Sunday, 13 November 2016

KILAS BALIK: MENYINGKAP POTENSI KONFLIK DALAM PILKADA

(Photo credit to artikel pendidikan.az)
Piala dunia di Jerman telah usai beberapa waktu yang lalu. Namun moment tersebut meninggalkan kesan yang mendalam. Tak salah istilah  time to make friend {waktu membuat teman} menjadi slogan piala dunia Jerman 2006. Terbukti dari awal sampai akhir penyelenggaraannya, tidak ditemui gangguan keamanan yang berarti. Kalaupun terjadi konflik yang melibatkan pemain dengan pemain ataupun suporter dengan aparat keamanan. Konflik tersebut dapat diredam. Masih segar diingatan kita laga kontroversial antara Belanda versus Portugal. Kedua tim bermain dengan pola permainan keras sehingga timbul konflik antar pemain dari kedua kubu. Sepanjang pertandingan tersebut, wasit menghadiahi kartu merah kepada pemain-pemain yang nyata melakukan pelanggaran keras.Ketegasan wasit tersebut merupakan cerminan dari prinsip fair play yang menjadi konsesus sekaligus spirit Piala Dunia 2006. Walaupun sebagian besar masyarakat kita merupakan penikmat sepakbola namun mereka masih belum mampu mengadopsi nilai fair play yang terkandung dalam olahraga ini. Sebab, seringkali pertandingan di Liga Indonesia berakhir rusuh baik dipicu ulah pemain atau suporternya
Beralih ke event regional, Kota Kupang  dalam waktu dekat ini akan melakukan pemilihan kepala daerah. Serupa tapi tak sama, Piala Dunia dan Pilkada  sama-sama menjadi pesta rakyat akan tetapi masing-masing mempunyai potensi konflik yang berbeda. Apabila para kontestan Piala Dunia saling berkompetesi meraih supremasi tertinggi persepakbolaan dunia maka peserta pilkada saling berebut mendapatkan legitimasi untuk berkuasa memerintah suatu daerah 5 tahun kedepan. Konflik dalam sebuah kompetisi merupakan hal yang jamak. Konflik dapat dijumpai pada hajatan politik semisal Pilkada. Pada 29 April 2006 telah terjadi kerusuhan di Tuban terkait sengketa hasil pilkada. Kerusuhan terjadi ketika massa pendukung   pasangan cabup-cawabup Noor Hasan – Go Tjo Ping melampiaskan kekecewaannya kepada KPU dengan membakar properti pribadi milik, Haeny Relawati, calon incumbent, dan aset milik daerah. Sehingga muncul asumsi bahwa masyakat saat ini cenderung menggunakan praktek kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Mengutip pendapat C.Wright: ”Semua politik pada hakikatnya adalah pertarungan kekuasaan dan hal paling pokok dari kekuasaan adalah kekerasan” (Sukardi:1999). Patut disayangkan,  massa pendukung calon yang kalah memilih jalan pintas dengan aksi kekerasan daripada menempuh prosedur yang berlaku dalam menyelesaikan sengketa hasil Pilkada. Pemerintah daerah Tuban turut menanggung kerugian akibat kerusakan aset milik negara. Rakyatpun menuai imbasnya dengan kelumpuhan sendi-sendi perekonominan selama kurun waktu tertentu.

POTENSI KONFLIK PILKADA
Penyelenggaraan pilkada di kota Kupang menjadi barometer stabilitas politik di NTT. Sebab Kota Kupang mempunyai peran strategis sebagai pusat pemerintahan, ekonomi, pendidikan sekaligus merupakan miniatur keberagaman masyarakat NTT. Komposisi terbesar penduduk kota Kupang berasal dari FLORETI (Flores, Rote dan Timor) sedangkan penduduk asall Bugis, Jawa dan Cina relatif kecil komposisinya. Masing-masing pendatang tersebut cenderung menunjukkan identitas kedaerahannya. Kita berharap kemajemukan tersebut tidaklah menjadi penghalang bagi Pilkada yang Jurdil. Harapan tersebut bukanlah tanpa alasan sebab berdasar analisa Suwardiman dari Litbang Kompas menyatakan: " Banyak konflik yang terjadi (dalam Pilkada) ditenggarai akibat pelaksanaan pilkada langsung  yang tidak dibarengi dengan proses penyiapan masyarakat. Selain itu upaya membangun konsesus lokal antar elit politik juga kurang” (Kompas: 13 Juli 2006). Mencermati kondisi tersebut maka kita patut mewaspadai konflik yang kerap muncul pada fase-fase berikut ini.
1.      Fase Pra-Kualifikasi.
Proses pendaftaran dan veritifikasi calon konsestan pilkada kerapkali menyulut konflik antara KPUD dengan massa pendukung kontestan. Pada proses veritifikasi, KPUD berusaha menegakkan aturan dengan seleksi administrasi yang ketat terhadap kontestan pilkada. Kasus yang jamak terjadi pada proses ini ialah  penggunaan ijazah palsu atau dokumen palsu lainnya. Goverment Watch telah merilis hasil penelitian yang menunjukkan bahwa 60 % pejabat publik dan kepala daerah tingkat II memiliki ijazah palsu (Pos Kupang; 21 Juni 2006). Akibatnya KPUD menggugurkan keikutsertaan kontestan tersebut. Sedangkan kontestan yang keikutsertaannya terganjal maka ia akan menggerakkan massa pendukungnya untuk menekan KPUD agar keikutsertaanya dalam pilkada tetap disyahkan. Modus dari konflik ini adalah intimidasi terhadap KPUD dengan menggunakan massa penekan (pressure group). Seringkali komposisi massa penekan didominasi oleh preman politik yang rela mengkhianati demokrasi demi segepok uang.
2.Fase Kualifikasi
Konflik pada fase ini muncul akibat Kampanye gelap (Black Campaign) terhadap calon X yang dilakukan oleh tim sukses rivalnya. Substansi dari Black campaign berupa informasi yang tidak benar menyangkut latar belakang keluarga, hubungan dengan lawan jenis, catatan kinerjanya ataupun hal terkait SARA dari kontestan X. Tujuan dari black campaign adalah pembunuhan karakter terhadap kontestan X sehingga massa pemilih tidak menaruh simpati terhadapnya. Sedangkan lawan politiknya dapat leluasa meraup menarik massa mengambang yang terlanjur antipati terhadap calon X. Namun pendukung calon X acapkali menerapkan praktek serupa untuk men-counternya. Hal ini dapat memicu konflik horisontal antar pendukung.

MANAJEMEN  KONFLIK
Lontaran Marco Matrazi yang menyinggung perasaan Zinedine Zidane menyebabkan Zidane ’menanduk’ nya pada ajang Piala dunia. Peristiwa itu merupakan ilustrasi sederhana dari sebuah konflik. Secara teoritis, konflik didefinisikan sebagai ” Perbedaan kepentingan atau keyakinan bahwa aspirasi para pihak yang ada saat itu tidak bisa dicapai secara bersamaan” (Pruit and Rubin, 1986). Sedangkan pemicu konflik adalah adanya provokasi dari pihak yang terlibat, provokasi berupa imimng-iming baik materi atau non materi dan gabungan keduanya. Namun sebuah pemicu konflik tidak serta merta menjadi sebuah konflik. Akan tetapi pemicu tersebut akan melalui beberapa fase terlebih dahulu. Mugasejati (2005) menyatakan bahwa fase-fase yang biasa dilalui oleh sebuah konflik adalah (a) dispute atau ketegangan, b) krisis antara pihak-pihak yang bertikai, (c) kekerasan terbatas yang melibatkan masing-masing kelompok, (d) kekerasan masal, (e) abatement atau de-eskalasi konflik, (f) penyelesaian konflik atau settlement. Fase terakhir tersebut sebenarnya tidak selalu steril dari unsur-unsur pembentuk bagi konflik selanjutnya. Oleh karena itu perlu penanganan yang serius yang memungkinkan untuk merubah arah transformasi konflik kepada perdamaian.
Peristiwa kerusuhan Tuban merupakan contoh kecil fenomena gunung es dalam penyelenggaraan pilkada di Indonesia. Kejadian tersebut serupa sebenarnya dapat diminimalkan jika sebuah konflik dimanajemeni dengan baik.  Dalam ilmu manajemen konflik, istilah resolusi konflik tidaklah asing. Resolusi seringkali digunakan dalam penanganan sebuah konflik. Resolusi pada dasarnya merupakan usaha intervensi untuk mencegah aktualisasi, mendeeskalasi, menghentikan dan menyelesaikan konflik dalam salah satu atau lebih tahap konflik.  Resolusi dapat berupa negoisasi, fasilitasi, mediasi, pencarian fakta, arbitrase tak mengikat, arbitrase mengikat maupun peradilan legal.
Panwaslu sebagai pihak yang berkompeten dalam menangani pelanggaran pilkada, hendaknya proaktif menerapkan Resolusi konflik dalam proses Pilkada. Komposisi keanggotaan Panwaslu yang terdiri atas unsur Kepolisian, Kejaksaan, Pers dan akademisi memberikan keleluasaan akses informasi yang dapat didayagunakan sebagai bahan analisis untuk memprediksi bahwa suatu konflik berpotensi chaos (rusuh) atau tidak. Belajar dari pengalaman bahwa pemicu konflik dalam pilkada tidaklah jauh berbeda antara daerah satu dan lainnya namun yang membedakan adalah karakteristik sosio-politik dari wilayah tersebut. Sebagai bentuk penerapan Resolusi Konflik dalam pilkada perlu diambil langkah-langkah sebagai berikut:
1.         Panwaslu berkoordinasi dengan KPUD mendata daerah pemilihan yang rawan konflik mengingat penduduk kota Kupang yang majemuk. Selain itu, data tentang catatan konflik terkait pemilu sebelumnya turut didata dan dianalisis sehingga Panwaslu dapat menemukan pola-pola pemicu konflik dalam pilkada. Hasil analisa tersebut selanjutnya menjadi bahan bagi KPUD dalam menekan potensi konflik dalam Pilkada.
2.     KPUD dapat membuat aturan yang mewajibkan Parpol pengusung Cabup/Cawabup, Cawali/Cawali menandatangani pakta integritas untuk melaksanakan pilkada secara aman dan jurdil. Pakta tersebut turut memuat komitmen parpol dalam memunculkan calon yang berkualitas serta kemampuan parpol dalam mengontrol massa pendukungnya.
3.       KPUD menyusun jadwal kampanye yang sistematis sehingga interaksi antar pendukung kontestan Pilkada dapat diminimalkan. Seyogyanya porsi kampanye dialogis lebih besar daripada kampanye yang bersifat memobilisasi massa semisal konvoi.
4.        KPUD hendaknya menyusun aturan tentang tata cara kampanye di media massa bagi tiap kontestan pilkada dengan mempertimbangkan azas proporsional.Hal tersebut untuk menghindari dominasi kontestan tertentu terhadap kontestan lain di media massa. Sedangkan Panwaslu bertanggungjawab melakukan tindakan pengawasan terhadap aturan tersebut.
Demikianlah uraian tentang potensi konflik dalam Pilkada.  Ada satu pesan yang ingin saya sampaikan disini yakni: Jadikanlah Pilkada sebagai wujud kedaulatan rakyat. Bukankah istilah demokrasi dimaknai sebagai kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Maka jangan kotori hakikat demokrasi dengan tindakan anarkhis.Konkretnya, bersikaplah dewasa dalam menentukan calon pemimpin dan jangan terjebak sifat fanatisme, anarkisme serta Chauvisme. Kemenangan dalam pilkada bukanlah milik calon A,B atau C tetapi merupakan kemenangan rakyat. Last but not the least. Viva demokrasi, vox populei vox dei .

Daftar Bacaan
Mugasejati, 2005, Pengantar ke CEWERS, disampaikan dalam Workshop tentang CEWERS, Program Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Riza Noer Arfani. Konflik: Pengertian Dasar. Yogyakarta: UGM, s.a
(dipublikasikan pada koran Timor Express, 2006)

0 comments: