Saturday, 28 March 2020

Adopsi Marketing Mix Guna Gairahkan Pasar Informasi di Perpustakaan


Tentu, sebagian besar dari kita pernah berbelanja ke pasar swalayan.  Bersih, rapi dan nyaman menjadi kesan bagi kita saat berbelanja di pasar swalayan.  Walaupun harga beberapa barang yang dijual lebih mahal dari harga barang serupa yang dijual di pasar tradisional, namun para konsumen seakan mahfum bahwa kebersihan dan kenyamanan ‘ada’ harganya. Jika kita amati dengan seksama, produk-produk dipasar swalayan dikelompokkan berdasarkan kategori. Semisal: produk-produk kebersihan rumah tangga tidak akan dicampur dengan produk-produk sayuran. Pada setiap kategori barang, pengunjung diberikan beberapa pilihan produk dengan kelebihan dan kelemahannya sehingga pengunjung bebas memilih produk sesuai dengan kebutuhan dan daya belinya. Tak cukup disitu saja, pengelola swalayan pun menyediakan papan petunjuk sehingga calon pembeli tidak kebingungan menemukan produk yang dibutuhkannya. Selain papan petunjuk, katalog barang dan staf penjualan swalayan akan dengan senang hati membantu para calon pembelinya. Sederetan kelebihan pasar swalayan tersebut menjadi keunggulan kompetitifnya sehingga pasar swalayan semakin diminati oleh para calon pembeli dan para konsumen tersebut seolah diperlakukan bak ‘Raja dan Ratu’.
Menilik istilahnya, pasar merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli guna melakukan transaksi. Mengacu pada makna tersebut maka tidak berlebihan jika Perpustakaan pun dapat dianalogikan sebagai Pasar Informasi. Setidaknya terdapat beberapa kemiripan antara konsep pasar swalayan dan perpustakaan sebagai pasar informasi. Keduanya sama-sama bergerak dibidang jasa dengan produk layanan dan pengorganisasian produknya menganut sistem tertentu. Selanjutnya, komponen pendukung pasar turut dipenuhi oleh perpustakaan, antara lain: Pustakawan/ti selaku penyedia jasa informasi, bangunan/ruang perpustakaan sebagai tempat transaksi; Sumber informasi sebagai produk yang ditawarkan, Pemustaka selaku konsumen yang membutuhkan informasi dan sirkulasi sebagai wujud transaksi informasi.
 Namun perbedaan yang mencolok antara pasar swalayan dan perpustakaan terletak pada frekuensi pemanfaataannya. Pada satu sisi, pasar swalayan semakin ramai dan diminati oleh para konsumennya dengan indikator jumlah kunjungan dan nilai transaksinya. Sebaliknya perpustakaan cenderung mulai sepi dari kunjungan fisik dan menurunnya transaksi sirkulasi. Usut punya usut, terdapat beragam faktor penyebab lesu-nya pasar informasi (perpustakaan). Terdapat studi kasus tentang  persepsi pemustaka terhadap koleksi pada perpustakaan khusus yang hasilnya menunjukkan bahwa pemustaka mempersepsikan perpustakaan tidak mampu mengikuti dinamika perkembangan zaman, sumber informasinya tidak sesuai lagi dengan kebutuhan informasi pemustaka serta sarana dan prasarananya yang tidak terawat, tidak nyaman dan terbatas jumlahnya. Motif tersebut yang disinyalir menyebabkan lesunya pasar informasi di perpustakaan. Deretan keluhan pemustaka tersebut perlu dicarikan solusi agar perpustakaan sebagai pasar informasi dapat bergairah kembali.
Walaupun orientasi pasar swalayan dan perpustakaan berbeda namun tidak ada salahnya jika perpustakaan yang berorientasi non-profit untuk mengadopsi prinsip-prinsip bauran pemasaran (marketing mix). Kenapa perlu mengadopsi marketing mix? Meminjam istilah kesehatan, lesunya pasar informasi di perpustakaan telah kronis. Pada umumnya perpustakaan dikelola konvensional yang menciptakan situasi zona nyaman bagi sebagian pustakawan/ti. Zona tersebut menyebabkan tersendatnya proses kreatif menuju perubahan yang positif. Selain itu rantai birokrasi yang rumit menyebabkan layunya ide ide kreatif inovatif. Menilik kondisi tersebut maka  perlu pembenahan yang menyeluruh guna mencapai hasil optimal. Setidaknya terdapat 4 (empat) komponen penting marketing mix, yang akan diulas pada artikel ini.  

