Alkisah terdapat seorang atlit veteran yang dahulunya sering kali memenangkan berbagai kejuaraan. Pada suatu masa, puncak keemasannya pun perlahan memudar seiring bertambahnya usia. Otot-ototnya mulai melemah seiring mulai berkurangnya frekuensi latihannya. Sama halnya dengan stamina juaranya pun mulai memudar seiring melemahnya otot-ototnya.
Coretan kali ini tidak akan membahas panjang lebar tentang dunia olahraga. Namun tema tulisan ini sedikit banyak bersinggungan dengan kata kunci :'Stamina'. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata stamina dimaknai sebagai suatu kekuatan atau energi yang membuat seseorang bertahan. Kita membutuhkan stamina dalam menjalani berbagai aktivitas hidup. Tanpa stamina ibarat sebuah bunga yang layu sebelum berkembang.
Kembali kepada ilustrasi tentang memudarnya stamina seorang atlit TOP seiring pertambahan usia dan berkurangnya intensitas latihannya. Apakah hal tersebut juga dialami juga oleh seorang penulis atau orang yang hobi menulis?. Mungkin jawabannya sungguh beragam, namun menurut pribadi penulis, hal tersebut dapat saja terjadi.
Satu dasawarsa lalu, penulis begitu bersemangat membaca lalu berpikir dan menulis. Tak heran, setumpuk ide datang dibenak penulis. Segera saja ide-ide tersebut dituliskan kedalam sebuah narasi dan dikirimkan ke kolom opini berbagai media lokal di suatu kota di tenggara Indonesia. Dari ratusan tulisan yang dikirim, terdapat beberapa tulisan yang mampu memikat hati beberapa editor dan atas kebaikan mereka lah tulisan tersebut termuat. Bahagia rasanya melihat tulisan tersebut menghiasi kolom surat kabar lokal. Lebih bahagia lagi bahwa tulisan tersebut mendapat respon positif dan memberikan ide kebaikan kepada orang lain dalam menyikapi atau menemukan alternatif solusi atas sebuah masalah. Momentum tersebut mulai memudar seiring waktu. Berbagai kesibukan yang tidak terkait membaca dan menulis pun menjadi kambing hitamnya.
Nostalgia masa lalu pun berakhir ketika menghadapi kenyataan bahwa tidak lagi ada publikasi selama 2 tahun terakhir. Usut punya usut, ternyata kemandegan berpikir tersebut disebabkan oleh pudarnya stamina untuk membaca, berpikir dan menulis. Non sense jika tanpa membaca, kita mampu menulis. ternyata bahan bacaan merupakan nutrisi penting bagi seorang penulis. Ibarat makan, tanpa bahan makanan maka tubuh tidak akan mampu memproduksi energi. Dengan membaca, kita akan mendapatkan sesuatu hal atau informasi yang baru. Selanjutnya informasi tersebut kita olah dalam pemikiran kita dengan membandingkannya dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah kita miliki. Kombinasi tersebut akan menghasilkan ide baru yang dapat kita ekspresikan kedalam sebuah narasi. Jadi ide tidak perlu ditunggu tapi perlu dicari. Dengan apa? Ide dapat dicari melalui membaca dan berdiskusi. Tak kalah pentingnya adalah stamina fisik. Sebaik apapun stamina berpikir kita, tanpa dukungan stamina fisik maka hasilnya takkan optimal. Berbicara kebutuhan fisik maka perlu kita perhatikan pola hidup dan pola makan kita. Percayalah tubuh memiliki jam biologis untuk bekerja, berpikir dan istirahat maka hormatilah jam biologis tersebut. Asupan nutrisi juga penting agar stamina tubuh terjaga dan kita dapat menulis dengan nyaman dan menyenangkan.
Sampailah kita pada baris penutup, sebenarnya coretan ini merupakan sebuah terapi untuk mengembalikan stamina menulis yang meredup. Yakinlah momentum menulis, asupan nutrisi otak dan tubuh perlu dijaga agar stamina menulis kita tetap stabil. Semoga bermanfaat.
Coretan kali ini tidak akan membahas panjang lebar tentang dunia olahraga. Namun tema tulisan ini sedikit banyak bersinggungan dengan kata kunci :'Stamina'. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata stamina dimaknai sebagai suatu kekuatan atau energi yang membuat seseorang bertahan. Kita membutuhkan stamina dalam menjalani berbagai aktivitas hidup. Tanpa stamina ibarat sebuah bunga yang layu sebelum berkembang.
Kembali kepada ilustrasi tentang memudarnya stamina seorang atlit TOP seiring pertambahan usia dan berkurangnya intensitas latihannya. Apakah hal tersebut juga dialami juga oleh seorang penulis atau orang yang hobi menulis?. Mungkin jawabannya sungguh beragam, namun menurut pribadi penulis, hal tersebut dapat saja terjadi.
Satu dasawarsa lalu, penulis begitu bersemangat membaca lalu berpikir dan menulis. Tak heran, setumpuk ide datang dibenak penulis. Segera saja ide-ide tersebut dituliskan kedalam sebuah narasi dan dikirimkan ke kolom opini berbagai media lokal di suatu kota di tenggara Indonesia. Dari ratusan tulisan yang dikirim, terdapat beberapa tulisan yang mampu memikat hati beberapa editor dan atas kebaikan mereka lah tulisan tersebut termuat. Bahagia rasanya melihat tulisan tersebut menghiasi kolom surat kabar lokal. Lebih bahagia lagi bahwa tulisan tersebut mendapat respon positif dan memberikan ide kebaikan kepada orang lain dalam menyikapi atau menemukan alternatif solusi atas sebuah masalah. Momentum tersebut mulai memudar seiring waktu. Berbagai kesibukan yang tidak terkait membaca dan menulis pun menjadi kambing hitamnya.
Nostalgia masa lalu pun berakhir ketika menghadapi kenyataan bahwa tidak lagi ada publikasi selama 2 tahun terakhir. Usut punya usut, ternyata kemandegan berpikir tersebut disebabkan oleh pudarnya stamina untuk membaca, berpikir dan menulis. Non sense jika tanpa membaca, kita mampu menulis. ternyata bahan bacaan merupakan nutrisi penting bagi seorang penulis. Ibarat makan, tanpa bahan makanan maka tubuh tidak akan mampu memproduksi energi. Dengan membaca, kita akan mendapatkan sesuatu hal atau informasi yang baru. Selanjutnya informasi tersebut kita olah dalam pemikiran kita dengan membandingkannya dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah kita miliki. Kombinasi tersebut akan menghasilkan ide baru yang dapat kita ekspresikan kedalam sebuah narasi. Jadi ide tidak perlu ditunggu tapi perlu dicari. Dengan apa? Ide dapat dicari melalui membaca dan berdiskusi. Tak kalah pentingnya adalah stamina fisik. Sebaik apapun stamina berpikir kita, tanpa dukungan stamina fisik maka hasilnya takkan optimal. Berbicara kebutuhan fisik maka perlu kita perhatikan pola hidup dan pola makan kita. Percayalah tubuh memiliki jam biologis untuk bekerja, berpikir dan istirahat maka hormatilah jam biologis tersebut. Asupan nutrisi juga penting agar stamina tubuh terjaga dan kita dapat menulis dengan nyaman dan menyenangkan.
Sampailah kita pada baris penutup, sebenarnya coretan ini merupakan sebuah terapi untuk mengembalikan stamina menulis yang meredup. Yakinlah momentum menulis, asupan nutrisi otak dan tubuh perlu dijaga agar stamina menulis kita tetap stabil. Semoga bermanfaat.
0 comments:
Post a Comment