Monday, 25 April 2016

MIMPI KARTINI : Sebuah Refleksi Peringatan Hari Kartini


(photo credit smeaker.com)
Perempuan itu soko guru peradapan ! Bukan karena perempuan yang dipandang cakap untuk itu, melainkan oleh karena saya sendiri yakin sungguh bahwa dari perempuan  itu pun mungkin timbul pengaruh yang besar ... Dari perempuanlah pertamalah pertama-tama manusia itu menerima didikannya-diharibaanlah anak itu belajar merasa dan perpikir, berkata-kata dan makin lama makin tahulah saya bahwa didikan yang mula-mula itu bukan tidak besar pengaruhnya bagi kehidupan manusia itu kemudian hari. Dan betapakah ibu bumiputera itu sanggup mendidik anaknya, bila mereka itu tiada berpendidikan ?.
 (Nukilan surat Kartini ke Nyonya Abendanon, tanggal 21 Januari 1901 dalam Armijn Pane (1938)1).
Visioner, itulah kesan pertama kita menilai pemikiran R.A Kartini.yang tertulis pada cuplikan surat diatas. Pada saat bangsanya terkungkung oleh keterbelakangan, RA. Kartini telah memikirkan nasib kaumnya untuk  lepas dari belitan kebodohan. Emansipasi wanita merupakan isu yang tetap relevan diperbincangkan sampai saat ini. Kenapa setiap tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini ? Hal tersebut merupakan bentuk apresiasi kepada RA. Kartini sebagai ikon emansipasi wanita Indonesia. Tidak ada salahnya jika kita menelisik kembali sejarah kehidupan beliau serta menggali lebih dalam pemikiran-pemikirannya  untuk meneladani sosok serta mewujudkan mimpi-mimpinya.
Kilas Balik
Kartini lahir tanggal 28 Rabiul Awal tahun Jawa 1808 (21 April 1879) dan merupakan cucu Pangeran Ario Tjondronegoro, Bupati Demak yang terkenal suka kemajuan. Kakek beliau merupakan Bupati pertama yang mendidik anak-anaknya baik laki maupun perempuan dengan pelajaran Barat. Lingkungan tersebut mendukung Kartini beserta saudara-saudaranya untuk mengenyam pendidikan. Silsilah keluarga yang berprndidikan tersebut menambah kewibawaan keluarganya. Namun ketika Kartini berusia 12 tahun, tiba-tiba orang tua beliau tidak memperbolehkannya keluar rumah untuk meneruskan pendidikannya atau istilahnya : Pingitan. Walaupun kedua orangtuanya berpendidikan namun mereka masih memegang teguh adat leluhur. Pingitan merupakan hari-hari penuh tekanan karena menjauhkannya dari kesengangannya dan mengasingkannya dari pergaulan. Beliau tidak kuasa melawan adat sehingga memaksa beliau mencari pelipur hati yang mampu menanggung derita itu semua. Selama menjalani pingitan, aktivitasnya diisi dengan membaca buku sebab pada dasarnya beliau tipikal senang belajar. ’Lama kelamaan membaca buku itu menjadi nafsu baginya. Baru saja habis pekerjaanya dengansegera ia pergi asyik membaca. Apa saja dibacanya, mengerti atau tidak (maka hal itu) tidak dipedulikannya. Tidak menajdikanya putus asa. Jika tidak mengerti diulangi sekali lagi, jika belum juga ditigalikannya. Selain membaca, Kartini suka menulis dalam majalah dan surat kabar” (Armijn Pane. 1938 hal,10). Kungkungan adat pun tidak mampu menghalangi semangat belajar Kartini yang tinggi.
