(Photo credit wikimedia.org) |
Beberapa pekan lalu beredar berita tentang rencana Departemen
Pendidikan Nasional (Depdiknas) meluncurkan buku elekronik (e-book). Namun peluncuran
e-book tersebut urung dilaksanakan tanggal 2 Agustus 2008 dan diundur sampai
tanggal 20 Agustus. Tentunya akan muncul sebuah pertanyaan dibenak kita sebagai
orang awam : Apa e-book itu ? Realistiskah penggunaan E-book sebagai bahan ajar?.
Kebijakan Depdiknas merupakan tindak lanjut PERMENDIKNAS No. 2/ 2008 tentang
Perbukuan yakni : Pemerintah Pusat dan Daerah dapat membeli hak cipta buku dari
pemiliknya. Semua orang berhak mencetak, memfotokopi, mengalihmediakan dan atau
memperdagangkan buku yang hak ciptanya telah dibeli pemerintah. Sedangkan penggunaan
E-book sebagai media bahan ajar berdasarkan fakta bahwa selama ini telah
terjadi praktik-praktik kolusi antara pihak sekolah dan penerbit dalam
memasarkan buku disekolah. Hal tersebut dikemukakan Nadlifah Hafidz (2008) yang
menyatakan bahwa: ”Keuletan sekolah berbisnis buku ini membuahkan kompensasi
dari percetakan berupa mobil misalnya, yang dikreditkan oleh penerbit hingga
tiga tahun (atau sesuai kesepakatan)
serta ”menggaransikan” muridnya untuk membeli lembar kerja siswa (LKS)
dipercetakan itu”. Selain itu, program pendidikan gratis tidak diiringi subsidi
bagi buku pelajaran. Panjangnya rantai
distribusi serta ketiadaan subsidi buku pelajaran menyebabkan tingginya harga
buku pelajaran. Padahal buku merupakan sumber pembelajaran.
Kondisi diatas melandasi Depdiknas berencana membeli 289
hak cipta buku-buku pelajaran berbagai jenjang pendidikan dan mengalih mediakan
kedalam bentuk digital serta menyebarluaskan melalui internet. ”E-book merupakan
versi electronik
buku tercetak traditional yang dapat dibaca menggunakan personal computer atau
menggunakan peralatan yang didisain khusus untuk membaca e-books. Peralatan tersebut bisa berupa
tablet type, hand held device (PDA) atau eBook reader” (Prita Wulandari:
2006). Lazimnya, e-book berformat Portable Document Format (*.pdf) namun tidak menutup format lain, seperti : Image Files merupakan eBook disimpan
dalam rangkaian gambar halaman per halaman; Post Script (*.ps); Microsoft
(*.lit) dibaca dengan MsReader; Mobipocket (*.prc); HTML (*.html, *.htm); Compressed
HTML (*.chm). Pemilihan e-book sebagai bahan ajar telah mempertimbangkan keunggulannya
antara lain: Ukuran fisiknya kecil namun
mampu menyimpan banyak buku dalam satu satu harddisk, CD-ROM, DVD, dan CD;
e-book mudah dibawa da, tidak mudah lapuk dan format digital tersebut tidak
mudah rusak serta mudah diduplikasi. Selanjutnya
e-book yang berisi buku teks tersebut dapat didownload melalui situs beralamat www.Bse-depdiknas.co.id
Penggunaan e-book sebagai media bahan ajar merupakan
sebuah langkah maju. Namun
pelaksanaan kebijakan tersebut terkesan ’dipaksakan’ untuk saat ini. Kenapa ?
Karena pemerintah seolah menutup mata terhadap realitas pendidikan dilapangan.
Indonesia bukan hanya Jakarta, Surabaya dan kota-kota besar lainnya yang
dimanjakan oleh berbagai fasilitas. Akan tetapi Indonesia terbentang antara Sabang
sampai Merauke yang kondisi geografis; kondisi sarana pendidikannya berbeda serta
kondisi guru dan para siswanya yang berkemampuan beragam. Sedangkan e-book
merupakan media yang padat teknologi. Adapun tantangan yang dihadapi jika
penggunaan e-book dipaksakan sebagai bahan ajar untuk saat ini adalah :
1.
Aspek Sumber daya Manusia ( MAN
) : Tingkat melek internet para guru di Indonesia yang hanya mencapai 10 % - 15
% ( Media Indonesia, 27 Juli 2008 ). Hal tersebut akan menghambat implementasi
kebijakan e-book. Apalagi para guru telah terbiasa menggunakan pedagogik
konvensional dengan mengesampingkan alat bantu pembelajaran. Sedangkan siswa
yang terbiasa dengan pengajaran konvensional akan tumbuh budaya ‘Yess Man’.
Karena guru adalah sumber pembelajaran yang tidak terbantahkan. Padahal guru
dan murid dituntut bersikap kritis, kreatif dan inovatif dalam mencari
sumber-sumber pembelajaran di era digital saat ini.
2.
Aspek Sarana dan Prasarana (
MACHINE ): Walaupun kurikulum pendidikan Indonesia sama antara daerah satu
dengan lainnya. Namun yang membedakannya adalah fasilitas penunjang pendidikan.
Implementasi kebijakan e-book tidak akan menemui kendala berarti diwilayah
Indonesia Barat karena berbagai fasilitas seperti:: Jaringan internet,
hardware, software dan brainware nya memadai. Hal tersebut terjadi sebaliknya
di wilayah Indonesia Timur dengan segala keterbatasan yang dimilikinya.
Idealnya penggunaan e-book sebagai bahan ajar harus memperhitungkan kelengkapan
antara lain: ketersediaan laboratorium komputer/ multi media; jaringan
internet; jaringan LAN; LCD/ projektor serta rasio antara komputer dengan siswa
berbanding 1: 1. Selain itu infrastruktur Jardiknas belum menjangkau seluruh
sekolah berbagai jenjang di Indonesia serta penggunaanya rentan mengalami ’Bottle
neck’ (gangguan jaringan akibat pengguna mengakses secara serentak pada suatu
situs).
3. Aspek Metode Distibusinya ( METHOD ) : Penggunaan E-book di klaim pemerintah
mampu menurunkan ’biaya tinggi’ pendidikan. Karena mampu memangkas rantai
distribusi. Jadi pemerintah yang telah membeli hak cipta akan mengalihmediakan
buku tersebut dan meng-upload-nya di situs Jardiknas. Sedangkan guru dan siswa
yang membutuhkan buku tersebut tinggal mengunduhnya dari situs tersebut.
Sekilas hal tersebut praktis dan hemat biaya. Namun jika dicermati maka biaya
yang akan dikeluarkan lebih besar. Anggap saja seorang siswa ingin mendownload
buku maka ia harus mengeluarkan ongkos untuk sewa Warnet Rp. 6.000,-; ongkos
transportasi dalam kota pp Rp. 4.000,-; Beli Compact Disk untuk menyimpan Rp.
5.000,- dan ongkos memprintkan perlembarnya Rp. 500,-. Dari item-item pengeluaran tersebut maka anda
dapat mengkalkulasikannya sendiri.
Hemat kami, kebijakan e-book merupakan program yang
prematur yang rentan gagal. Karena program tersebut mengasumsikan bahwa kondisi
geografis, sarana parasara pendidikan, kemampuan guru dan murid serta kemampuan
ekonomi wali murid diseluruh Indonesia adalah SAMA. Sehingga kesan sentralisasi mendominasi kebijakan
tersebut. Namun ibarat nasi telah menjadi bubur, kebijakan tersebut akan segera
terealisasi. Untuk menilai apakah kebijakan tersebut akan sukses atau gagal
maka kita tunggu tanggal mainnya. Namun ada beberapa sumbang saran yang hendak
disampaikan sebagai bahan pertimbangan. Seiring dengan peluncuran e-book maka
hendaknya Depdiknas melakukan sosialisasi dan pelatihan Teknologi Informasi
bagi guru dan murid. Pada fase awal tersebut dapat dicari kendala-kendala yang
dihadapi oleh para pengguna e-book dan selanjutnya kendala tersebut dijadikan
evaluasi sebagai bahan perbaikan. Selanjutnya methode pendistibusiannya
dilakukan secara desentralisai menyesuaikan karakteristik suatu daerah.
Teknisnya Depdiknas tetap meng-upload materi buku teks pada situs
Bse-depdiknas.co.id. Sedangkan pilihan pendistribusiannya diserahkan Diknas
daerah. Diknas daerah dapat mendownload materi buku teks dan mencetaknya serta
mendistibusikannya keseluruh jenjang pendidikan yang berada dibawah
pembinaannya. Dan biaya pencetakan dari format e-book ke bentuk cetak dapat
dibebankan pada APBD daerah masing-masing. Semoga masukan kami dapat
bermanfaat. Sekian.
(termuat pada kolom opini Timor Express, 2008)
0 comments:
Post a Comment