Carpe Diem” yang bermakna : “Sesuatu yang tertulis tetap akan dikenang”.
Tulisan merupakan jembatan antara masa
lalu dan saat ini. Tak mengherankan jika pemikiran Karl Max; William
Shakespeare maupun Ir. Sukarno masih hidup, walaupun jasad mereka telah mati. Mereka
hadir ketengah-tengah kita melalui buku Das Kapital; Roman Romeo dan Juliet serta
Di Bawah Bendera Revolusi. Tulisan dapat menggambarkan tingkat peradapan suatu
bangsa. Melalui tulisan paku (hieroglip) yang tertulis diatas lempeng-lempeng
tanah maka kita mengetahui kecanggihan arsitektur bangsa Sumeria dengan taman
gantungnya. Dan berkat tulisannya, Carl Berstein dan Bob B.Woodland memenangkan
Pulitzer karena mereka berhasil membongkar skandal besar water gate. Skandal
yang memaksa Presiden Nixon turun dari jabatannya.
Menulis
bukanlah monopoli kalangan ilmuwan, cendekiawan maupun wartawan. Hanya saja mereka telah terlatih menuangkan ide yang mereka miliki kedalam
tulisan. Pada dasarnya, semua orang bisa menulis karena baca tulis merupakan
kemampuan dasar yang diperoleh dari bangku sekolah. Namun ketrampilan menulis
masyarakat awam kurang terasah sehingga terkesan menulis sebagai aktivitas
ekslusif. Hal tersebut memposisikan menulis sebagai menara gading. Kurang
berkembangnya kegiatan kepenulisan disebabkan oleh faktor sebagai berikut:
1. Rendahnya motivasi diri untuk menulis seringkali dianggap sebagai pemicunya.
Hal tersebut muncul akibat mispersepsi terhadap dunia kepenulisan. Selama ini
masyarakat menganggap bahwa menulis belum bisa sebagai gantungan hidup. Selain
itu, profesi penulis masih kalah pamor dari profesi lainnya. Krisis ekonomi
yang mendera Indonesia saat ini telah memalingkan orientasi masyarakat awam
untuk mengejar hal-hal bersifat materialisme. Jika ditelisik lebih dalam maka
menulis merupakan solusi jitu ditengah himpitan ekonomi saat ini. Menjamurnya
berbagai media massa dan masyarakat yang haus akan hiburan merupakan dampak
dari reformasi dan krisi ekonomi yang berkepanjangan. Dan menulis dapat
memanfaatkan dua kondisi tersebut sebagai peluang usaha. Bermodalkan ide
kreatif dan orisinil maka seseorang dapat menuangkan idenya kedalam novel,
kolumnis maupun naskah skenario (scriptwriter).
Siapa sangka
J.K Rowling berhasil naik strata sosialnya menjadi milyader berkat novel Harry
Potter yang laris dipasaran. Ataupun Andrea Hirata dengan novel Laskar
Pelanginya yang berhasil melambungkan namanya. Serta Fenomena Ayat-ayat cinta
karya Habiburahman yang menyebabkan dia harus rela menerima 1,3 milyar hasil
royalti novelnya tiap semesternya.
2.
Rendahnya tingkat melek
(literasi) informasi. Budaya tutur yang mengakar
menyebabkan masyarakat awam cenderung menyukai komunikasi lisan. Namun pola
komunikasi ini mempunyai kelemahan yakni: informasinya bias dan terbatas
jangkauannya. Pola komunikasi terkait erat dengan kegiatan menulis. Karena
aktivitas ini memerlukan informasi yang valid, cepat dan tepat. Seiring
perkembangan zaman terjadi pergeseran pola komunikasi tradisional ke pola
komunikasi modern yang memadukan teknologi komunikasi dan informasi (ICT). Kondisi
tersebut jika tidak dipersiapkan secara matang akan memunculkan masyarakat yang
gagap teknologi (gaptek). Dan masyarakat gaptek merupakan cerminan dari
rendahnya tingkat literasi informasi. Penulis atau calon penulis mutlak
menguasai literasi informasi karena hal ini terkait dengan ketrampilan dan kemampuan berkomunikasi dan menggunakan
berbagai media teknologi informasi.
3.
Sikap mudah menyerah.
Pesimisme seringkali menghantui calon penulis ketika mengirimkan naskah hasil
karya mereka ke media. Apakah naskah yang mereka kirimkan layak muat atau sebaliknya
berakhir di bak sampah ? sebuah pertanyaan yang seringkali muncul dibenak calon
penulis. Penolakan sah-sah saja terjadi karena hal itu merupakan hak
prerogratif editor ataupun redaktur. Editor dan redaktur menjadi penentu nasib
naskah karena mereka berwenang menilai kelayakan sebuah naskah berdasarkan
kaidah-kaidah penulisan yang baik dan kesesuaian naskah dengan jenis media yang
mereka kelola. Penolakan jangan sampai menjadi trauma bagi calon penulis.
Hendaknya penolakan dijadikan sebagai pelecut untuk menghasilkan karya yang
lebih berkualitas sembari mengatur strategi menahlukkan editor.
4. Kondisi
politik yang tidak kondusif akan menghambat tradisi menulis. Berdasarkan
pengalaman 62 tahun kemerdekaan, hampir separuhnya kebebasan berkarya dan
berekspresi kita terpasung. Pola kepemimpinan masa lampau yang represif
terhadap media telah memakan korban (baca: pembredelan) beberapa media dengan
mencabut SIUP-nya. Hal tersebut terjadi karena penulisan media tersebut dianggap
mengancam pemerintah. Sensorship juga diberlakukan bagi karya-karya yang tidak
sesuai pola kepeminpinan saat itu. Pramudya Ananta Toer menjadi salah seorang
korbannya. Ironisnya karya-karyanya justru dikenal diluar negeri daripada dalam
negeri saat rezim Suharto berkuasa. Jika pembredelan dan sensorship dilakukan
berdasar subjektivitas pemerintah belaka maka hal itu akan mengekang
kreativitas para penulis dan calon penulis.
Keempat
aspek diatas merupakan faktor-faktor mendasar yang disinyalir seringkali
menghambat berkembangnya kegiatan kepenulisan.
Bagaimana
membiasakan diri menulis. ?
Menulis merupakan sebuah ketrampilan. Dia ibarat pisau yang akan semakin
tajam jika diasah. Tradisi menulis dapat berawal dari pembiasaan individu yang
dilakukan secara kontinyu. Awali pembiasaan tersebut dengan menulis pengalaman
sehari-hari pada buku harian atau berkorespondesi. Pembiasaan tersebut akan melatih
calon penulis dalam menuangkan ide-ide yang dimilikinya. Biasakanlah membaca
atau berdiskusi untuk memperkaya wawasan. Omong kosong jika seseorang mengaku
bisa menulis tanpa membaca. Kedua hal tersebut ibarat dua sisi mata uang.
Membaca merupakan sarana efektif untuk mengakses informasi karena informasi dari membaca lebih mudah disimpan
otak daripada informasi yang bersifat audio. Sedangkan untuk menggali ide-ide
kreatif maka kita dapat bergabung dengan kelompok menulis seperti : Forum
Lingkar Pena (FLP), Kelompok Menulis di Koran (KMK) Ledalero maupun Rumah Poetica.
Dalam kelompok tersebut kita akan dilatih mengkritisi sesuatu hal melalui
diskusi. Proses diskusi tersebut akan merangsang kita berpikir kreatif.
Selanjutnya adalah melatih intuisi menulis dengan mengirimkan naskah ke media
atau mengikuti berbagai lomba penulisan. Karena semakin sering kita mengirimkan
naskah maka semakin tinggi pula jam terbang kita dalam dunia kepenulisan. Dari
situlah kita dapat menentukan tingkat kemampuan menulis serta mengidentifikasi
spesilaisasi kepenulisan. Karena intuisi menulis terkait dengan kemampuan kita
mengendus tema-tema yang lagi hangat untuk dibahas, gaya kepenulisan serta
tehnik-tehnik menulis. Last but not least adalah membangun mentalitas pantang
menyerah. Seperti dikemukakan diatas bahwa menulis ditentukan oleh
sembilanpuluh sembilan persen usaha dan satu persen bakat. Jadi apabila saat
ini kita belum mampu menulis maka tidak ada salahnya untuk memulai menulis dan
mengirimkan tulisan anda ke berbagai media. Apapun hasilnya maka hal itu harus
menjadikan kita terlecut untuk menghasilkan karya-karya yang bermutu. Jadikan
menulis sebagai tradisi yang mengangkat harkat bangsa ini. Karena kita telah
bosan dicap sebagai bangsa yang bangkrut ataupun Negara sarang teroris. Sekian.
0 comments:
Post a Comment