  •   Place/Lokasi :
Terdapat ungkapan konotatif ‘Posisi Penentukan Prestasi’. Walaupun ungkapan tersebut tak selalu benar, namun faktanya banyak toko yang mendulang omzet yang besar disebabkan lokasinya yang strategis. Kata strategis perlu digaris bawahi sebab dengan posisi strategis akan memudahkan aksestabilitas. Percaya atau tidak, mood konsumen dipengaruhi oleh mudah tidaknya dalam menemukan suatu produk.
Dilain sisi, sebagian besar perpustakaan baik yang bersifat fisik maupun digital yang belum mempertimbangkan aspek strategis lokasi dan aksestabilitas. Jika kita mengunjungi perpustakaan di sebagian besar wilayah Indonesia maka kita akan kesulitan menemukan bangunan perpustakaan yang terletak di lokasi strategis. Pada umumnya letak perpustakaan terletak dipinggiran kota karena harga tanahnya yang murah. Sedangkan untuk perpustakaan digital, hanya beberapa perpustakaan yang mampu menyewa hosting dan domain memiliki aksestabilitas. Sedangkan pada umumnya perpustakaan digital skala kecil banyak menggunakan hosting dan domain ‘gratisan’.
Nah guna menghindari kerancuan, maksud lokasi perpustakaan yang strategis adalah lokasinya dijangkau/dicapai oleh pemustaka baik menggunakan transportasi publik dan privat. Sedangkan aksestabilitas perpustakaan digital adalah mudah diketemukan oleh mesin pencari (search engine).
Beberapa solusi apabila perpustakaan terletak di lokasi yang tidak strategis agar mudah dijangkau oleh para  pemustaka. Pertama: pihak perpustakaan dapat melobi Dinas Perhubungan untuk menambahkan rute angkutan publik agar melintasi daerah sekitar perpustakaan; Kedua: menyediakan papan petunjuk lokasi; Ketiga: membuat ulasan dan menentukan koordinat perpustakaan serta menguploadnya ke Google sehingga angkutan daring dapat melokalisir tempat perpustakaan sehingga memudahkan pemustaka berkunjung ke perpustakaan. Sedangkan bagi perpustakaan digital dapat mengoptimalkan Search Engine Optimation (SEO) dengan senantiasa memperbarui konten dan menggunakan keywords dan tagar (#);
  
  • Price/Harga
Komponen selanjutnya adalah Price/Harga. Dalam kontek pelayanan publik, perpustakaan tidak dimungkinkan untuk mengutip beaya jasa, namun komponen harga dapat dikonversi sebagai waktu pelayanan. Sebaiknya waktu yang dibutuhkan dalam melaksanakan pelayanan informasi ditentukan secara moderat. Maksudnya, waktu tidak terlalu lama maupun terlalu cepat. Waktu pelayanan yang moderat akan aspek kompetitif bagi perpustakaan dalam memberikan layanan informasi. 
  
  • Product/Produk
Komoditi yang diperdagangkan di pasar informasi adalah ‘informasi’ dengan berbagai format. Pada umumnya perpustakaan masih mengandalkan buku sebagai produk informasinya. Namun seiring perubahan kebutuhan informasi pemustaka generasi Y, maka seyogyanya kemas ulang informasi menjadi produk unggulan perpustakaan. Informasi dapat diekstrak dan diolah sesuai kebutuhan pemustaka serta disajikan dalam bentuk infografis. Kenapa saat ini infografis menjadi media yang popular karena  media tersebut menggabungkan gambar (grafis) dan data (numerik maupun text). Penyajian dalam data bentuk gambar mempermudah pemustaka memahami informasi serta menambah daya tarik penyajiannya.
Saat ini terdapat berbagai aplikasi pembuat infografis. Powerpoint merupakan software sederhana dan mudah diperoleh serta dioperasikan. Alternatif software lainnya adalah Canva, aplikasi tersebut bersifat free ware dan menyediakan berbagai macam template yang menarik sehingga Inforgrafis dapat dibuat semenarik mungkin.
  
  • Promotion/Promosi
Tak kalah pentingnya adalah promosi untuk membangun citra yang melekat pada suatu produk atau lembaga. Promosi dapat dilakukan melalui berbagai saluran komunikasi baik berupa offline maupun online. Namun terpenting adalah membuat konten pesan yang kuat sehingga mampu mempengaruhi pemustaka untuk memperoleh kesan positif terhadap produk informasi maupun membangun citra positif perpustakaan sebagai penyedia jasa informasi. Konkretnya, materi promosi dapat mempergunakan media infografis dan penyebarluasan dapat dalam bentuk poster tercetak, cerita dari mulut ke mulut (words to mouth) maupun optimalisasi saluran media sosial.

Sebagai simpulan, lesunya pasar informasi di perpustakaan akibat koleksi sumber informasi yang tidak sesuai dengan kebutuhan, terbatasnya sarana dan prasarana bukan menjadi penghalang untuk berpikir kreatif dan inovatif guna memikat kembali pemustaka agar mendayagunakan perpustakaan sehingga pasar informasi kembali bergeliat. Salah satu upayanya melalui adopsi marketing mix yang terdiri dari komponen lokasi, produk, waktu layanan dan promosi. Beberapa point penting dari prinsip tersebut adalah buatlah perpustakaan dan koleksinya mudah diakses, produk informasinya dikembangkan sesuai kebutuhan dengan kemasan ulang yang menarik dan informative, waktu pelayanan yang moderat dan kompetitif dan pesan promosi serta saluran komunikasinya yang efektif membangun citra positif terhadap perpustakaan dan produknya. Diharapkan adopsi marketing mix dapat menggeliatkan pasar informasi yang lesu di perpustakaan (RAH).

0 comments: