Gorontalo, provinsi yang terkenal
akan keindahan danau Limboto-nya, ternyata menyimpan potensi wisata ilmiah yang
terpendam, yakni wisata fosil kayu.
Deretan pegunungan karst sepanjang garis pantai di Teluk Tomini semakin
menambah eksotisme panorama Gorontalo. Siapa sangka bahwa danau Limboto, pegunungan karst dan fosil kayu memiliki ikatan sejarah yang panjang dan
terkait satu dengan lainnya. Tim FORDA Ekspedisi berkesempatan untuk melacak
sejarah tersebut dan menuliskan kembali cerita dibalik fosil kayu Gorontalo.
Dimulai dengan kunjungan ke Museum Pusat Fosil Kayu Indonesi
(MPFK) tepatnya berada di Desa Bongo yang terletak di Kecamatan Batudaa Pantai,
Kabupaten Gorontalo. Tim bertemu Hasan selaku pengelola museum tersebut. Dalam
perbincangan hangat tersebut, Hasan menuturkan bahwa diperkirakan dizaman
purba, danau Limboto dahulunya merupakan sebuah kubah besar gunung api purba
yang meletus secara dasyatnya dan material vulkanisnya menyelimuti dan mengubur
pepohonan purba. Batang pepohonan purba yang tertutup abu vulkanis halus (terpa) tersebut mengalami proses
pengerasan sampai menjadi fosil dalam kurun waktu jutaan tahun. Penuturannya
tersebut mengutip hasil kajian ilmiah yang dilakukan oleh tim peneliti
Universitas Negeri Gorontalo beberapa tahun silam.
Melanjutkan penuturannya,
inisiatif pembentukan MPFK
datang secara spontan. Kala itu, (alm) Yosep Tahir Ma'ruf yang merupakan keturunan bangsawan
kerajaan Bubohu dan pengasuh pondok pesantren alam berinisiatif untuk
mempercantik lingkungan pesantren dengan aneka ragam bebatuan dengan bantuan
Hasan. Suatu ketika, Hasan mengumpulkan dan menunjukkan 11 kepingan batu dengan
tekstur kayu yang diperolehnya dari daerah sekitar Sungai Tohupo dan serta merta (alm)
Yosep Tahir Ma'ruf tertarik untuk mengumpulkan batu palapa
(Istilah lokal untuk fosil kayu) tersebut. Selama kurun waktu 2013-2014,
beragam jenis dan ukuran fosil kayu dikumpulkan dari sepanjang aliran sungai
tersebut dan ladang jagung disekitarnya. Sebenarnya, penemuan fosil kayu
tersebut berawal dari maraknya aktivitas penambangan galian C. Menggunakan alat
berat berupa escavator, pada penambang menggali pasir dan batu koral dan tidak
sengaja fosil kayu tersebut ikut tergali. Pada saat itu, bebatuan kayu tersebut
disisihkan dan dibiarkan teronggok begitu saja sampai Hasan berinisiatif
mengumpulkannya sebagai koleksi museum kayu seperti saat ini. Tak kurang dari
5,000 buah fosil kayu beragam jenis dan ukuran menghiasi petak-petak museum
yang memiliki luas tak kurang dari 4 hektar tersebut.
Dibuka secara resmi pada
2015, MPFK tersebut semakin menarik perhatian bagi
pengunjung. Tak kurang dari 3,000 orang per-bulannya berkunjung ke museum
tersebut. Uniknya, setiap pengunjung diwajibkan memasukkan kelereng yang usut
punya usut berfungsi sebagai alat penghitung jumlah pengunjung. Dan lagi pihak
pengelola yang merupakan keluarga besar Bapak Yosep, tidak menarik bea tiket
masuk sepeser pun. Namun bagi para pengunjung yang sukarela membantu biaya
perawatan museum dapat memasukkan berapapun nominal sesuai kemampuannya kedalam
kotak sumbangan. Tak hanya wisatawan domestik sana, wisatawan mancanegara
berasal dari Eropa dan Amerika pun
pernah berkunjung ke museum tersebut.
Tak hanya fosil kayu yang
menjadi daya tarik bagi para pengunjung di wisata religi tersebut. Beberapa
tahun terakhir, pihak pengelola melakukan beberapa acara penunjang berupa
festival Walima dan pentas seni tarian. Festival tersebut merupakan agenda
tahunan yang bertepatan dengan perayaan mauled nabi. Beragam kegiatan berupa
karnaval, bazaar dan pentas tarian
dilaksanakan selama festival berlangsung. Pada karnaval, para peserta akan
mengarak gunungan yang berisi kue-kue mengelilingi kampung dan selanjutnya
gunungan kue tersebut akan diperebutkan oleh para pengunjung. Disitulah
terletak keseruan pada karnaval tersebut.
Kembali lagi ke pembahasan
fosil kayu, pada umumnya masyarakat percaya bahwa benda-benda purba memiliki
nilai magis. Kearifan local tersebut memberikan dampak positif terhadap
keberadaan fosil kayu dialam. Boleh percaya dan boleh tidak, Hasan menuturkan
bahwa beberapa fosil kayu koleksi museumnya memiliki aura mistis. Bahkan
beberapa pengunjung yang memiliki indera keenam mampu mendeteksi dan
berkomunikasi dengan mahluk astral pada beberapa fosil kayu koleksi museum
tersebut. Terlepas dari cerita mistis tersebut, fosil kayu layak untuk dilestarikan
sebagai sebuah warisan biodiversitas hutan tropis purba yang jika dikelola akan
memberikan manfaat ekonomi dan manfaat bagi pengembangan ilmu Paleobotani.
Masyarakat Gorontalo yang terkenal
akan keramahan dan kebersihannya menjadi modal dasar bagi pengembangan wisata
diwilayah tersebut. Ditambah lagi keberadaan MPFK yang diharapkan jadi embrio wisata ilmiah di
wilayah Gorontalo. Namun MPFK masih memerlukan polesan
ilmiah guna menjadi wisata ilmiah. Penataan koleksi fosil kayu yang masih ala
kadarnya masih perlu penambahan informasi terkait jenis, usia, sebarannya dan
tersedianya alat identifikasi kayu otomatis (AIKO) sehingga para pengunjung akan
bertambah pengetahuannya. Sentuhan ilmiah, promosi dan pendampingan masih
diperlukan oleh museum fosil kayu agar museum tersebut menjadi xylarium fosil
kayu sebagai destinasi wisata ilmiah andalan di Gorontalo (RAH).
0 comments:
Post a Comment