Museum Fosil
Kayu mungkin masih terdengar asing ditelinga kita, namun siapa sangka bahwa nun
jauh di Gorontalo terdapat sebuah museum fosil kayu yang menyimpan hampir 5,000
buah fosil kayu dengan berbagai ukuran. Yang mengagumkan lagi, museum tersebut
berdiri atas inisiatif tokoh masyarakat desa Bobohu-Gorontalo bernama (Alm)
Yosep Tajudin. Walaupun berumur relatif sangat muda, museum yang berdiri pada
tahun 2015 tersebut namun batu Palapa, sebutan masyarakat lokal Gorontalo
menyimpan sejarah panjang proses pembentukan fosil kayu asal Gorontalo. Beruntung
penulis bertemu dengan Bapak Hasan, pengelola museum tersebut dan kami
berkesempatan menggali informasi secara mendalam tentangr sejarah pendirian
museum tersebut serta beragam hal koleksi kayu fosil tersebut.
Mengawali
penuturannya, sebagian besar koleksi fosil kayu Gorontalo berasal dari
sepanjang aliran sungai Tohupo, Kecamatan Bogumene, Kabupaten Gorontalo.
Diantara koleksi kayu fosil juga berasal
dari ladang penduduk disekitar wilayah tersebut. Inisiatif awal pengumpulan
koleksi didasari atas keingintahuan dan ketertarikan akan kekhasan corak batu
yang setelah ditelusuri dan diteliti merupakan fosil kayu. Awalnya terkumpul 11
keping pecahan fosil kayu pada rentang
tahun 2013-2014 dan kepingan tersebut ditunjukkan kepada Bapak Yosep Tajudin
selaku pengasuh pondok pesantren alam di desa Bobuho. Tak disangka sang
pengasuh pesantren tersebut mendukung penuh usahanya tersebut.
Melanjutkan penuturannya, ternyata fosil kayu
menyibak informasi terpendam seputar sejarah geofisik wilayah Gorontalo. Pada
proses eskavasinya, beberapa fosil kayu masih berselimutkan debu halus vulkanis (istilah: terva). Diperkirakan
bahwa asal debu tersebut berasal dari gunung api purba yang ketika meletus
kubahnya saat ini menjadi Danau Limboto. Setelah sekian juta tahun terpendam
dalam lapisan vulkanis tersebut, batang pepohonan purba tersebut berubah
teksturnya mengeras layaknya bebatuan. Proses penemuan fosil kayu di aliran
sungai Tohupo berawal dari maraknya penambangan galian C didaerah tersebut.
Setelah dilakukan penyaringan, fosil kayu tersebut dianggap tidak berguna dan
teronggok begitu saja sampai diketemukan dan dikumpulkan oleh Bapak Hasan.
Jerih payah dan kerja kerasnya pun berbuah
manis. Sampai saat ini, setidaknya sebanyak 3,000 orang berkunjung ke museum
fosil kayu asal Gorontalo guna menambah pengetahuan maupun sekedar berwisata.
Tak hanya wisatawan domestic, museum tersebut turut dikunjungi oleh wisatawan
asing yang berasal dari Italia, Amerika, Perancis dan terbanyak berasal dari
Belanda. Walaupun pengelola museum tidak mengenakan tiket masuk, namun
pengunjung secara sukarela membantu biaya perawatannya. Uniknya pengunjung
wajib memasukkan kelereng ke tempat tersedia sebagai penanda kunjungan. Saat
ini museum tersebut dikelola oleh
keluarga besar Bapak Yoseph Tajudin. Harapannya kedepan, pihak pengelola
ingin bersinergi dengan berbagai pihak guna mengenalkan museum tersebut go
internasional melalui pengembangan wisata iilmiah fosil kayu region wallacea (RAH)
0 comments:
Post a Comment