hidup hedonisme.
Sebagian besar masyarakat menggandrungi serial televisi dan aneka ragam film-film daripada  buku. Masyarakat seolah abai terhadap penetrasi budaya secara senyap (klandestain). Apabila kita kritis maka kita akan mengenali penetrasi budaya ‘instanme’ dan ‘hedonisme’ pada tayangan-tayangan televisi maupun film-film. Virus gaya hidup hedonis mulai menjangkiti sebgian besar generasi muda bangsa Indonesia sehingga mereka mulai melupakan budipekerti dan nasionalisme yang menjadi identitas bangsa. Terlebih budaya literer yang melekat pada tradisi nenek moyang turut luntur.
4.Pembajakan.
Pembajakan merupakan wujud ‘kejahatan intelektual’ sebab pembajakan buku telah menciderai hak cipta baik penulis maupun pengarang. Ternyata, Undang Undang nomor 12 tahun 1997 tentang Hak Kekayaan Intelektual belum efektif memberantas kejahatan ini. Walaupun pembajakan buku termasuk delik perkara, namun masih banyak para pembajak buku yang lolos dari jeratan hukum. Teridentifikasi bahwa para pembajak bermotif bisnis semata. Para pembajak melihat celah bahwanya terjadi ‘gap’ antara ongkos produksi yang tinggi  dan daya beli masyarakat yang rendah. Sehingga para pembajak mencoba menekan ongkos produksi dengan cara mereproduksi buku-buku best seller sehingga para pembajak buku tidak terbebani membayar royalti kepada penulis dan membayar pajak dan mereka dapat memaksimalkan keuntungannya. Tidak mengherankan jika buku bajakan lebih diminati oleh konsumennya.
 Namun praktek dan produk bajakan tidak dapat ditolerir sebab kemanfaatan produk bajakan tidak sepadan dengan dampaknya. Perlu direnungkan bahwa pembajakan buku mematikan eksistensi para penulis. Gairah mereka untuk berkarya akan surut sebab mereka tidak memperoleh income dari karya-karya mereka. Ingatlah, para penulis juga seorang manusia yang butuh sandang, pangan dan papan. Jika mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya maka mereka juga tidak dapat berkarya. Selain itu, konsumen buku bajakan  juga akan dirugikan karena mereka memperoleh produk dengan kualitas yang rendah. Terlebih lagi, kualitas buku asli jauh lebih baik daripada buku bajakan.
Berdasarkan uraian diatas,  perkembangan buku turut dipengaruhi oleh kondisi sosial politik, ekonomi dan pendidikan pada suatu negara. Apabila buku telah ditempatkan sebagai kebutuhan kultural maka masyarakat akan berposes menuju kematangan sosial dan kultural. Dampaknya bermuara pada kemajuan suatu bangsa.
Adapun tantangan bagi buku yang teridentifikasi adalah ‘politisasi’ aturan sensor, munculnya kelompok penekan ‘anti buku’ serta maraknya pembajakan buku. Walaupun tantangan tersebut dating menghadang, namun praktisi perbukuan harus optimis untuk bertahan. Buku akan eksis selama ilmu pengetahuan masih dipelajari dan dikembangkan oleh manusia. Optimisme tersebut hendaknya diwujudkan dengan sikap selalu berinovasi dalam dunia penerbitan, semisal mempublikasikan buku secara independen guna menekan ongkos distribusi ataupun mencetak buku dalam format elektronik. Selain itu, hubungan baik antara penerbit dengan Eksekutif, Legislative maupun Lembaga swadaya masyarakat dapat menaikkan posisi tawar praktisi penerbitan. Terlebih, sinergi antara Lembaga swadaya masyarakat yang bergerak bidang media dengan praktisi perbukuan akan menghasilkan kekuatan penyeimbang dalam hal perumusan regulasi tentang ‘Perbukuan’. Sedangkan pembajakan buku dapat dilakukan secara preventif dan kuratif oleh para penegak hokum dan stakeholdenya. Semoga artikel singkat ini menambah khazanah kita terkait dunia perbukuan. Sekian

0 comments: