Sunday, 13 November 2016

KONTROVERSI PENGGUNAAN E-BOOK SEBAGAI BAHAN AJAR

(Photo credit wikimedia.org)
Beberapa pekan lalu beredar berita tentang rencana Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) meluncurkan buku elekronik (e-book). Namun peluncuran e-book tersebut urung dilaksanakan tanggal 2 Agustus 2008 dan diundur sampai tanggal 20 Agustus. Tentunya akan muncul sebuah pertanyaan dibenak kita sebagai orang awam : Apa e-book itu ? Realistiskah penggunaan E-book sebagai bahan ajar?. Kebijakan Depdiknas merupakan tindak lanjut PERMENDIKNAS No. 2/ 2008 tentang Perbukuan yakni : Pemerintah Pusat dan Daerah dapat membeli hak cipta buku dari pemiliknya. Semua orang berhak mencetak, memfotokopi, mengalihmediakan dan atau memperdagangkan buku yang hak ciptanya telah dibeli pemerintah. Sedangkan penggunaan E-book sebagai media bahan ajar berdasarkan fakta bahwa selama ini telah terjadi praktik-praktik kolusi antara pihak sekolah dan penerbit dalam memasarkan buku disekolah. Hal tersebut dikemukakan Nadlifah Hafidz (2008) yang menyatakan bahwa: ”Keuletan sekolah berbisnis buku ini membuahkan kompensasi dari percetakan berupa mobil misalnya, yang dikreditkan oleh penerbit hingga tiga  tahun (atau sesuai kesepakatan) serta ”menggaransikan” muridnya untuk membeli lembar kerja siswa (LKS) dipercetakan itu”. Selain itu, program pendidikan gratis tidak diiringi subsidi bagi buku pelajaran. Panjangnya  rantai distribusi serta ketiadaan subsidi buku pelajaran menyebabkan tingginya harga buku pelajaran. Padahal buku merupakan sumber pembelajaran.
            Kondisi  diatas melandasi Depdiknas berencana membeli 289 hak cipta buku-buku pelajaran berbagai jenjang pendidikan dan mengalih mediakan kedalam bentuk digital serta menyebarluaskan melalui internet. ”E-book merupakan versi electronik buku tercetak traditional yang dapat dibaca menggunakan personal computer atau menggunakan peralatan yang didisain khusus untuk membaca e-books. Peralatan tersebut bisa berupa tablet type, hand held device (PDA) atau eBook reader” (Prita Wulandari: 2006). Lazimnya, e-book berformat Portable Document Format (*.pdf) namun tidak menutup format lain, seperti : Image Files merupakan eBook disimpan dalam rangkaian gambar halaman per halaman; Post Script (*.ps); Microsoft (*.lit) dibaca dengan MsReader; Mobipocket (*.prc); HTML (*.html, *.htm); Compressed HTML (*.chm). Pemilihan e-book sebagai bahan ajar telah mempertimbangkan keunggulannya antara lain: Ukuran fisiknya  kecil namun mampu menyimpan banyak buku dalam satu satu harddisk, CD-ROM, DVD, dan CD; e-book mudah dibawa da, tidak mudah lapuk dan format digital tersebut tidak mudah rusak serta mudah diduplikasi. Selanjutnya e-book yang berisi buku teks tersebut dapat didownload melalui situs beralamat www.Bse-depdiknas.co.id   
Penggunaan e-book sebagai media bahan ajar merupakan sebuah langkah maju. Namun pelaksanaan kebijakan tersebut terkesan ’dipaksakan’ untuk saat ini. Kenapa ? Karena pemerintah seolah menutup mata terhadap realitas pendidikan dilapangan. Indonesia bukan hanya Jakarta, Surabaya dan kota-kota besar lainnya yang dimanjakan oleh berbagai fasilitas. Akan tetapi Indonesia terbentang antara Sabang sampai Merauke yang kondisi geografis; kondisi sarana pendidikannya berbeda serta kondisi guru dan para siswanya yang berkemampuan beragam. Sedangkan e-book merupakan media yang padat teknologi. Adapun tantangan yang dihadapi jika penggunaan e-book dipaksakan sebagai bahan ajar untuk saat ini adalah :
1.   Aspek Sumber daya Manusia ( MAN ) : Tingkat melek internet para guru di Indonesia yang hanya mencapai 10 % - 15 % ( Media Indonesia, 27 Juli 2008 ). Hal tersebut akan menghambat implementasi kebijakan e-book. Apalagi para guru telah terbiasa menggunakan pedagogik konvensional dengan mengesampingkan alat bantu pembelajaran. Sedangkan siswa yang terbiasa dengan pengajaran konvensional akan tumbuh budaya ‘Yess Man’. Karena guru adalah sumber pembelajaran yang tidak terbantahkan. Padahal guru dan murid dituntut bersikap kritis, kreatif dan inovatif dalam mencari sumber-sumber pembelajaran di era digital saat ini.
2.   Aspek Sarana dan Prasarana ( MACHINE ): Walaupun kurikulum pendidikan Indonesia sama antara daerah satu dengan lainnya. Namun yang membedakannya adalah fasilitas penunjang pendidikan. Implementasi kebijakan e-book tidak akan menemui kendala berarti diwilayah Indonesia Barat karena berbagai fasilitas seperti:: Jaringan internet, hardware, software dan brainware nya memadai. Hal tersebut terjadi sebaliknya di wilayah Indonesia Timur dengan segala keterbatasan yang dimilikinya. Idealnya penggunaan e-book sebagai bahan ajar harus memperhitungkan kelengkapan antara lain: ketersediaan laboratorium komputer/ multi media; jaringan internet; jaringan LAN; LCD/ projektor serta rasio antara komputer dengan siswa berbanding 1: 1. Selain itu infrastruktur Jardiknas belum menjangkau seluruh sekolah berbagai jenjang di Indonesia serta penggunaanya rentan mengalami ’Bottle neck’ (gangguan jaringan akibat pengguna mengakses secara serentak pada suatu situs).
3.   Aspek Metode Distibusinya ( METHOD ) : Penggunaan E-book di klaim pemerintah mampu menurunkan ’biaya tinggi’ pendidikan. Karena mampu memangkas rantai distribusi. Jadi pemerintah yang telah membeli hak cipta akan mengalihmediakan buku tersebut dan meng-upload-nya di situs Jardiknas. Sedangkan guru dan siswa yang membutuhkan buku tersebut tinggal mengunduhnya dari situs tersebut. Sekilas hal tersebut praktis dan hemat biaya. Namun jika dicermati maka biaya yang akan dikeluarkan lebih besar. Anggap saja seorang siswa ingin mendownload buku maka ia harus mengeluarkan ongkos untuk sewa Warnet Rp. 6.000,-; ongkos transportasi dalam kota pp Rp. 4.000,-; Beli Compact Disk untuk menyimpan Rp. 5.000,- dan ongkos memprintkan perlembarnya Rp. 500,-. Dari item-item pengeluaran tersebut maka anda dapat mengkalkulasikannya sendiri.

Hemat kami, kebijakan e-book merupakan program yang prematur yang rentan gagal. Karena program tersebut mengasumsikan bahwa kondisi geografis, sarana parasara pendidikan, kemampuan guru dan murid serta kemampuan ekonomi wali murid diseluruh Indonesia adalah SAMA. Sehingga kesan sentralisasi mendominasi kebijakan tersebut. Namun ibarat nasi telah menjadi bubur, kebijakan tersebut akan segera terealisasi. Untuk menilai apakah kebijakan tersebut akan sukses atau gagal maka kita tunggu tanggal mainnya. Namun ada beberapa sumbang saran yang hendak disampaikan sebagai bahan pertimbangan. Seiring dengan peluncuran e-book maka hendaknya Depdiknas melakukan sosialisasi dan pelatihan Teknologi Informasi bagi guru dan murid. Pada fase awal tersebut dapat dicari kendala-kendala yang dihadapi oleh para pengguna e-book dan selanjutnya kendala tersebut dijadikan evaluasi sebagai bahan perbaikan. Selanjutnya methode pendistibusiannya dilakukan secara desentralisai menyesuaikan karakteristik suatu daerah. Teknisnya Depdiknas tetap meng-upload materi buku teks pada situs Bse-depdiknas.co.id. Sedangkan pilihan pendistribusiannya diserahkan Diknas daerah. Diknas daerah dapat mendownload materi buku teks dan mencetaknya serta mendistibusikannya keseluruh jenjang pendidikan yang berada dibawah pembinaannya. Dan biaya pencetakan dari format e-book ke bentuk cetak dapat dibebankan pada APBD daerah masing-masing. Semoga masukan kami dapat bermanfaat. Sekian.
(termuat pada kolom opini Timor Express, 2008)

0 comments: