Sebagian
besar wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT)
berupa kepulauan yang terdiri dari 1.192 pulau, 246 pulau diantaranya sudah
mempunyai nama dan sisanya sampai saat ini belum mempunyai nama. Diantara 246
pulau yang sudah bernama terdapat 4 pulau besar: Flores, Sumba, Timor dan Alor
(FLOBAMORA). Kapal Laut masih menjadi
tulang punggung sarana transportasi bagi penduduk di wilayah kepulauan. Sarana
transportasi ini tetap diminati karena ongkosnya yang terjangkau serta daya
muatnya yang lebih besar. Sehingga para pedagang maupun pelajar memanfaatkannya
untuk menunjang mobilitasnya dari daerah ke Kupang begitupun sebaliknya ataupun
antar pulau. Walaupun sarana transportasi laut relatif lancar. Ironisnya tingkat
buta informasi (Illiteracy rate) sebagian
besar penduduk NTT khususnya yang tinggal di wilayah kepulauan mencapai 15.9
persen pada tahun 2002. (www.smeru.or.id;
10/3/2008) .
Terlebih
NTT merupakan 10 kantong buta huruf di Indonesia. Data United Nation Development Program (UNDP) dalam Human Development
Report 2000 menyebutkan bahwa angka
melek huruf orang dewasa di Indonesia mencapai 65,5 persen. Lembaga tersebut menjadikan angka buta huruf
dewasa sebagai suatu barometer dalam mengukur kualitas suatu bangsa.
Tinggi rendahnya angka buta huruf akan menentukan pula tinggi rendahnya Indeks
Pembangunan Manusia bangsa itu. Melihat beberapa hasil studi di atas dan
laporan UNDP maka Athaillah Baderi (2005) menyimpulan (hipotesis) bahwa “… Tingginya angka buta
huruf dewasa (adult illiteracy rate)
di Indonesia adalah akibat membaca belum menjadi kebutuhan hidup dan belum
menjadi budaya bangsa”. Mengingat membaca merupakan suatu bentuk kegiatan
budaya menurut H.A.R Tilaar (1999 : 381) maka untuk mengubah perilaku
masyarakat gemar membaca membutuhkan suatu perubahan budaya atau perubahan
tingkah laku dari anggota masyarakat kita. Mengadakan perubahan budaya
masyarakat memerlukan suatu proses dan waktu panjang sekitar satu atau dua
generasi, tergantung dari “political will pemerintah dan masyarakat“ Ada pun
ukuran waktu sebuah generasi adalah berkisar sekitar 15 – 25 tahun.
Pentingnya
membaca sebagai sarana untuk merubah nasib karena membaca menurut Gleen Doman
(1991 : 19) dalam How to Teach Your Baby to Read
menyatakan: ‘ Membaca merupakan salah satu fungsi yang paling penting
dalam hidup. Semua proses belajar didasarkan pada kemampuan membaca.
Selanjutnya melalui budaya masyarakat membaca kita akan melangkah menuju masyarakat
belajar (learning society)’.
Berangkat dari terwujudnya masyarakat belajar (learning society) maka akan mencapai bangsa yang cerdas (educated nation) sesuai dengan amanat
Undang-Undang Dasar 1945 menuju masyarakat Madani (Civil Society).
KONSEP PERPUSTAKAAN APUNG.
Perpustakaan
Apung (meminjam istilah dari Muhidin M.Dahlan) merupakan variasi dari
perpustakaan keliling. Sulistyo-Basuki dalam Pengantar Ilmu Perpustakaan (1990)
mendefinisikannya sebagai perpustakaan yang bergerak dari satu tempat ketempat
lain dengan menggunakan kendaraan dan membawa bahan pustaka serta memberikan
layanan jasa perpustakaan kepada pengguna di daerah yang tidak terjangkau oleh
perpustakaan umum/ menetap. Karena media-nya menggunakan perahu dan sasaran
penggunanya adalah pengguna jasa kelautan serta penduduk didaerah pesisir yang
terpencil maka layanan tersebut disebut sebagai Perpustakaan Apung. Penyelenggaraan
Perpustakaan Apung bertujuan :
1.) Meratakan
layanan informasi dan bacaan kepada masyarakat sampai kedaerah terpencil yang
belum/ tidak memungkinkan adanya perpustakaan permanen.
2.) Membantu
perpustakaan umum dan mengembangkan pendidikan non formal kepada publik.
3.) Memperkenalkan
buku-buku dan bahan pustaka lainnya kepada publik.
4.) Memperkenalkan
jasa perpustakaan kepada publik.
5.) Meningkatkan
minat baca dan mengembangkan cinta buku pada masyarakat.
6.) Mengadakan
kerjasama dengan lembaga masyarakat sosial, pendidikan dan pemerintah daerah
dalam meningkatakan intelektual. (Perpustakaan Nasional: 1992)
Mungkin Perpustakaan
Apung menjadi hal yang muluk-muluk ditengah keterbatasan anggaran perpustakaan.
Pembelian kapal untuk perpustakaan apung akan membebani anggaran perpustakaan.
Namun hal tersebut dapat disiasati dengan bekerjasama dengan pihak terkait salah
satunya adalah Pelayaran Nasional Indonesia (PELNI). BUMN pelayaran ini
mempunyai armada laut yang besar dan mampu menjangkau pulau-pulau terpencil
melalui pelayaran perintis. Tak sulit bagi PELNI untuk menyisihkan salah satu
ruangan kapalnya untuk ruang perpustakaan dalam kapal. Peluang tersebut dapat
dimanfaatkan oleh Perpustakaan untuk menyelenggarakan Perpustakaan Apung.
Sinergi keduanya akan saling memberikan keuntungan. Keberadaan perpustakaan
apung tersebut akan memberikan keuntungan bagi PELNI berupa peningkatan
kualitas layanan bagi penumpangnya. Selama ini perjalanan laut merupakan
perjalanan yang membosankan. Selama berhari-hari terapung dilaut tanpa ada
aktivitas produktif yang dapat dilakukan. Kalaupun ada fasilitas hiburan berupa
bioskop maupun karaoke dalam kapal, itupun akan menambah pengeluaran bagi para
penumpang. Keberadaan ruangan
perpustakaan di kapal dapat menjadi alternatif bagi penumpang untuk mendapatkan
hiburan sekaligus informasi dengan membaca. Hendaknya jenis koleksi dalam tidak
monoton pada koleksi buku saja namun meliputi koleksi audio visual bahkan
fasilitas internet. Hal tersebut semata-mata untuk memberikan pilihan bagi para
pengguna Perpustakan Apung untuk mengakses informasi yang disukai serta
memancing minat mereka untuk tetap berkunjung pada perpustakaan apung baik pada
saat kapal bersandar maupun berlayar. Alangkah indahnya membayangkan apabila pengguna
jasa transportasi laut maupun penduduk pesisir di NTT dapat menikmati fasilitas
Perpustakaan Apung. Bentangan samudera yang memisahkan daratan Flores, Sumba,
Timor, Alor yang membentuk sekat-sekat informasi dapat teratasi dengan
kehadiran Perpustakaan Apung. Sehingga mereka yang tinggal didaerah pesisir maupun
pengguna jasa transportasi laut dapat tetap menggunakan waktu mereka secara
produktif serta terbebas dari ‘Buta
Informasi’. Sekian.
0 comments:
Post a Comment