Beberapa pekan lalu beredar
berita tentang rencana Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) meluncurkan
buku elekronik (e-book). Namun peluncuran e-book tersebut urung dilaksanakan
tanggal 2 Agustus 2008 dan diundur sampai tanggal 20 Agustus. Tentunya akan
muncul sebuah pertanyaan dibenak kita sebagai orang awam : Apa e-book itu ?
Realistiskah penggunaan E-book sebagai bahan ajar?. Kebijakan Depdiknas merupakan
tindak lanjut PERMENDIKNAS No. 2/ 2008 tentang Perbukuan yakni : Pemerintah
Pusat dan Daerah dapat membeli hak cipta buku dari pemiliknya. Semua orang
berhak mencetak, memfotokopi, mengalihmediakan dan atau memperdagangkan buku
yang hak ciptanya telah dibeli pemerintah. Sedangkan penggunaan E-book sebagai
media bahan ajar berdasarkan fakta bahwa selama ini telah terjadi praktik-praktik
kolusi antara pihak sekolah dan penerbit dalam memasarkan buku disekolah. Hal
tersebut dikemukakan Nadlifah Hafidz (2008) yang menyatakan bahwa: ”Keuletan
sekolah berbisnis buku ini membuahkan kompensasi dari percetakan berupa mobil
misalnya, yang dikreditkan oleh penerbit hingga tiga tahun (atau sesuai kesepakatan) serta
”menggaransikan” muridnya untuk membeli lembar kerja siswa (LKS) dipercetakan
itu”. Selain itu, program pendidikan gratis tidak diiringi subsidi bagi buku
pelajaran. Panjangnya rantai distribusi
serta ketiadaan subsidi buku pelajaran menyebabkan tingginya harga buku
pelajaran. Padahal buku merupakan sumber pembelajaran.
Kondisi
diatas melandasi Depdiknas berencana membeli
289 hak cipta buku-buku pelajaran berbagai jenjang pendidikan dan mengalih
mediakan kedalam bentuk digital serta menyebarluaskan melalui internet. ”E-book
merupakan versi electronik buku tercetak traditional
yang dapat dibaca menggunakan personal computer atau menggunakan peralatan yang
didisain khusus untuk membaca e-books. Peralatan
tersebut bisa berupa tablet type, hand held device (PDA) atau eBook reader”
(Prita Wulandari: 2006). Lazimnya, e-book berformat Portable Document Format (*.pdf) namun tidak menutup format lain, seperti : Image Files merupakan eBook disimpan
dalam rangkaian gambar halaman per halaman; Post Script (*.ps); Microsoft
(*.lit) dibaca dengan MsReader; Mobipocket (*.prc); HTML (*.html, *.htm); Compressed
HTML (*.chm). Pemilihan e-book sebagai bahan ajar telah mempertimbangkan keunggulannya
antara lain: Ukuran fisiknya kecil namun
mampu menyimpan banyak buku dalam satu satu harddisk, CD-ROM, DVD, dan CD;
e-book mudah dibawa da, tidak mudah lapuk dan format digital tersebut tidak
mudah rusak serta mudah diduplikasi. Selanjutnya
e-book yang berisi buku teks tersebut dapat didownload melalui situs beralamat www.Bse-depdiknas.co.id
Penggunaan e-book sebagai media
bahan ajar merupakan sebuah langkah maju. Namun
pelaksanaan kebijakan tersebut terkesan ’dipaksakan’ untuk saat ini. Kenapa ?
Karena pemerintah seolah menutup mata terhadap realitas pendidikan dilapangan.
Indonesia bukan hanya Jakarta, Surabaya dan kota-kota besar lainnya yang
dimanjakan oleh berbagai fasilitas. Akan tetapi Indonesia terbentang antara Sabang
sampai Merauke yang kondisi geografis; kondisi sarana pendidikannya berbeda serta
kondisi guru dan para siswanya yang berkemampuan beragam. Sedangkan e-book
merupakan media yang padat teknologi. Adapun tantangan yang dihadapi jika
penggunaan e-book dipaksakan sebagai bahan ajar untuk saat ini adalah :
1.
Aspek Sumber
daya Manusia ( MAN ) : Tingkat melek internet para guru di Indonesia yang hanya
mencapai 10 % - 15 % ( Media Indonesia, 27 Juli 2008 ). Hal tersebut akan menghambat
implementasi kebijakan e-book. Apalagi para guru telah terbiasa menggunakan
pedagogik konvensional dengan mengesampingkan alat bantu pembelajaran. Sedangkan
siswa yang terbiasa dengan pengajaran konvensional akan tumbuh budaya ‘Yess
Man’. Karena guru adalah sumber pembelajaran yang tidak terbantahkan.
Padahal guru dan murid dituntut bersikap kritis, kreatif dan inovatif dalam
mencari sumber-sumber pembelajaran di era digital saat ini.
2.
Aspek Sarana
dan Prasarana ( MACHINE ): Walaupun kurikulum pendidikan Indonesia sama antara daerah
satu dengan lainnya. Namun yang membedakannya adalah fasilitas penunjang
pendidikan. Implementasi kebijakan e-book tidak akan menemui kendala berarti
diwilayah Indonesia Barat karena berbagai fasilitas seperti:: Jaringan
internet, hardware, software dan brainware nya memadai. Hal tersebut terjadi
sebaliknya di wilayah Indonesia Timur dengan segala keterbatasan yang
dimilikinya. Idealnya penggunaan e-book sebagai bahan ajar harus
memperhitungkan kelengkapan antara lain: ketersediaan laboratorium komputer/
multi media; jaringan internet; jaringan LAN; LCD/ projektor serta rasio antara
komputer dengan siswa berbanding 1: 1. Selain itu infrastruktur Jardiknas belum
menjangkau seluruh sekolah berbagai jenjang di Indonesia serta penggunaanya rentan
mengalami ’Bottle neck’ (gangguan jaringan akibat pengguna mengakses
secara serentak pada suatu situs).
3. Aspek Metode Distibusinya (
METHOD ) : Penggunaan E-book di klaim pemerintah mampu menurunkan ’biaya
tinggi’ pendidikan. Karena mampu memangkas rantai distribusi. Jadi pemerintah
yang telah membeli hak cipta akan mengalihmediakan buku tersebut dan
meng-upload-nya di situs Jardiknas. Sedangkan guru dan siswa yang membutuhkan
buku tersebut tinggal mengunduhnya dari situs tersebut. Sekilas hal tersebut
praktis dan hemat biaya. Namun jika dicermati maka biaya yang akan dikeluarkan
lebih besar. Anggap saja seorang siswa ingin mendownload buku maka ia harus
mengeluarkan ongkos untuk sewa Warnet Rp. 6.000,-; ongkos transportasi dalam
kota pp Rp. 4.000,-; Beli Compact Disk untuk menyimpan Rp. 5.000,- dan ongkos
memprintkan perlembarnya Rp. 500,-. Dari item-item pengeluaran tersebut maka anda
dapat mengkalkulasikannya sendiri.
Hemat kami, kebijakan e-book merupakan
program yang prematur yang rentan gagal. Karena program tersebut mengasumsikan
bahwa kondisi geografis, sarana parasara pendidikan, kemampuan guru dan murid
serta kemampuan ekonomi wali murid diseluruh Indonesia adalah SAMA. Sehingga
kesan sentralisasi mendominasi kebijakan tersebut. Namun ibarat nasi telah
menjadi bubur, kebijakan tersebut akan segera terealisasi. Untuk menilai apakah
kebijakan tersebut akan sukses atau gagal maka kita tunggu tanggal mainnya.
Namun ada beberapa sumbang saran yang hendak disampaikan sebagai bahan
pertimbangan. Seiring dengan peluncuran e-book maka hendaknya Depdiknas melakukan
sosialisasi dan pelatihan Teknologi Informasi bagi guru dan murid. Pada fase
awal tersebut dapat dicari kendala-kendala yang dihadapi oleh para pengguna
e-book dan selanjutnya kendala tersebut dijadikan evaluasi sebagai bahan
perbaikan. Selanjutnya methode pendistibusiannya dilakukan secara desentralisai
menyesuaikan karakteristik suatu daerah. Teknisnya Depdiknas tetap meng-upload
materi buku teks pada situs Bse-depdiknas.co.id. Sedangkan pilihan
pendistribusiannya diserahkan Diknas daerah. Diknas daerah dapat mendownload
materi buku teks dan mencetaknya serta mendistibusikannya keseluruh jenjang
pendidikan yang berada dibawah pembinaannya. Dan biaya pencetakan dari format
e-book ke bentuk cetak dapat dibebankan pada APBD daerah masing-masing. Semoga
masukan kami dapat bermanfaat. Sekian.
0 comments:
Post a Comment