Tentu, sebagian besar dari kita pernah berbelanja ke pasar
swalayan. Bersih, rapi dan nyaman
menjadi kesan bagi kita saat berbelanja di pasar swalayan. Walaupun harga beberapa barang yang dijual
lebih mahal dari harga barang serupa yang dijual di pasar tradisional, namun
para konsumen seakan mahfum bahwa kebersihan dan kenyamanan ‘ada’ harganya. Jika kita amati dengan
seksama, produk-produk dipasar swalayan dikelompokkan berdasarkan kategori.
Semisal: produk-produk kebersihan rumah tangga tidak akan dicampur dengan
produk-produk sayuran. Pada setiap kategori barang, pengunjung diberikan
beberapa pilihan produk dengan kelebihan dan kelemahannya sehingga pengunjung
bebas memilih produk sesuai dengan kebutuhan dan daya belinya. Tak cukup disitu
saja, pengelola swalayan pun menyediakan papan petunjuk sehingga calon pembeli
tidak kebingungan menemukan produk yang dibutuhkannya. Selain papan petunjuk,
katalog barang dan staf penjualan swalayan akan dengan senang hati membantu
para calon pembelinya. Sederetan kelebihan pasar swalayan tersebut menjadi
keunggulan kompetitifnya sehingga pasar swalayan semakin diminati oleh para
calon pembeli dan para konsumen tersebut seolah diperlakukan bak ‘Raja dan Ratu’.
Menilik istilahnya, pasar merupakan tempat bertemunya
penjual dan pembeli guna melakukan transaksi. Mengacu pada makna tersebut maka tidak berlebihan jika
Perpustakaan pun dapat dianalogikan sebagai Pasar Informasi. Setidaknya
terdapat beberapa kemiripan antara konsep pasar swalayan dan perpustakaan
sebagai pasar informasi. Keduanya sama-sama bergerak dibidang jasa dengan
produk layanan dan pengorganisasian produknya menganut sistem tertentu.
Selanjutnya, komponen pendukung pasar turut dipenuhi oleh perpustakaan, antara
lain: Pustakawan/ti selaku penyedia jasa informasi, bangunan/ruang perpustakaan
sebagai tempat transaksi; Sumber informasi sebagai produk yang ditawarkan,
Pemustaka selaku konsumen yang membutuhkan informasi dan sirkulasi sebagai
wujud transaksi informasi.
Namun perbedaan yang mencolok
antara pasar swalayan dan perpustakaan terletak pada frekuensi pemanfaataannya.
Pada satu sisi, pasar swalayan semakin ramai dan diminati oleh para konsumennya
dengan indikator jumlah kunjungan dan nilai transaksinya. Sebaliknya
perpustakaan cenderung mulai sepi dari kunjungan fisik dan menurunnya transaksi
sirkulasi. Usut punya usut, terdapat beragam faktor penyebab lesu-nya pasar
informasi (perpustakaan). Terdapat studi kasus tentang persepsi pemustaka terhadap koleksi pada
perpustakaan khusus yang hasilnya menunjukkan bahwa pemustaka mempersepsikan
perpustakaan tidak mampu mengikuti dinamika perkembangan zaman, sumber
informasinya tidak sesuai lagi dengan kebutuhan informasi pemustaka serta
sarana dan prasarananya yang tidak terawat, tidak nyaman dan terbatas
jumlahnya. Motif tersebut yang disinyalir menyebabkan lesunya pasar informasi di
perpustakaan. Deretan keluhan pemustaka tersebut perlu dicarikan solusi agar
perpustakaan sebagai pasar informasi dapat bergairah kembali.
Walaupun orientasi pasar swalayan dan perpustakaan berbeda namun
tidak ada salahnya jika perpustakaan yang berorientasi non-profit untuk
mengadopsi prinsip-prinsip bauran pemasaran (marketing mix). Kenapa perlu mengadopsi marketing mix? Meminjam istilah kesehatan, lesunya pasar informasi
di perpustakaan telah kronis. Pada umumnya perpustakaan dikelola konvensional yang menciptakan situasi
zona nyaman bagi sebagian pustakawan/ti. Zona tersebut menyebabkan tersendatnya
proses kreatif menuju perubahan yang positif. Selain itu rantai birokrasi yang
rumit menyebabkan layunya ide ide kreatif inovatif. Menilik kondisi tersebut
maka perlu pembenahan yang menyeluruh
guna mencapai hasil optimal. Setidaknya terdapat 4 (empat) komponen penting marketing mix, yang akan diulas pada
artikel ini.
- Place/Lokasi :
Terdapat ungkapan
konotatif ‘Posisi Penentukan Prestasi’.
Walaupun ungkapan tersebut tak selalu benar, namun faktanya banyak toko yang
mendulang omzet yang besar disebabkan lokasinya yang strategis. Kata strategis
perlu digaris bawahi sebab dengan posisi strategis akan memudahkan aksestabilitas. Percaya atau tidak, mood konsumen dipengaruhi oleh mudah
tidaknya dalam menemukan suatu produk.
Dilain sisi, sebagian
besar perpustakaan baik yang bersifat fisik maupun digital yang belum
mempertimbangkan aspek strategis
lokasi dan aksestabilitas. Jika kita
mengunjungi perpustakaan di sebagian besar wilayah Indonesia maka kita akan
kesulitan menemukan bangunan perpustakaan yang terletak di lokasi strategis.
Pada umumnya letak perpustakaan terletak dipinggiran kota karena harga tanahnya
yang murah. Sedangkan untuk perpustakaan digital, hanya beberapa perpustakaan
yang mampu menyewa hosting dan domain memiliki aksestabilitas. Sedangkan pada
umumnya perpustakaan digital skala kecil banyak menggunakan hosting dan domain
‘gratisan’.
Nah guna
menghindari kerancuan, maksud lokasi perpustakaan yang strategis adalah
lokasinya dijangkau/dicapai oleh pemustaka baik menggunakan transportasi publik
dan privat. Sedangkan aksestabilitas perpustakaan digital adalah mudah
diketemukan oleh mesin pencari (search
engine).
Beberapa solusi apabila perpustakaan terletak di lokasi yang tidak strategis agar mudah dijangkau oleh para pemustaka. Pertama: pihak perpustakaan dapat melobi Dinas Perhubungan untuk menambahkan rute angkutan publik agar melintasi daerah sekitar perpustakaan; Kedua: menyediakan papan petunjuk lokasi; Ketiga: membuat ulasan dan menentukan koordinat perpustakaan serta menguploadnya ke Google sehingga angkutan daring dapat melokalisir tempat perpustakaan sehingga memudahkan pemustaka berkunjung ke perpustakaan. Sedangkan bagi perpustakaan digital dapat mengoptimalkan Search Engine Optimation (SEO) dengan senantiasa memperbarui konten dan menggunakan keywords dan tagar (#);
Beberapa solusi apabila perpustakaan terletak di lokasi yang tidak strategis agar mudah dijangkau oleh para pemustaka. Pertama: pihak perpustakaan dapat melobi Dinas Perhubungan untuk menambahkan rute angkutan publik agar melintasi daerah sekitar perpustakaan; Kedua: menyediakan papan petunjuk lokasi; Ketiga: membuat ulasan dan menentukan koordinat perpustakaan serta menguploadnya ke Google sehingga angkutan daring dapat melokalisir tempat perpustakaan sehingga memudahkan pemustaka berkunjung ke perpustakaan. Sedangkan bagi perpustakaan digital dapat mengoptimalkan Search Engine Optimation (SEO) dengan senantiasa memperbarui konten dan menggunakan keywords dan tagar (#);
- Price/Harga
Komponen selanjutnya adalah Price/Harga. Dalam kontek pelayanan
publik, perpustakaan tidak dimungkinkan untuk mengutip beaya jasa, namun
komponen harga dapat dikonversi sebagai waktu pelayanan. Sebaiknya waktu yang
dibutuhkan dalam melaksanakan pelayanan informasi ditentukan secara moderat. Maksudnya, waktu tidak terlalu
lama maupun terlalu cepat. Waktu pelayanan yang moderat akan aspek kompetitif bagi perpustakaan dalam memberikan
layanan informasi.
- Product/Produk
Komoditi yang diperdagangkan di pasar
informasi adalah ‘informasi’ dengan berbagai format. Pada umumnya perpustakaan
masih mengandalkan buku sebagai produk informasinya. Namun seiring perubahan
kebutuhan informasi pemustaka generasi Y, maka seyogyanya kemas ulang informasi
menjadi produk unggulan perpustakaan. Informasi dapat diekstrak dan diolah
sesuai kebutuhan pemustaka serta disajikan dalam bentuk infografis. Kenapa saat
ini infografis menjadi media yang popular karena media tersebut menggabungkan gambar (grafis)
dan data (numerik maupun text). Penyajian dalam data bentuk gambar mempermudah
pemustaka memahami informasi serta menambah daya tarik penyajiannya.
Saat ini terdapat berbagai aplikasi
pembuat infografis. Powerpoint merupakan software sederhana dan mudah diperoleh
serta dioperasikan. Alternatif software lainnya adalah Canva, aplikasi tersebut
bersifat free ware dan menyediakan berbagai macam template yang menarik
sehingga Inforgrafis dapat dibuat semenarik mungkin.
- Promotion/Promosi
Tak kalah pentingnya adalah promosi
untuk membangun citra yang melekat pada suatu produk atau lembaga. Promosi
dapat dilakukan melalui berbagai saluran komunikasi baik berupa offline maupun
online. Namun terpenting adalah membuat konten pesan yang kuat sehingga mampu mempengaruhi
pemustaka untuk memperoleh kesan positif terhadap produk informasi maupun membangun
citra positif perpustakaan sebagai penyedia jasa informasi. Konkretnya, materi promosi
dapat mempergunakan media infografis dan penyebarluasan dapat dalam bentuk poster
tercetak, cerita dari mulut ke mulut (words
to mouth) maupun optimalisasi saluran media sosial.
Sebagai simpulan,
lesunya pasar informasi di perpustakaan akibat koleksi sumber informasi yang tidak
sesuai dengan kebutuhan, terbatasnya sarana dan prasarana bukan menjadi penghalang
untuk berpikir kreatif dan inovatif guna memikat kembali pemustaka agar mendayagunakan
perpustakaan sehingga pasar informasi kembali bergeliat. Salah satu upayanya melalui
adopsi marketing mix yang terdiri dari komponen lokasi, produk, waktu layanan dan
promosi. Beberapa point penting dari prinsip tersebut adalah buatlah perpustakaan
dan koleksinya mudah diakses, produk informasinya dikembangkan sesuai kebutuhan
dengan kemasan ulang yang menarik dan informative, waktu pelayanan yang moderat
dan kompetitif dan pesan promosi serta saluran komunikasinya yang efektif membangun
citra positif terhadap perpustakaan dan produknya. Diharapkan adopsi marketing mix
dapat menggeliatkan pasar informasi yang lesu di perpustakaan (RAH).
0 comments:
Post a Comment