Setiap perjalanan akan menyisakan kenangan. Tanpa ditulis, kenangan tersebut akan sirna. Artikel ini mengulas kesan mengunjungi Museum Fosil Kayu Indonesia (MFKI) di Gorontalo dan bersifat melengkapi tulisan-tulisan yang telah ada terlebih dahulu.
Kesempatan
mengunjungi museum tersebut datang di penghujung akhir tahun 2019.
Persinggungan dengan dunia permuseuman dan dunia Paleobotani datang pada saat
penulis terlibat pada proyek pengembangan destinasi wisata baru Paleobotani dan
dari serangkaian survei maka dipilihkan Gorontalo sebagai objek wisata yang
potensial dikembangkan. Sebelum ke inti cerita, sedikit diulas tentang istilah Paleobotani
yang bermakna ilmu cabang botani yang mempelajari sejarah pembentukan fosil
pada tanaman/pepohonan. Menurut Paleobotaniwan dalam obrolan ringan
dengan penulis, Paleobotani bermanfaat bagi mengidentifikasi kesesuaian
jenis tanaman yang cocok ditanam pada suatu wilayah. Prakteknya, program
reboisasi akan sukses jika mempertimbangkan jenis-jenis tanaman yang cocok
ditanam pada suatu wilayah. Nah saatnya kembali ke cerita semula.
Hari-H, dengan menahan kantuk rombongan
penulis memasuki pesawat yang akan membawa kami ke Gorontalo dini hari itu.
Estimasi lama penerbangan adalah 3-4 jam tergantung kondisi cuaca. Setelah
mengencangkan sabuk pengamanan, penulis telah lupa segala-galanya karena
terlelap dengan nyenyaknya. Guncangan turbulensi membangunkan penulis dan tak
berapa lama mendaratlah pesawat yang kami tumpangi. Ternyata, jarak bandara
Djalaludin ke kota Gorontalo sekitar 30 kilo dan kami kesulitan menemukan
transportasi publik ataupun daring. Mencarter kendaraan merupakan pilihan
realistis walaupun kami kudu rela mengeluarkan 300 ribuan. Perjalanan ke kota
ditempuh selama 45 menit dan kami pun disuguhi hijaunya lahan pertanian yang
disirami sinar mentari pagi dan berlatar pegunungan karst yang menawan.
Sesampainya di kota, kami mencari sarapan guna menjinakkan gemuruh pada
lambung.
Museum Pusat Fosil Kayu
(MPFK) Indonesia Kayu Indonesi (MPFK) yang terletak di Desa Bongo,
Kecamatan Batudaa Pantai, Kabupaten Gorontalo. Perjalanan ditempuh selama
30 menit menggunakan kendaraan carteran. Kami disambut oleh tulisan selamat
datang pada gapura museum. Setelah memasukkan kelereng sebagai pengganti tiket
masuk, kami pun mencoba menggali informasi seputar Museum tersebut. Beruntung,
salah seorang pengelola museum berkenan menjadi narasumber untuk memberikan
informasi, namun beliau enggan disebut namanya.
Awal
mulanya, inisiatif pembentukan MPFK datang secara spontan dari
(alm) Yosep Tahir Ma'ruf yang merupakan keturunan bangsawan kerajaan Bubohu dan
pengasuh pondok pesantren alam yang ingin mempercantik lingkungan pesantren
dengan aneka ragam bebatuan. Suatu ketika, sang narasumber mengumpulkan dan
menunjukkan 11 kepingan batu dengan tekstur kayu yang diperolehnya dari daerah
sekitar Sungai Tohupo dan serta merta (alm)
Yosep Tahir Ma'ruf tertarik untuk mengumpulkan batu palapa (Istilah lokal
untuk fosil kayu) tersebut. Selama kurun waktu 2013-2014, beragam jenis dan
ukuran fosil kayu dikumpulkan dari sepanjang aliran sungai tersebut dan ladang
jagung disekitarnya. Sebenarnya, penemuan fosil kayu tersebut berawal dari
maraknya aktivitas penambangan galian C. Menggunakan alat berat berupa
escavator, pada penambang menggali pasir dan batu koral dan tidak sengaja fosil
kayu tersebut ikut tergali. Pada saat itu, bebatuan kayu tersebut disisihkan
dan dibiarkan teronggok begitu saja sampai sang narasumber berinisiatif
mengumpulkannya sebagai koleksi museum kayu seperti saat ini. Tak kurang dari
5,000 buah fosil kayu beragam jenis dan ukuran menghiasi petak-petak museum
yang memiliki luas tak kurang dari 4 hektar tersebut.
Selanjutnya
MPFK dibuka secara resmi untuk umum pada tahun 2015 dan sampai saat ini setidaknya
sebanyak 3,000 orang per-bulannya berkunjung ke museum tersebut. Setiap
pengunjung diwajibkan memasukkan kelereng sebagai alat penghitung jumlah
pengunjung dan para pengunjung tidak dikenakan tiket masuk. Pengunjung memiliki
beragam latar belakang masyarakat umum, pelajar bahkan wisatawan mancanegara
berasal dari Eropa dan Amerika pun pernah berkunjung ke museum tersebut.
Museum dikelola oleh keluarga besar Alm Yosep.
Beberapa
tahun terakhir, pihak pengelola museum melakukan beberapa acara penunjang
berupa festival Walima dan pentas seni tarian. Festival tersebut merupakan
agenda tahunan yang bertepatan dengan perayaan mauled nabi. Beragam kegiatan
berupa karnaval, bazaar dan pentas tarian dilaksanakan selama festival berlangsung.
Pada karnaval, para peserta akan mengarak gunungan yang berisi kue-kue
mengelilingi kampung dan selanjutnya gunungan kue tersebut akan diperebutkan
oleh para pengunjung.
Asal
muasal fosil kayu diperkirakan terjadi semenjak zaman purba, dimana danau
Limboto dahulunya merupakan sebuah kubah besar gunung api purba yang meletus
secara dasyatnya dan material vulkanisnya menyelimuti dan mengubur pepohonan
purba. Batang pepohonan purba yang tertutup abu vulkanis halus (terpa) tersebut
mengalami proses pengerasan sampai menjadi fosil dalam kurun waktu jutaan
tahun. Penuturan narasumber tersebut mengutip hasil kajian ilmiah yang
dilakukan oleh tim peneliti dari salah satu Universitas di Gorontalo beberapa
tahun silam. Selanjutnya, kayu fosil banyak ditemukan di sepanjang aliran
sungai Tohupo dan ladang jagung disekitar wilayah tersebut. Sungai Tohupo
terletak sekitar 30 km kearah Barat Kota Gorontalo dan ditempuh selama 1 jam
perjalanan darat. Pada lokasi tersebut ditemukan beberapa serpihan fosil kayu
baik yang menempel didinding sungai maupun di tepi sungai. Fosil yang tertempel
dinding sungai rawan terkena erosi atau rusak akibat aktivitas galian C.
Menilik
penuturan narasumber sekaligus pengelola museum tersebut, MPFK berpotensi
menjadi jadi embrio wisata ilmiah di wilayah Gorontalo. Namun MPFK masih
memerlukan polesan ilmiah guna menjadi wisata ilmiah. Sistem penataan koleksi
fosil kayu perlu penambahan informasi terkait jenis, usia, dan sebarannya. Jika
memungkinkan, perlu disediakan diorama sehingga pengunjung seolah-olah
dihadirkan dimasa ketika fosil kayu tersebut terbentuk. Penguatan kelembagaan
dan penguatan kapasitas sumberdaya pengelola museum perlu ditingkatkan sebab
pemandu museum merupakan agen diseminator bagi informasi ilmiah dibalik koleksi
fosil kayu Museum. Jika boleh berangan-angan, Komitmen dan dukungan lintas
sektoral dibutuhkan guna mewujudkan MPFK sebagai destinasi wisata ilmiah
andalan di Gorontal dan MPFK tersebut menjadi xylarium fosil kayu di
Indonesia (RAH).
0 comments:
Post a Comment