Monday, 6 April 2020

CERITA DIBALIK WISATA FOSIL KAYU GORONTALO


Gorontalo, provinsi yang terkenal akan keindahan danau Limboto-nya, ternyata menyimpan potensi wisata ilmiah yang terpendam, yakni wisata fosil kayu.  Deretan pegunungan karst  sepanjang garis pantai di Teluk Tomini semakin menambah eksotisme panorama Gorontalo. Siapa sangka bahwa danau  Limboto, pegunungan karst dan fosil kayu memiliki ikatan sejarah yang panjang dan terkait satu dengan lainnya. Tim FORDA Ekspedisi berkesempatan untuk melacak sejarah tersebut dan menuliskan kembali cerita dibalik fosil kayu Gorontalo.
Dimulai dengan kunjungan ke Museum Pusat Fosil Kayu Indonesi (MPFK) tepatnya berada di Desa Bongo yang terletak di Kecamatan Batudaa Pantai, Kabupaten Gorontalo.  Tim bertemu  Hasan selaku pengelola museum tersebut. Dalam perbincangan hangat tersebut, Hasan menuturkan bahwa diperkirakan dizaman purba, danau Limboto dahulunya merupakan sebuah kubah besar gunung api purba yang meletus secara dasyatnya dan material vulkanisnya menyelimuti dan mengubur pepohonan purba. Batang pepohonan purba yang tertutup abu vulkanis halus (terpa) tersebut mengalami proses pengerasan sampai menjadi fosil dalam kurun waktu jutaan tahun. Penuturannya tersebut mengutip hasil kajian ilmiah yang dilakukan oleh tim peneliti Universitas Negeri Gorontalo beberapa tahun silam.
Melanjutkan penuturannya, inisiatif pembentukan  MPFK datang secara spontan. Kala itu, (alm) Yosep Tahir Ma'ruf yang merupakan keturunan bangsawan kerajaan Bubohu dan pengasuh pondok pesantren alam berinisiatif untuk mempercantik lingkungan pesantren dengan aneka ragam bebatuan dengan bantuan Hasan. Suatu ketika, Hasan mengumpulkan dan menunjukkan 11 kepingan batu dengan tekstur kayu yang diperolehnya dari daerah sekitar Sungai Tohupo dan serta merta (alm) Yosep Tahir Ma'ruf  tertarik untuk mengumpulkan batu palapa (Istilah lokal untuk fosil kayu) tersebut. Selama kurun waktu 2013-2014, beragam jenis dan ukuran fosil kayu dikumpulkan dari sepanjang aliran sungai tersebut dan ladang jagung disekitarnya. Sebenarnya, penemuan fosil kayu tersebut berawal dari maraknya aktivitas penambangan galian C. Menggunakan alat berat berupa escavator, pada penambang menggali pasir dan batu koral dan tidak sengaja fosil kayu tersebut ikut tergali. Pada saat itu, bebatuan kayu tersebut disisihkan dan dibiarkan teronggok begitu saja sampai Hasan berinisiatif mengumpulkannya sebagai koleksi museum kayu seperti saat ini. Tak kurang dari 5,000 buah fosil kayu beragam jenis dan ukuran menghiasi petak-petak museum yang memiliki luas tak kurang dari 4 hektar tersebut. 
Dibuka secara resmi pada 2015, MPFK tersebut semakin menarik perhatian bagi pengunjung. Tak kurang dari 3,000 orang per-bulannya berkunjung ke museum tersebut. Uniknya, setiap pengunjung diwajibkan memasukkan kelereng yang usut punya usut berfungsi sebagai alat penghitung jumlah pengunjung. Dan lagi pihak pengelola yang merupakan keluarga besar Bapak Yosep, tidak menarik bea tiket masuk sepeser pun. Namun bagi para pengunjung yang sukarela membantu biaya perawatan museum dapat memasukkan berapapun nominal sesuai kemampuannya kedalam kotak sumbangan. Tak hanya wisatawan domestik sana, wisatawan mancanegara berasal dari Eropa dan  Amerika pun pernah berkunjung ke museum tersebut.
Tak hanya fosil kayu yang menjadi daya tarik bagi para pengunjung di wisata religi tersebut. Beberapa tahun terakhir, pihak pengelola melakukan beberapa acara penunjang berupa festival Walima dan pentas seni tarian. Festival tersebut merupakan agenda tahunan yang bertepatan dengan perayaan mauled nabi. Beragam kegiatan berupa karnaval, bazaar dan pentas  tarian dilaksanakan selama festival berlangsung. Pada karnaval, para peserta akan mengarak gunungan yang berisi kue-kue mengelilingi kampung dan selanjutnya gunungan kue tersebut akan diperebutkan oleh para pengunjung. Disitulah terletak keseruan pada karnaval tersebut.
Kembali lagi ke pembahasan fosil kayu, pada umumnya masyarakat percaya bahwa benda-benda purba memiliki nilai magis. Kearifan local tersebut memberikan dampak positif terhadap keberadaan fosil kayu dialam. Boleh percaya dan boleh tidak, Hasan menuturkan bahwa beberapa fosil kayu koleksi museumnya memiliki aura mistis. Bahkan beberapa pengunjung yang memiliki indera keenam mampu mendeteksi dan berkomunikasi dengan mahluk astral pada beberapa fosil kayu koleksi museum tersebut. Terlepas dari cerita mistis tersebut, fosil kayu layak untuk dilestarikan sebagai sebuah warisan biodiversitas hutan tropis purba yang jika dikelola akan memberikan manfaat ekonomi dan manfaat bagi pengembangan ilmu Paleobotani.
Masyarakat Gorontalo yang terkenal akan keramahan dan kebersihannya menjadi modal dasar bagi pengembangan wisata diwilayah tersebut. Ditambah lagi keberadaan MPFK  yang diharapkan jadi embrio wisata ilmiah di wilayah Gorontalo. Namun MPFK masih memerlukan polesan ilmiah guna menjadi wisata ilmiah. Penataan koleksi fosil kayu yang masih ala kadarnya masih perlu penambahan informasi terkait jenis, usia, sebarannya dan tersedianya alat identifikasi kayu otomatis (AIKO) sehingga para pengunjung akan bertambah pengetahuannya. Sentuhan ilmiah, promosi dan pendampingan masih diperlukan oleh museum fosil kayu agar museum tersebut menjadi xylarium fosil kayu sebagai destinasi wisata ilmiah andalan di Gorontalo (RAH).



0 comments: