Kemiskinan
dan kebodohan ibarat lingkaran setan yang tak berujung pangkal. Tragisnya kedua
hal tersebut tumbuh subur di propinsi NTT. Populasi kemiskinan yang
mencapai 88 % dari 4,2 juta penduduknya
dan menyebar di daerah pedesaan. Penyebabnya adalah kondisi geografis yang
kurang menguntungkan, mengakarnya budaya pesta, isolasi informasi dan iklim
semi arid yang menyebabkan musim kemarau lebih panjang daripada wilayah
Indonesia lainnya. Kondisi tersebut menyulitkan penduduk NTT untuk hidup sejahtera. Kemiskinan
tersebut disinyalir kuat memicu tingginya angka buta huruf. Himpitan ekonomi
telah memaksa mereka lebih mementingkan usaha pemenuhan kebutuhan hidup
daripada peningkatan kemampuan sumberdaya manusia. Anak-anak usia sekolah
terpaksa putus sekolah dan bekerja pada sektor-sektor informal. Dampaknya,
penduduk produktif rentang usia 17 sampai dengan 44 tahun banyak mengalami buta
huruf. United Nations Development Programme (UNDP) menjadikan angka buta huruf dewasa (adult illiteracy rate) sebagai suatu
barometer dalam mengukur kualitas suatu bangsa. Tinggi rendahnya angka
buta huruf akan menentukan pula tinggi rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (Human
Development Index – HDI) bangsa itu. Berdasarkan laporan UNDP
tahun 2003 dalam “Human
Development Report 2003” bahwa Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Indeks – HDI)
berdasarkan angka buta huruf menunjukkan bahwa “pembangunan manusia di Indonesia“ menempati urutan yang ke 112
dari 174 negara di dunia yang dievaluasi. Rendahnya daya saing tersebut
menyebabkan laju perekonominan khususnya di NTT berjalan lambat. Menghangatnya
wacana tentang tata cara pemilihan umum 2009 yang mewajibkan pemilih menuliskan
nama calon legislatif akan sulit terlaksana jika tingkat penyandang buta huruf
masih tinggi.
Pendidikan merupakan investasi jangka panjang. Sebab manusia (brainware)
merupakan sentral dari berbagai sistem.
Sehingga cara untuk mengejar ketertinggalan adalah membangun manusianya. Pemerintah
pun menyadari hal ini. Namun mengingat keterbatasan pendanaan dan cakupan
pendidikan formal maka dirancanglah pendidikan yang berorientasi pada
pemerataan yakni: pendidikan luar
sekolah (PLS). Tujuan PLS adalah
memberikan kesempatan yang sama kepada setiap warga negara yang tidak mengenyam
pendidikan formal untuk mendapatkan pendidikan (reading literacy).
Kemampuan membaca mutlak dikuasai karena berdasarkan laporan United Nations
Development Programme (UNDP) menyatakan bahwa “ … tingginya angka buta huruf dewasa (adult illiteracy rate) di Indonesia adalah akibat membaca belum menjadi kebutuhan hidup
dan belum menjadi budaya bangsa.
Padahal membaca mempunyai fungsi yang
penting. Gleen Doman (1991: 19) dalam bukunya How to Teach Your Baby to Read menyatakan bahwa “ Semua proses belajar didasarkan pada kemampuan membaca”.
Selanjutnya melalui budaya masyarakat membaca kita akan melangkah menuju
masyarakat belajar (learning society).
Prinsip belajar dalam abad 21 menurut UNESCO (1996) harus didasarkan pada empat pilar yaitu : 1) learning to thing – belajar berpikir ;
2) learning to do ---- belajar
berbuat ; 3) learning to be --- belajar
untuk tetap hidup, dan 4) learning to
live together ---- yaitu belajar hidup bersama antar bangsa. Berangkat dari
terwujudnya masyarakat belajar (learning
society) maka akan mencapai bangsa yang cerdas (educated nation) sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945
menuju masyarakat Madani (Athaillah Baderi: 2005).
Aspek
Kuantitas versus Kualitas
Konsep pengentasan buta huruf
melalui PLS ternyata belum sepenuhnya berjalan sesuai target. Program
pemerintah pusat yang menargetkan penurunan tingkat buta aksara di Indonesia
mencapai 5 % pada 2015 telah merangsang
menjamurnya kelompok-kelompok belajar (Kejar). Namun strategi pengentasan buta
huruf yang hanya berorientasi pada aspek kuantitas akan menuai dampak negatif,
yakni : terjadinya penyimpangan akibat lemahnya pengawasan. Seperti halnya NTT
yang terkategori sebagai kantong buta aksara sehingga pemerintah pusat mengalokasikan
dana sebesar Rp. 362 ribu/orang dengan sasaran 90 ribu orang. (Pos Kupang,
27/05/07). Namun pelaksanaannya masih belum memuaskan. Penyimpangan masih
menodai pelaksanaanya. Berita yang dilansir Pos Kupang tanggal 26 Februari 2008
tentang Hasil temuan tim 5 DPRD Kabupaten Kupang yang menyatakan bahwa
penyelenggaraan PLS di Kabupaten Kupang hanya 44 persen dan sebagiannya diduga
fiktif. Sehingga kualitas output program tersebut dipertanyakan. Jika melihat
kasus tersebut maka penyelenggara PLS memaknai kesuksesan program pengentasan
buta aksara berdasar pada aspek
kuantitas dan mengabaikan aspek kualitas. Dan output program tersebut belum
tentu memenuhi standar nasional.
Keberadaan penyelenggara kelompok belajar patut dievaluasi
kembali. Menilik pada kredibilitas penyelenggara kejar, tempat kejar yang
representatif atau tidak, bagaimana rasio antara fasilitator dengan peserta
ajar dan koleksi penunjang bahan ajarnya memadai atau tidak serta bagaimana
metodologi pengajarannya. Aspek kualitas perlu diperhatikan karena akan
menunjukkan keberhasilan PLS yang kesinambungan. Kenyataan dilapangan
menunjukkan bahwa peserta PLS yang telah ‘melek huruf” (bisa membaca) masih
berpotensi buta huruf lagi jika ketrampilan membacanya tidak dilatih lagi.
Kesinambungan keberhasilan PLS akan terlihat pada tingkat partisipasi membaca,
meliputi: tingkat/ oplah koran, tingkat kunjungan ataupun transaksi pinjam buku
pada perpustakaan umum.
Solusinya ?
“Melek’ huruf dan kemampuan membaca merupakan landasan bagi
pembentukan masyarakat madani. Namun program pengentasan buta aksara akan sulit
terealisasi tanpa partisipasi aktif dari objek program tersebut. Kemiskinan
struktural memaksa mereka mengabaikan program ini karena mereka tidak merasakan
dampak langsungnya secara ekonomis. Sedangkan stimulus berupa uang dengan
nominal tertentu hanya efektif mensukseskan program tersebut dalam jangka
pendek. Serta berpotensi menimbulkan penyimpangan keuangan pada pelaksanaannya.
Maka perlu kiranya dicari win-win solution atas permasalahan tersebut.
1. )
INTEGRASI PROGRAM
Permasalahan kemiskinan tak lepas dari kebodohan dan demikian
sebaliknya. Penangangannya pun belum komprehensif. Hendaknya program
pengentasan kemiskinan di integrasikan dengan pengentasan buta huruf. Penyebab
keengganan calon peserta ajar untuk mengikuti kejar disebabkan mereka merasa
tidak memperoleh manfaat nyata yang mampu menaikkan taraf kehidupannya selepas
mengikuti kejar. Maka program kejar harus disisipkan nilai tambah berupa:
pembekalan life skill. Sehingga terdapat 2 manfaat yang diperoleh peserta kejar
selama mengikuti pembelajaran yakni: kemampuan baca tulis dan ketrampilan yang
mampu memberikan kontribusi ekonomi. Dan selepas pendidikan diberikan bantuan
modal. Nilainya hendaknya bervariasi disesuaikan dengan prestasi peserta kejar.
Hal tersebut berfungsi sebagai stimulus bagi peserta kejar untuk berprestasi.
2. )
SINKRONISASI KERJA ANTAR LEMBAGA.
Pemerintah mempunyai beragam
program untuk mengikis tingginya angka buta huruf. Sebut saja: Gerakan membaca
nasional, Bulan Aksara, Hari Buku, maupun Gerakan Pemberdayaan Perpustakaan.
Kesemuanya bertujuan merangsang, melatih dan memelihara keterampilan membaca.
Program-program tersebut terasa kurang ‘menggigit’ manakala masing-masing
lembaga (Perpustakaan Daerah maupun Dinas Pendidikan) berjalan-jalan sendiri.
Padahal tujuan, substansi dan segementasi program tersebut tidaklah jauh
berbeda. Terkesan program-program tersebut saling tumpang tindih. Dalam konteks
pemberantasan buta huruf maka seyogyanya lembaga-lembaga tersebut saling
mensikronkan progam kerjanya. Dinas Pendidikan
bertanggung jawab atas regulasi; pelatihan fasilitator tenaga didik, kurikulum
serta pengawasan sehingga kualitas program PLS tetap terjaga. Sedangkan
perpustakaan daerah bertanggungjawab atas bimbingan minat baca dan ketersediaan
bahan bacaan. Teknisnya, perpustakaan daerah memberikan layanan perpustakaan
keliling dan membentuk perpustakaan desa. Keduanya bertujuan memelihara
ketrampilan membaca alumni peserta kejar dengan ketersediaan bahan bacaan.
Koordinasi serta sinkronisasi program mutlak diperlukan untuk menjaga
kesimbungan program pemberantasan buta aksara. Sekian.
0 comments:
Post a Comment