Pada tahun 1898, Kartini mendapat kebebasannya secara resmi untuk bepergian meninggalkan tempat tinggalnya. Kesempatan tersebut sekaligus membuka pikiran Kartini terhadap realitas yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Dibenak Kartini muncul ras ketidak adilan atas nasib kaum wanita bahwa nasib dan tujuan hidup gadis Bumiputera adalah menikah dengan lelaki yang tidak dikenal. Sontak muncul bibit perlawanan dalam diri Kartini atas nasib kaumnya tersebut. Beliaupun memperluas pergaulannya dengan kaum Eropa yang lebih moderat pemikirannya. Tahun 1900, beliau berkenalan dengan Mr.Abendanon beserta istrinya yang tengah berkunjung ke Jepara. Pada waktu itu, Kartini hendak pergi ke Belanda untuk meneruskan studi namun niat tersebut diurungkan setelah mendengar nasihat Mr.Abendanon yang menyarankannya melanjutkan studi guru di Betawi. Adapun maksudnya adalah Kartini dapat merintis berdirinya sekolah bagi wanita. Tanggal 25 Januari 1903, atas ajakan Mr. Abondanon maka Kartini  mengirim reker kepada pemerintah Belanda agar diperkenankan melanjutkan studi menjadi guru di Betawi. Bersamaan dengan itu, Mr.Abondanon mendorong Kartini untuk merealisasikan mimpinya mendirikan sekolah wanita sembari menunggu jawaban reker yang dikirimnya. Maka Kartini dan Kadinah (adiknya) mendirikan sekolah wanita. Akhirnya balasan rekernya terjawab tanggal 7 s/d 24 Juli 1903, namun kesempatan tersebut diabaikan Kartini karena dalam waktu dekat dia akan menikah. Tanggal 13 September 1904, Kartini melahirkan bayi laki-laki dan empat hari kemudian beliau meninggal dunia.
Potret Wanita Indonesia saat ini.
Kematian tidak memadamkan semangat Kartini untuk memperjuangkan hak kaumnya. Surat-suratnya telah mentransformasikan pemikirannya kepada generasi berikutnya. Sehingga spirit emansipasi Kartini masih tetap hidup. Dalam kurun 105 tahun wanita Indonesia telah berhasil mewujudkan mimpi-mimpi Kartini. Perempuan mempunyai hak yang sama untuk mengenyam pendidikan dan bahkan beberapa tokoh wanita telah berhasil berkarir disektor publik. Sebut saja: Megawati (Presiden RI ke-4), Brigadir Jenderal (Pol) Ruminah (Kapolda wanita pertama di Indonesia) dan masih banyak lagi. Tokoh-tokoh wanita tersebut menjadi bukti bahwa persamaan hak telah terlaksana di Indonesia.
Keberhasilan beberapa tokoh wanita tersebut ibarat menara gading. Hanya segelintir orang wanita Indonesia yang beruntung mendapat kesempatan tersebut. Kebodohan dan kemiskinan merupakan penghalang bagi wanita untuk memperbaiki kualitas diri.  Padahal wanita memiliki peran strategis bagi keberlanjutan bangsa dan negara ini. Dari rahim merekalah akan lahir generasi penerus bangsa ini. Dalam asuhannya lah akan tercipta calon-calon pemimpin bangsa di masa datang. Karena pendidikan paling fundamen adalah pendidikan dilingkungan keluarga. Dan sosok Ibu-lah merupakan guru kehidupan yang memberikan  teladan bagi anak-anaknya.
Penutup
Emansipasi bukanlah semata-mata menuntut persamaan hak dengan mengabaikan kodrat kewanitaanya. Namun menggunakan haknya secara proposional sesuai kodrat kewanitaan untuk kemanfaatan yang lebih luas. Ingat bahwa Kartini memimpikan wanita Indonesia mendapat kesempatan yang sama untuk menuntut ilmu. Beliau berprinsip bahwa pendidikan sebagai sarana memperbaiki kualitas diri yang bermuara pada meningkatnya kualitas suatu bangsa. Cuplikan pemikiran Kartini dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang: ”Jika perempuan itu cakap berpelajaran, lebih cakap dia mendidik anak dan lebih cakaplah dia mengurus rumah tangganya dan lebih majunya bangsanya’ (Armijn Pane.1938, hal.16). Berdasarkan realitas tersebut maka muncullah pertanyaan, yakni:  Apakah realitas saat ini telah sesuai dengan impian Kartini?  Jika belum maka saat ini adalah momentum untuk merealisaikan mimpi-mimpinya.

0 comments: