(Photo credit to artikel pendidikan.az) |
Piala dunia di Jerman telah
usai beberapa waktu yang lalu. Namun moment tersebut meninggalkan kesan yang
mendalam. Tak salah istilah time to
make friend {waktu membuat teman} menjadi slogan piala dunia Jerman 2006.
Terbukti dari awal sampai akhir penyelenggaraannya, tidak ditemui gangguan
keamanan yang berarti. Kalaupun
terjadi konflik yang melibatkan pemain dengan pemain ataupun suporter dengan
aparat keamanan. Konflik tersebut dapat diredam. Masih segar diingatan kita
laga kontroversial antara Belanda versus Portugal. Kedua tim bermain dengan
pola permainan keras sehingga timbul konflik antar pemain dari kedua kubu. Sepanjang
pertandingan tersebut, wasit menghadiahi kartu merah kepada pemain-pemain yang nyata
melakukan pelanggaran keras.Ketegasan wasit tersebut merupakan cerminan dari
prinsip fair play yang menjadi konsesus
sekaligus spirit Piala Dunia 2006. Walaupun sebagian besar masyarakat kita
merupakan penikmat sepakbola namun mereka masih belum mampu mengadopsi nilai fair play yang terkandung dalam olahraga
ini. Sebab, seringkali pertandingan di Liga Indonesia berakhir rusuh baik
dipicu ulah pemain atau suporternya
Beralih ke event regional,
Kota Kupang dalam waktu dekat ini akan
melakukan pemilihan kepala daerah. Serupa tapi tak sama, Piala Dunia dan
Pilkada sama-sama menjadi pesta rakyat
akan tetapi masing-masing mempunyai potensi konflik yang berbeda. Apabila para
kontestan Piala Dunia saling berkompetesi meraih supremasi tertinggi persepakbolaan
dunia maka peserta pilkada saling berebut mendapatkan legitimasi untuk berkuasa
memerintah suatu daerah 5 tahun kedepan. Konflik dalam sebuah kompetisi
merupakan hal yang jamak. Konflik dapat dijumpai pada hajatan politik semisal
Pilkada. Pada 29 April 2006 telah terjadi kerusuhan di Tuban terkait sengketa
hasil pilkada. Kerusuhan terjadi ketika massa pendukung pasangan cabup-cawabup Noor Hasan – Go Tjo
Ping melampiaskan kekecewaannya kepada KPU dengan membakar properti pribadi
milik, Haeny Relawati, calon incumbent, dan aset milik daerah. Sehingga muncul
asumsi bahwa masyakat saat ini cenderung menggunakan praktek kekerasan dalam
menyelesaikan masalah. Mengutip pendapat C.Wright: ”Semua politik pada hakikatnya adalah pertarungan kekuasaan dan hal
paling pokok dari kekuasaan adalah kekerasan” (Sukardi:1999). Patut
disayangkan, massa pendukung calon yang
kalah memilih jalan pintas dengan aksi kekerasan daripada menempuh prosedur
yang berlaku dalam menyelesaikan sengketa hasil Pilkada. Pemerintah daerah
Tuban turut menanggung kerugian akibat kerusakan aset milik negara. Rakyatpun
menuai imbasnya dengan kelumpuhan sendi-sendi perekonominan selama kurun waktu
tertentu.
POTENSI KONFLIK PILKADA
Penyelenggaraan pilkada di
kota Kupang menjadi barometer stabilitas politik di NTT. Sebab Kota Kupang
mempunyai peran strategis sebagai pusat pemerintahan, ekonomi, pendidikan
sekaligus merupakan miniatur keberagaman masyarakat NTT. Komposisi terbesar
penduduk kota Kupang berasal dari FLORETI (Flores, Rote dan Timor) sedangkan
penduduk asall Bugis, Jawa dan Cina relatif kecil komposisinya. Masing-masing pendatang
tersebut cenderung menunjukkan identitas kedaerahannya. Kita berharap
kemajemukan tersebut tidaklah menjadi penghalang bagi Pilkada yang Jurdil. Harapan
tersebut bukanlah tanpa alasan sebab berdasar analisa Suwardiman dari Litbang
Kompas menyatakan: " Banyak konflik
yang terjadi (dalam Pilkada) ditenggarai akibat pelaksanaan pilkada
langsung yang tidak dibarengi dengan
proses penyiapan masyarakat. Selain itu upaya membangun konsesus lokal antar
elit politik juga kurang” (Kompas: 13 Juli 2006). Mencermati kondisi
tersebut maka kita patut mewaspadai konflik yang kerap muncul pada fase-fase
berikut ini.
1. Fase Pra-Kualifikasi.
Proses pendaftaran dan
veritifikasi calon konsestan pilkada kerapkali menyulut konflik antara KPUD
dengan massa pendukung kontestan. Pada proses veritifikasi, KPUD berusaha
menegakkan aturan dengan seleksi administrasi yang ketat terhadap kontestan pilkada.
Kasus yang jamak terjadi pada proses ini ialah penggunaan ijazah palsu atau dokumen palsu
lainnya. Goverment Watch telah merilis hasil penelitian yang menunjukkan bahwa
60 % pejabat publik dan kepala daerah tingkat II memiliki ijazah palsu (Pos
Kupang; 21 Juni 2006). Akibatnya KPUD menggugurkan keikutsertaan kontestan
tersebut. Sedangkan kontestan yang keikutsertaannya terganjal maka ia akan
menggerakkan massa pendukungnya untuk menekan KPUD agar keikutsertaanya dalam
pilkada tetap disyahkan. Modus dari konflik ini adalah intimidasi terhadap KPUD
dengan menggunakan massa penekan (pressure
group). Seringkali komposisi massa penekan didominasi oleh preman politik
yang rela mengkhianati demokrasi demi segepok uang.
2.Fase Kualifikasi
Konflik pada fase ini muncul
akibat Kampanye gelap (Black Campaign)
terhadap calon X yang dilakukan oleh tim sukses rivalnya. Substansi dari Black campaign berupa informasi yang
tidak benar menyangkut latar belakang keluarga, hubungan dengan lawan jenis,
catatan kinerjanya ataupun hal terkait SARA dari kontestan X. Tujuan dari black campaign adalah pembunuhan
karakter terhadap kontestan X sehingga massa pemilih tidak menaruh simpati
terhadapnya. Sedangkan lawan politiknya dapat leluasa meraup menarik massa
mengambang yang terlanjur antipati terhadap calon X. Namun pendukung calon X acapkali
menerapkan praktek serupa untuk men-counternya. Hal ini dapat memicu konflik
horisontal antar pendukung.
MANAJEMEN KONFLIK
Lontaran Marco Matrazi yang
menyinggung perasaan Zinedine Zidane menyebabkan Zidane ’menanduk’ nya pada
ajang Piala dunia. Peristiwa itu merupakan ilustrasi sederhana dari sebuah
konflik. Secara teoritis, konflik didefinisikan sebagai ” Perbedaan kepentingan atau keyakinan bahwa aspirasi para pihak yang ada
saat itu tidak bisa dicapai secara bersamaan” (Pruit and Rubin, 1986).
Sedangkan pemicu konflik adalah adanya provokasi dari pihak yang terlibat,
provokasi berupa imimng-iming baik materi atau non materi dan gabungan
keduanya. Namun sebuah pemicu konflik tidak serta merta menjadi sebuah konflik.
Akan tetapi pemicu tersebut akan melalui beberapa fase terlebih dahulu. Mugasejati
(2005) menyatakan bahwa fase-fase yang biasa dilalui oleh sebuah konflik adalah
(a) dispute atau ketegangan, b)
krisis antara pihak-pihak yang bertikai, (c) kekerasan terbatas yang melibatkan
masing-masing kelompok, (d) kekerasan masal, (e) abatement atau de-eskalasi
konflik, (f) penyelesaian konflik atau settlement.
Fase terakhir tersebut sebenarnya tidak selalu steril dari unsur-unsur
pembentuk bagi konflik selanjutnya. Oleh karena itu perlu penanganan yang
serius yang memungkinkan untuk merubah arah transformasi konflik kepada
perdamaian.
Peristiwa kerusuhan Tuban
merupakan contoh kecil fenomena gunung es dalam penyelenggaraan pilkada di
Indonesia. Kejadian tersebut serupa sebenarnya dapat diminimalkan jika sebuah konflik
dimanajemeni dengan baik. Dalam ilmu
manajemen konflik, istilah resolusi konflik tidaklah asing. Resolusi seringkali
digunakan dalam penanganan sebuah konflik. Resolusi pada dasarnya merupakan
usaha intervensi untuk mencegah aktualisasi, mendeeskalasi, menghentikan dan
menyelesaikan konflik dalam salah satu atau lebih tahap konflik. Resolusi dapat berupa negoisasi, fasilitasi,
mediasi, pencarian fakta, arbitrase tak mengikat, arbitrase mengikat maupun
peradilan legal.
Panwaslu sebagai pihak yang
berkompeten dalam menangani pelanggaran pilkada, hendaknya proaktif menerapkan Resolusi
konflik dalam proses Pilkada. Komposisi keanggotaan Panwaslu yang terdiri atas
unsur Kepolisian, Kejaksaan, Pers dan akademisi memberikan keleluasaan akses
informasi yang dapat didayagunakan sebagai bahan analisis untuk memprediksi
bahwa suatu konflik berpotensi chaos
(rusuh) atau tidak. Belajar dari pengalaman bahwa pemicu konflik dalam pilkada
tidaklah jauh berbeda antara daerah satu dan lainnya namun yang membedakan
adalah karakteristik sosio-politik dari wilayah tersebut. Sebagai bentuk
penerapan Resolusi Konflik dalam pilkada perlu diambil langkah-langkah sebagai
berikut:
1. Panwaslu
berkoordinasi dengan KPUD mendata daerah pemilihan yang rawan konflik mengingat
penduduk kota Kupang yang majemuk. Selain itu, data tentang catatan konflik
terkait pemilu sebelumnya turut didata dan dianalisis sehingga Panwaslu dapat
menemukan pola-pola pemicu konflik dalam pilkada. Hasil analisa tersebut
selanjutnya menjadi bahan bagi KPUD dalam menekan potensi konflik dalam
Pilkada.
2. KPUD
dapat membuat aturan yang mewajibkan Parpol pengusung Cabup/Cawabup, Cawali/Cawali
menandatangani pakta integritas untuk melaksanakan pilkada secara aman dan
jurdil. Pakta tersebut turut memuat komitmen parpol dalam memunculkan calon
yang berkualitas serta kemampuan parpol dalam mengontrol massa pendukungnya.
3. KPUD menyusun
jadwal kampanye yang sistematis sehingga interaksi antar pendukung kontestan
Pilkada dapat diminimalkan. Seyogyanya porsi kampanye dialogis lebih besar
daripada kampanye yang bersifat memobilisasi massa semisal konvoi.
4. KPUD
hendaknya menyusun aturan tentang tata cara kampanye di media massa bagi tiap
kontestan pilkada dengan mempertimbangkan azas proporsional.Hal tersebut untuk
menghindari dominasi kontestan tertentu terhadap kontestan lain di media massa.
Sedangkan Panwaslu bertanggungjawab melakukan tindakan pengawasan terhadap
aturan tersebut.
Demikianlah uraian tentang
potensi konflik dalam Pilkada. Ada satu
pesan yang ingin saya sampaikan disini yakni: Jadikanlah Pilkada sebagai wujud
kedaulatan rakyat. Bukankah istilah demokrasi dimaknai sebagai kekuasaan dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Maka jangan kotori hakikat demokrasi
dengan tindakan anarkhis.Konkretnya, bersikaplah dewasa dalam menentukan calon
pemimpin dan jangan terjebak sifat fanatisme, anarkisme serta Chauvisme. Kemenangan dalam pilkada bukanlah milik calon
A,B atau C tetapi merupakan kemenangan rakyat. Last but
not the least. Viva demokrasi, vox
populei vox dei .
Daftar Bacaan
Mugasejati, 2005, Pengantar
ke CEWERS, disampaikan dalam Workshop tentang CEWERS, Program Magister
Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta .
Riza Noer Arfani. Konflik:
Pengertian Dasar. Yogyakarta: UGM, s.a
(dipublikasikan pada koran Timor Express, 2006)
0 comments:
Post a Comment