Friday, 27 March 2020

Cerita di Balik Museum Pusat Fosil Kayu Indonesia Gorontalo


Setiap perjalanan akan menyisakan kenangan. Tanpa ditulis, kenangan tersebut akan sirna. Artikel ini mengulas kesan mengunjungi Museum Fosil Kayu Indonesia (MFKI) di Gorontalo dan bersifat melengkapi tulisan-tulisan yang telah ada terlebih dahulu.
Kesempatan mengunjungi museum tersebut datang di penghujung akhir tahun 2019. Persinggungan dengan dunia permuseuman dan dunia Paleobotani datang pada saat penulis terlibat pada proyek pengembangan destinasi wisata baru Paleobotani dan dari serangkaian survei maka dipilihkan Gorontalo sebagai objek wisata yang potensial dikembangkan. Sebelum ke inti cerita, sedikit diulas tentang istilah Paleobotani yang bermakna ilmu cabang botani yang mempelajari sejarah pembentukan fosil pada tanaman/pepohonan. Menurut Paleobotaniwan dalam obrolan ringan dengan  penulis, Paleobotani bermanfaat bagi mengidentifikasi kesesuaian jenis tanaman yang cocok ditanam pada suatu wilayah. Prakteknya, program reboisasi akan sukses jika mempertimbangkan jenis-jenis tanaman yang cocok ditanam pada suatu wilayah. Nah saatnya kembali ke cerita semula.
Hari-H, dengan menahan kantuk rombongan penulis memasuki pesawat yang akan membawa kami ke Gorontalo dini hari itu. Estimasi lama penerbangan adalah 3-4 jam tergantung kondisi cuaca. Setelah mengencangkan sabuk pengamanan, penulis telah lupa segala-galanya karena terlelap dengan nyenyaknya. Guncangan turbulensi membangunkan penulis dan tak berapa lama mendaratlah pesawat yang kami tumpangi. Ternyata, jarak bandara Djalaludin ke kota Gorontalo sekitar 30 kilo dan kami kesulitan menemukan transportasi publik ataupun daring. Mencarter kendaraan merupakan pilihan realistis walaupun kami kudu rela mengeluarkan 300 ribuan. Perjalanan ke kota ditempuh selama 45 menit dan kami pun disuguhi hijaunya lahan pertanian yang disirami sinar mentari pagi dan berlatar pegunungan karst yang menawan. Sesampainya di kota, kami mencari sarapan guna menjinakkan gemuruh pada lambung.
Museum Pusat Fosil Kayu (MPFK) Indonesia  Kayu Indonesi (MPFK) yang terletak di Desa Bongo, Kecamatan Batudaa Pantai, Kabupaten Gorontalo.  Perjalanan ditempuh selama 30 menit menggunakan kendaraan carteran. Kami disambut oleh tulisan selamat datang pada gapura museum. Setelah memasukkan kelereng sebagai pengganti tiket masuk, kami pun mencoba menggali informasi seputar Museum tersebut. Beruntung, salah seorang pengelola museum berkenan menjadi narasumber untuk memberikan informasi, namun beliau enggan disebut namanya. 
Awal mulanya,  inisiatif pembentukan  MPFK datang secara spontan dari (alm) Yosep Tahir Ma'ruf yang merupakan keturunan bangsawan kerajaan Bubohu dan pengasuh pondok pesantren alam yang ingin mempercantik lingkungan pesantren dengan aneka ragam bebatuan. Suatu ketika, sang narasumber mengumpulkan dan menunjukkan 11 kepingan batu dengan tekstur kayu yang diperolehnya dari daerah sekitar Sungai Tohupo dan serta merta (alm) Yosep Tahir Ma'ruf  tertarik untuk mengumpulkan batu palapa (Istilah lokal untuk fosil kayu) tersebut. Selama kurun waktu 2013-2014, beragam jenis dan ukuran fosil kayu dikumpulkan dari sepanjang aliran sungai tersebut dan ladang jagung disekitarnya. Sebenarnya, penemuan fosil kayu tersebut berawal dari maraknya aktivitas penambangan galian C. Menggunakan alat berat berupa escavator, pada penambang menggali pasir dan batu koral dan tidak sengaja fosil kayu tersebut ikut tergali. Pada saat itu, bebatuan kayu tersebut disisihkan dan dibiarkan teronggok begitu saja sampai sang narasumber berinisiatif mengumpulkannya sebagai koleksi museum kayu seperti saat ini. Tak kurang dari 5,000 buah fosil kayu beragam jenis dan ukuran menghiasi petak-petak museum yang memiliki luas tak kurang dari 4 hektar tersebut.   
Selanjutnya MPFK dibuka secara resmi untuk umum pada tahun 2015 dan sampai saat ini setidaknya sebanyak  3,000 orang per-bulannya berkunjung ke museum tersebut. Setiap pengunjung diwajibkan memasukkan kelereng sebagai alat penghitung jumlah pengunjung dan para pengunjung tidak dikenakan tiket masuk. Pengunjung memiliki beragam latar belakang masyarakat umum, pelajar bahkan wisatawan mancanegara berasal dari Eropa dan  Amerika pun pernah berkunjung ke museum tersebut. Museum dikelola oleh keluarga besar Alm Yosep.
Beberapa tahun terakhir, pihak pengelola museum melakukan beberapa acara penunjang berupa festival Walima dan pentas seni tarian. Festival tersebut merupakan agenda tahunan yang bertepatan dengan perayaan mauled nabi. Beragam kegiatan berupa karnaval, bazaar dan pentas  tarian dilaksanakan selama festival berlangsung. Pada karnaval, para peserta akan mengarak gunungan yang berisi kue-kue mengelilingi kampung dan selanjutnya gunungan kue tersebut akan diperebutkan oleh para pengunjung.
Asal muasal fosil kayu  diperkirakan terjadi semenjak zaman purba, dimana danau Limboto dahulunya merupakan sebuah kubah besar gunung api purba yang meletus secara dasyatnya dan material vulkanisnya menyelimuti dan mengubur pepohonan purba. Batang pepohonan purba yang tertutup abu vulkanis halus (terpa) tersebut mengalami proses pengerasan sampai menjadi fosil dalam kurun waktu jutaan tahun. Penuturan narasumber tersebut mengutip hasil kajian ilmiah yang dilakukan oleh tim peneliti dari salah satu Universitas di Gorontalo beberapa tahun silam. Selanjutnya, kayu fosil banyak ditemukan di sepanjang aliran sungai Tohupo dan ladang jagung disekitar wilayah tersebut.  Sungai Tohupo terletak sekitar 30 km kearah Barat Kota Gorontalo dan ditempuh selama 1 jam perjalanan darat. Pada lokasi tersebut ditemukan beberapa serpihan fosil kayu baik yang menempel didinding sungai maupun di tepi sungai. Fosil yang tertempel dinding sungai rawan terkena erosi atau rusak akibat aktivitas galian C. 
Menilik penuturan narasumber sekaligus pengelola museum tersebut,  MPFK berpotensi menjadi jadi embrio wisata ilmiah di wilayah Gorontalo. Namun MPFK masih memerlukan polesan ilmiah guna menjadi wisata ilmiah. Sistem penataan koleksi fosil kayu perlu penambahan informasi terkait jenis, usia, dan sebarannya. Jika memungkinkan, perlu disediakan diorama sehingga pengunjung seolah-olah dihadirkan dimasa ketika fosil kayu tersebut terbentuk. Penguatan kelembagaan dan penguatan kapasitas sumberdaya pengelola museum perlu ditingkatkan sebab pemandu museum merupakan agen diseminator bagi informasi ilmiah dibalik koleksi fosil kayu Museum. Jika boleh berangan-angan, Komitmen dan dukungan lintas sektoral dibutuhkan guna mewujudkan MPFK sebagai destinasi wisata ilmiah andalan di Gorontal dan MPFK tersebut menjadi xylarium fosil kayu di Indonesia (RAH).







0 comments: