Tuesday, 12 April 2016

MENDONGENG DAN PENDIDIKAN ANTI KORUPSI

(photo: credit to www.brandstories.net)
Korupsi sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah bangsa ini. Orde lama, Orde baru maupun Orde Reformasi tak luput dari dosa korupsi para punggawanya. Tak mengherankan jika selama 63 tahun merdeka, bangsa ini belum mampu merealisasikan cita-cita para founding father yang termaktub dalam preambule UUD1945 yakni: mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Walaupun bangsa ini kaya akan sumber daya alam, alih-alih kekayaan tersebut untuk mensejahterakan rakyatnya. Namun hasil kekayaan alam tersebut diselewengkan segelintir oknum elite politik untuk menambah pundi-pundi kekayaannya. Lihat saja, kasus alih fungsi kawasan hutan di Bintan yang menyeret Azirwan (Sekda Bintan) beserta beberapa oknum anggota DPR RI yang dijerat KPK sebagai tersangka korupsi.
Korupsi merupakan kejahatan kemanusiaan. Karena telah menyebabkan jatuhnya korban secara massal dari kalangan tak berdosa. Bayangkan jika uang yang dikorupsi oleh Azirwan sejumlah Singapore$ 700.000,-(Rp. 700 juta) ataupun utang yang ”dikemplang” oleh Sukanto, Bos Grup Raja Garuda Mas, pada sejumlah bank senilai US$ 1,4 miliar (Rp 13 triliun). Jika uang yang dikorupsi tersebut digunakan pada bidang pendidikan dan kesehatan maka berapa banyak sekolah yang dapat dibangun ?, berapa banyak anak  korban busung lapar yang dapat diselamatkan?. Selain itu, koruptor merupakan pengkhianat bagi bangsa ini. Karena dia menyalahgunakan kekuasaan dan wewenangnya untuk memperkaya diri dan golongannya. Tak mengherankan jika Olusegun Obasanjo, negarawan dari Nigeria mengatakan bahwa : ”Korupsi merupakan kutuk terbesar dalam masyarakat abad ini” (Tempo; 21 Maret 2007).
Hipothesis penyebab korupsi adalah lemahnya mentalitas yang melunturkan kejujuran. Lemahnya mentalitas menyebabkan para opportunis mudah terjerat godaan kapitalisme dan materialisme. Sehingga mereka bermetamorfosis sebagai koruptor. Paham kapitalis dan materialis mudah mengkontaminasi anak pribumi karena bangsa ini telah kehilangan jati dirinya, yakni: kebersahajaan dan keteladanan. Selain itu, dendam sejarah sebagai bangsa yang terjajah 350 tahun yang hidup dengan penuh kesengsaraan dan kemiskinan tidak mudah terhapus begitu saja. Kedua paham tersebut semakin menginternalisasi mental bangsa ini dengan menyimbolkan kesuksesan dan kejayaan dengan hal-hal berbau materialis, seperti: 3 TA (harTA; waniTA dan tahTA). Tak pelak kondisi tersebut membuka peluang selebar-lebarnya bagi para opportunis yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya.  Dan cara instan untuk kaya adalah KORUPSI.!
Korupsi dapat dieliminir dengan mengombinasikan metode preventif (pencegahan) dan kuratif (pengobatan). Kedua metode tersebut harus dilakukan seiring sejalan. Jika tidak maka usaha pemberantasan korusi akan tidak efektif. Lihat saja pemerintah yang telah mengesahkan berbagai UU nomor 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 maupun UU nomor 30 tahun 2002 tentang pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun tidak sedikit praktik korupsi yang masih berlangsung hingga detik ini. Hal tersebut terjadi karena pemerintah cenderung menitik beratkan pemberantasan korupsi pada aspek kuratif tanpa diiringi aspek preventif. Lalu bagaimana wujud nyata dari aspek preventif pemberantasan korupsi?.
Pembenahan mentalitas merupakan salah satu entitas yang mutlak dilakukan dalam rangka pencegahan korupsi. Usaha ini hendaknya dilakukan sedini mungkin untuk membangun moral etik dan akal budi generasi penerus bangsa ini. Mendongeng merupakan media internalisasi yang efektif kepada anak-anak. Ada sebuah teori belajar sosial dari A Bandura dan RH Wlaters (1963) mengungkapkan bahwa : ”Manusia belajar bukan saja dari pengalaman, melainkan dari peniruan” (lingkungan sekitar).” Sedangkan mendongeng merupakan media tranfer nilai-nilai berupa: perwatakan, penokohan, alur cerita dari sebuah kisah dongeng. Objek kegiatan ini adalah anak-anak karena mereka sedang mengalami fase perkembangan baik secara fisiologis maupun psikologis. Pada fase ini, anak-anak cenderung kritis dan belum terjebak konflik kepentingan. Kita dapat memanfaatkan fase tersebut untuk merangsang rasa keingintahuan mereka melalui kisah-kisah dongeng yang mendidik. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mendongeng, yakni :
Kita harus selektif memilihkan kisah-kisah yang hendak didongengkan. Sehingga tujuan kita untuk menanamkan moral dan budi pekerti tercapai. Ada sebuah anekdot bahwa korupsi tumbuh subur di Indonesia karena nenek moyang kita tidak selektif mempopulerkan sebuah kisah dongeng. Koruptor-koruptor yang lahir dari generasi terdahulu kita mungkin melakukan peniruan terhadap tokoh Kancil dalam kisah Kancil Mencuri Ketimun. Kisah fabel dari pulau Jawa tersebut menceritakan bahwa Kancil merupakan binatang cerdik dan pandai dihutan. Sayangnya dia bertabiat buruk suka menyalahgunakan kepandaiannya untuk hal-hal negatif. Suatu saat dia tertangkap basah mencuri timun oleh petani namun berkat kecerdikannya dia berhasil lolos. Namun petani tak kurang akal maka dia lalu dia memasang jebakan. Akhirnya kancil terkena jebakan tersebut dan dikurung oleh petani. Dan lagi-lagi dia berhasil lolos berkat keliahainnya menipu daya anak petani agar sudi membebaskannya. Dan pada fase klimaksnya Kancil akhirnya harus rela meregang nyawanya di lahan pak tani akibat dia memakan jebakan berupa timun yang telah diolesi racun oleh pak tani. Kisah tersebut merupakan kisah fabel yang populer pada dekade 50-an di Jawa. Bisa jadi kisah kancil yang cerdik tersebut menginspirasi sebagian besar koruptor kita untuk menggunakan kecerdikannya untuk mencuri orang rakyat. Namun anekdot tersebut harus dibuktikan secara empirik terlebih dahulu.

Mendongeng dapat dilakukan secara formal maupun informal. Sekolah dapat memfasilitasi kegiatan mendongeng dengan memasukkannya ke muatan lokal. Kegiatan ini akan efektif diberlakukan pada jenjang pendidikan dasar dengan pertimbangan bahwa anak-anak akan menyukai model pedagogik yang bersifat edutainment. Kisah dongengnya dapat disampaikan melalui pertunjukan panggung boneka. Model ini akan efektif untuk menyampaikan pesan karena para siswa akan dirangsang berpikir kritis. Dan panggung boneka yang bersifat interaktif dapat menimbulkan komunikasi timbal balik antara pendongeng dan pendengarnya. Sedangkan orangtua dapat menyisihkan waktunya membacakan dongeng kepada anak-anaknya sebelum tidur. Hal tersebut merupakan cara mendongeng secara informal. Manfaatnya adalah terjalin hubungan informal antara anak dan orang tua. Selain itu orang tua dapat menyampaikan nilai-nilai dan mengarahkan pola pikir anak terkait substansi dongeng yang dibacakan sekaligus menumbuhkan minat baca pada anak. Kesamaan dari kedua cara tersebut, yakni : Pendongeng bertindak sebagai fasilitator dan motivator pada proses transfer nilai-nilai (kejujuran dan keteladanan) tersebut. Pendongeng dituntut tegas dalam menjabarkan perwatakan antagonis dan protagonis; hikmah/ keteladanan yang dapat diambil dari kisah yang sedang didongengkan dst. Karena hal tersebut akan membantu anak-anak dalam membedakan hal-hal yang bersifat hitam dan putih. Diharapkan mendongeng dapat merangsang pembentukan watak  dan karakter  anak-anak dalam proses character building. Seyogyanya kita (orangtua dan pendidik) turut memerangi korupsi dengan membenahi mentalitas anak-anak kita. Dan mendongeng merupakan sarana efektif mentransformasikan nilai-nilai keteladanan dan kejujuran. Karena asumsi tersebut bersandar pada teori belajar sosial. Selamat Mencoba.

0 comments: