Sunday, 13 November 2016

KILAS BALIK: MEMBANGUN JEMBATAN INFORMASI DI FLOBAMORA

Sebagian besar  wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) berupa kepulauan yang terdiri dari 1.192 pulau, 246 pulau diantaranya sudah mempunyai nama dan sisanya sampai saat ini belum mempunyai nama. Diantara 246 pulau yang sudah bernama terdapat 4 pulau besar: Flores, Sumba, Timor dan Alor (FLOBAMORA). Kapal Laut  masih menjadi tulang punggung sarana transportasi bagi penduduk di wilayah kepulauan. Sarana transportasi ini tetap diminati karena ongkosnya yang terjangkau serta daya muatnya yang lebih besar. Sehingga para pedagang maupun pelajar memanfaatkannya untuk menunjang mobilitasnya dari daerah ke Kupang begitupun sebaliknya ataupun antar pulau. Walaupun sarana transportasi laut relatif lancar. Ironisnya tingkat buta informasi (Illiteracy rate) sebagian besar penduduk NTT khususnya yang tinggal di wilayah kepulauan mencapai 15.9 persen pada tahun 2002. (www.smeru.or.id; 10/3/2008) .
         Terlebih NTT merupakan 10 kantong buta huruf di Indonesia. Data United Nation Development Program (UNDP) dalam Human Development Report  2000 menyebutkan bahwa angka melek huruf orang dewasa di Indonesia mencapai 65,5 persen. Lembaga tersebut menjadikan angka buta huruf dewasa sebagai suatu barometer dalam mengukur kualitas suatu bangsa. Tinggi rendahnya angka buta huruf akan menentukan pula tinggi rendahnya Indeks Pembangunan Manusia bangsa itu. Melihat beberapa hasil studi di atas dan laporan UNDP maka Athaillah Baderi (2005) menyimpulan (hipotesis) bahwa “… Tingginya angka buta huruf dewasa (adult illiteracy rate) di Indonesia adalah akibat membaca belum menjadi kebutuhan hidup dan belum menjadi budaya bangsa”. Mengingat membaca merupakan suatu bentuk kegiatan budaya menurut H.A.R Tilaar (1999 : 381) maka untuk mengubah perilaku masyarakat gemar membaca membutuhkan suatu perubahan budaya atau perubahan tingkah laku dari anggota masyarakat kita. Mengadakan perubahan budaya masyarakat memerlukan suatu proses dan waktu panjang sekitar satu atau dua generasi, tergantung dari “political will pemerintah dan masyarakat“ Ada pun ukuran waktu sebuah generasi adalah berkisar sekitar 15 – 25 tahun.
Pentingnya membaca sebagai sarana untuk merubah nasib karena membaca menurut Gleen Doman (1991 : 19) dalam How to Teach Your Baby to Read  menyatakan: ‘ Membaca merupakan salah satu fungsi yang paling penting dalam hidup. Semua proses belajar didasarkan pada kemampuan membaca. Selanjutnya melalui budaya masyarakat membaca kita akan melangkah menuju masyarakat belajar (learning society)’. Berangkat dari terwujudnya masyarakat belajar (learning society) maka akan mencapai bangsa yang cerdas (educated nation) sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 menuju masyarakat Madani (Civil Society).

KONSEP  PERPUSTAKAAN APUNG.
Perpustakaan Apung (meminjam istilah dari Muhidin M.Dahlan) merupakan variasi dari perpustakaan keliling. Sulistyo-Basuki dalam Pengantar Ilmu Perpustakaan (1990) mendefinisikannya sebagai perpustakaan yang bergerak dari satu tempat ketempat lain dengan menggunakan kendaraan dan membawa bahan pustaka serta memberikan layanan jasa perpustakaan kepada pengguna di daerah yang tidak terjangkau oleh perpustakaan umum/ menetap. Karena media-nya menggunakan perahu dan sasaran penggunanya adalah pengguna jasa kelautan serta penduduk didaerah pesisir yang terpencil maka layanan tersebut disebut sebagai Perpustakaan Apung. Penyelenggaraan Perpustakaan Apung bertujuan :
1.)    Meratakan layanan informasi dan bacaan kepada masyarakat sampai kedaerah terpencil yang belum/ tidak memungkinkan adanya perpustakaan permanen.
2.)    Membantu perpustakaan umum dan mengembangkan pendidikan non formal kepada publik.
3.)    Memperkenalkan buku-buku dan bahan pustaka lainnya kepada publik.
4.)    Memperkenalkan jasa perpustakaan kepada publik.
5.)    Meningkatkan minat baca dan mengembangkan cinta buku pada masyarakat.
6.)  Mengadakan kerjasama dengan lembaga masyarakat sosial, pendidikan dan pemerintah daerah dalam meningkatakan intelektual. (Perpustakaan Nasional: 1992)

Mungkin Perpustakaan Apung menjadi hal yang muluk-muluk ditengah keterbatasan anggaran perpustakaan. Pembelian kapal untuk perpustakaan apung akan membebani anggaran perpustakaan. Namun hal tersebut dapat disiasati dengan bekerjasama dengan pihak terkait salah satunya adalah Pelayaran Nasional Indonesia (PELNI). BUMN pelayaran ini mempunyai armada laut yang besar dan mampu menjangkau pulau-pulau terpencil melalui pelayaran perintis. Tak sulit bagi PELNI untuk menyisihkan salah satu ruangan kapalnya untuk ruang perpustakaan dalam kapal. Peluang tersebut dapat dimanfaatkan oleh Perpustakaan untuk menyelenggarakan Perpustakaan Apung. Sinergi keduanya akan saling memberikan keuntungan. Keberadaan perpustakaan apung tersebut akan memberikan keuntungan bagi PELNI berupa peningkatan kualitas layanan bagi penumpangnya. 

Selama ini perjalanan laut merupakan perjalanan yang membosankan. Selama berhari-hari terapung dilaut tanpa ada aktivitas produktif yang dapat dilakukan. Kalaupun ada fasilitas hiburan berupa bioskop maupun karaoke dalam kapal, itupun  akan menambah pengeluaran bagi para penumpang.  Keberadaan ruangan perpustakaan di kapal dapat menjadi alternatif bagi penumpang untuk mendapatkan hiburan sekaligus informasi dengan membaca. Hendaknya jenis koleksi dalam tidak monoton pada koleksi buku saja namun meliputi koleksi audio visual bahkan fasilitas internet. Hal tersebut semata-mata untuk memberikan pilihan bagi para pengguna Perpustakan Apung untuk mengakses informasi yang disukai serta memancing minat mereka untuk tetap berkunjung pada perpustakaan apung baik pada saat kapal bersandar maupun berlayar. Alangkah indahnya membayangkan apabila pengguna jasa transportasi laut maupun penduduk pesisir di NTT dapat menikmati fasilitas Perpustakaan Apung. Bentangan samudera yang memisahkan daratan Flores, Sumba, Timor, Alor yang membentuk sekat-sekat informasi dapat teratasi dengan kehadiran Perpustakaan Apung. Sehingga mereka yang tinggal didaerah pesisir maupun pengguna jasa transportasi laut dapat tetap menggunakan waktu mereka secara produktif serta terbebas dari ‘Buta Informasi’. Sekian
(dipublikasikan pada koran Kursor, 2008)

0 comments: