(photo credit |
“Perempuan itu soko guru peradapan ! Bukan
karena perempuan yang dipandang cakap untuk itu, melainkan oleh karena saya
sendiri yakin sungguh bahwa dari perempuan
itu pun mungkin timbul pengaruh yang besar ... Dari perempuanlah pertamalah pertama-tama manusia itu
menerima didikannya-diharibaanlah anak itu belajar merasa dan perpikir,
berkata-kata dan makin lama makin tahulah saya bahwa didikan yang mula-mula itu
bukan tidak besar pengaruhnya bagi kehidupan manusia itu kemudian hari. Dan betapakah ibu bumiputera itu sanggup mendidik
anaknya, bila mereka itu tiada berpendidikan ?. ”
(Nukilan surat Kartini ke
Nyonya Abendanon, tanggal 21 Januari 1901 dalam Armijn Pane (1938)1).
Visioner, itulah
kesan pertama kita menilai pemikiran R.A Kartini.yang tertulis pada cuplikan
surat diatas. Pada saat bangsanya terkungkung oleh keterbelakangan, RA. Kartini
telah memikirkan nasib kaumnya untuk
lepas dari belitan kebodohan. Emansipasi wanita merupakan isu yang tetap
relevan diperbincangkan sampai saat ini. Kenapa setiap tanggal 21 April
diperingati sebagai Hari Kartini ? Hal tersebut merupakan bentuk apresiasi
kepada RA. Kartini sebagai ikon emansipasi wanita Indonesia. Tidak ada salahnya
jika kita menelisik kembali sejarah kehidupan beliau serta menggali lebih dalam
pemikiran-pemikirannya untuk meneladani
sosok serta mewujudkan mimpi-mimpinya.
Kilas
Balik
Kartini lahir
tanggal 28 Rabiul Awal tahun Jawa 1808 (21 April 1879) dan merupakan cucu
Pangeran Ario Tjondronegoro, Bupati Demak yang terkenal suka kemajuan. Kakek
beliau merupakan Bupati pertama yang mendidik anak-anaknya baik laki maupun
perempuan dengan pelajaran Barat. Lingkungan tersebut mendukung Kartini beserta saudara-saudaranya
untuk mengenyam pendidikan. Silsilah keluarga yang berprndidikan tersebut menambah
kewibawaan keluarganya. Namun ketika Kartini berusia 12 tahun, tiba-tiba orang
tua beliau tidak memperbolehkannya keluar rumah untuk meneruskan pendidikannya
atau istilahnya : Pingitan. Walaupun kedua orangtuanya berpendidikan namun
mereka masih memegang teguh adat leluhur. Pingitan merupakan hari-hari penuh
tekanan karena menjauhkannya dari kesengangannya dan mengasingkannya dari
pergaulan. Beliau tidak kuasa melawan adat sehingga memaksa beliau mencari
pelipur hati yang mampu menanggung derita itu semua. Selama menjalani pingitan,
aktivitasnya diisi dengan membaca buku sebab pada dasarnya beliau tipikal
senang belajar. ’Lama kelamaan membaca buku itu menjadi nafsu baginya. Baru
saja habis pekerjaanya dengansegera ia pergi asyik membaca. Apa saja
dibacanya, mengerti atau tidak (maka hal itu) tidak dipedulikannya. Tidak
menajdikanya putus asa. Jika tidak mengerti diulangi sekali lagi, jika belum
juga ditigalikannya. Selain membaca, Kartini suka menulis dalam majalah dan
surat kabar” (Armijn Pane. 1938 hal,10). Kungkungan adat pun tidak mampu
menghalangi semangat belajar Kartini yang tinggi.
Pada tahun 1898,
Kartini mendapat kebebasannya secara resmi untuk bepergian meninggalkan tempat
tinggalnya. Kesempatan tersebut sekaligus membuka pikiran Kartini terhadap
realitas yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Dibenak Kartini muncul ras
ketidak adilan atas nasib kaum wanita bahwa nasib dan tujuan hidup gadis Bumiputera
adalah menikah dengan lelaki yang tidak dikenal. Sontak muncul bibit perlawanan
dalam diri Kartini atas nasib kaumnya tersebut. Beliaupun memperluas
pergaulannya dengan kaum Eropa yang lebih moderat pemikirannya. Tahun 1900,
beliau berkenalan dengan Mr.Abendanon beserta istrinya yang tengah berkunjung
ke Jepara. Pada waktu itu, Kartini hendak pergi ke Belanda untuk meneruskan
studi namun niat tersebut diurungkan setelah mendengar nasihat Mr.Abendanon
yang menyarankannya melanjutkan studi guru di Betawi. Adapun maksudnya adalah
Kartini dapat merintis berdirinya sekolah bagi wanita. Tanggal 25 Januari 1903,
atas ajakan Mr. Abondanon maka Kartini
mengirim reker kepada pemerintah Belanda agar diperkenankan melanjutkan
studi menjadi guru di Betawi. Bersamaan dengan itu, Mr.Abondanon mendorong Kartini
untuk merealisasikan mimpinya mendirikan sekolah wanita sembari menunggu
jawaban reker yang dikirimnya. Maka Kartini dan Kadinah (adiknya) mendirikan
sekolah wanita. Akhirnya balasan rekernya terjawab tanggal 7 s/d 24 Juli 1903,
namun kesempatan tersebut diabaikan Kartini karena dalam waktu dekat dia akan
menikah. Tanggal 13 September 1904, Kartini melahirkan bayi laki-laki dan empat
hari kemudian beliau meninggal dunia.
Potret
Wanita Indonesia saat ini.
Kematian tidak
memadamkan semangat Kartini untuk memperjuangkan hak kaumnya. Surat-suratnya
telah mentransformasikan pemikirannya kepada generasi berikutnya. Sehingga
spirit emansipasi Kartini masih tetap hidup. Dalam kurun 105 tahun wanita
Indonesia telah berhasil mewujudkan mimpi-mimpi Kartini. Perempuan mempunyai
hak yang sama untuk mengenyam pendidikan dan bahkan beberapa tokoh wanita telah
berhasil berkarir disektor publik. Sebut saja: Megawati (Presiden RI ke-4), Brigadir
Jenderal (Pol) Ruminah (Kapolda wanita pertama di Indonesia) dan masih banyak
lagi. Tokoh-tokoh wanita tersebut menjadi bukti bahwa persamaan
hak telah terlaksana di Indonesia.
Keberhasilan
beberapa tokoh wanita tersebut ibarat menara gading. Hanya
segelintir orang wanita Indonesia yang beruntung mendapat kesempatan tersebut. Kebodohan dan kemiskinan merupakan penghalang bagi wanita untuk memperbaiki
kualitas diri. Padahal wanita memiliki
peran strategis bagi keberlanjutan bangsa dan negara ini. Dari rahim merekalah
akan lahir generasi penerus bangsa ini. Dalam asuhannya lah akan tercipta
calon-calon pemimpin bangsa di masa datang. Karena pendidikan paling fundamen
adalah pendidikan dilingkungan keluarga. Dan sosok Ibu-lah merupakan guru
kehidupan yang memberikan teladan bagi
anak-anaknya.
Penutup
Emansipasi
bukanlah semata-mata menuntut persamaan hak dengan mengabaikan kodrat kewanitaanya.
Namun menggunakan haknya secara proposional sesuai kodrat kewanitaan untuk
kemanfaatan yang lebih luas. Ingat bahwa Kartini memimpikan wanita Indonesia
mendapat kesempatan yang sama untuk menuntut ilmu. Beliau berprinsip bahwa
pendidikan sebagai sarana memperbaiki kualitas diri yang bermuara pada meningkatnya
kualitas suatu bangsa. Cuplikan pemikiran Kartini dalam buku Habis Gelap
Terbitlah Terang: ”Jika perempuan itu cakap berpelajaran, lebih cakap dia
mendidik anak dan lebih cakaplah dia mengurus rumah tangganya dan lebih majunya
bangsanya’ (Armijn Pane.1938, hal.16). Berdasarkan realitas tersebut maka muncullah pertanyaan, yakni: Apakah
realitas saat ini telah sesuai dengan impian Kartini? Jika belum maka saat ini adalah momentum
untuk merealisaikan mimpi-mimpinya.
0 comments:
Post a Comment