Korupsi sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah bangsa ini. Orde
lama, Orde baru maupun Orde Reformasi tak luput dari dosa korupsi para
punggawanya. Tak mengherankan jika selama 63 tahun merdeka, bangsa ini belum
mampu merealisasikan cita-cita para founding
father yang termaktub dalam preambule UUD1945 yakni: mewujudkan
kesejahteraan rakyat Indonesia. Walaupun bangsa ini kaya akan sumber daya alam,
alih-alih kekayaan tersebut untuk mensejahterakan rakyatnya. Namun hasil
kekayaan alam tersebut diselewengkan segelintir oknum elite politik untuk
menambah pundi-pundi kekayaannya. Lihat saja, kasus alih fungsi kawasan hutan di
Bintan yang menyeret Azirwan (Sekda Bintan) beserta beberapa oknum anggota DPR
RI yang dijerat KPK sebagai tersangka korupsi.
Korupsi merupakan kejahatan kemanusiaan. Karena telah menyebabkan jatuhnya korban
secara massal dari kalangan tak berdosa. Bayangkan jika uang yang dikorupsi
oleh Azirwan sejumlah Singapore$ 700.000,-(Rp. 700 juta) ataupun utang yang ”dikemplang” oleh Sukanto, Bos Grup Raja
Garuda Mas, pada sejumlah bank senilai US$ 1,4 miliar (Rp 13 triliun). Jika
uang yang dikorupsi tersebut digunakan pada bidang pendidikan dan kesehatan maka
berapa banyak sekolah yang dapat dibangun ?, berapa banyak anak korban busung lapar yang dapat diselamatkan?.
Selain itu, koruptor merupakan pengkhianat bagi bangsa ini. Karena dia
menyalahgunakan kekuasaan dan wewenangnya untuk memperkaya diri dan
golongannya. Tak mengherankan jika Olusegun Obasanjo, negarawan dari Nigeria
mengatakan bahwa : ”Korupsi merupakan
kutuk terbesar dalam masyarakat abad ini” (Tempo; 21 Maret 2007).
Hipothesis penyebab korupsi adalah lemahnya mentalitas yang melunturkan
kejujuran. Lemahnya mentalitas menyebabkan para opportunis mudah terjerat
godaan kapitalisme dan materialisme. Sehingga mereka bermetamorfosis sebagai
koruptor. Paham kapitalis dan materialis mudah mengkontaminasi anak pribumi
karena bangsa ini telah kehilangan jati dirinya, yakni: kebersahajaan dan
keteladanan. Selain itu, dendam sejarah sebagai bangsa yang terjajah 350 tahun
yang hidup dengan penuh kesengsaraan dan kemiskinan tidak mudah terhapus begitu
saja. Kedua paham tersebut semakin menginternalisasi mental bangsa ini dengan
menyimbolkan kesuksesan dan kejayaan dengan hal-hal berbau materialis, seperti:
3 TA (harTA; waniTA dan tahTA). Tak pelak kondisi tersebut membuka peluang selebar-lebarnya
bagi para opportunis yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Dan cara instan untuk kaya adalah KORUPSI.!
Korupsi
dapat dieliminir dengan mengombinasikan metode preventif (pencegahan) dan
kuratif (pengobatan). Kedua metode tersebut
harus dilakukan seiring sejalan. Jika tidak maka usaha pemberantasan korusi
akan tidak efektif. Lihat saja pemerintah yang telah mengesahkan berbagai UU
nomor 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United
Nations Convention Against Corruption, 2003 maupun UU nomor 30 tahun
2002 tentang pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun tidak sedikit
praktik korupsi yang masih berlangsung hingga detik ini. Hal tersebut terjadi
karena pemerintah cenderung menitik beratkan pemberantasan korupsi pada aspek kuratif
tanpa diiringi aspek preventif. Lalu bagaimana wujud nyata dari aspek preventif
pemberantasan korupsi?.
Pembenahan mentalitas merupakan salah satu entitas yang mutlak dilakukan
dalam rangka pencegahan korupsi. Usaha ini hendaknya dilakukan sedini mungkin
untuk membangun moral etik dan akal budi generasi penerus bangsa ini. Mendongeng
merupakan media internalisasi yang efektif kepada anak-anak. Ada sebuah teori belajar sosial dari A Bandura dan RH Wlaters (1963)
mengungkapkan bahwa : ”Manusia belajar bukan saja dari
pengalaman, melainkan dari peniruan” (lingkungan sekitar).” Sedangkan
mendongeng merupakan media tranfer nilai-nilai berupa: perwatakan, penokohan,
alur cerita dari sebuah kisah dongeng. Objek kegiatan ini adalah anak-anak
karena mereka sedang mengalami fase perkembangan baik secara fisiologis maupun
psikologis. Pada fase ini, anak-anak cenderung kritis dan belum terjebak
konflik kepentingan. Kita dapat memanfaatkan fase tersebut untuk merangsang
rasa keingintahuan mereka melalui kisah-kisah dongeng yang mendidik. Ada
beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mendongeng, yakni :
Kita harus selektif memilihkan kisah-kisah yang hendak didongengkan. Sehingga
tujuan kita untuk menanamkan moral dan budi pekerti tercapai. Ada sebuah
anekdot bahwa korupsi tumbuh subur di Indonesia karena nenek moyang kita tidak
selektif mempopulerkan sebuah kisah dongeng. Koruptor-koruptor yang lahir dari
generasi terdahulu kita mungkin melakukan peniruan terhadap tokoh Kancil dalam
kisah Kancil Mencuri Ketimun. Kisah fabel dari pulau Jawa tersebut menceritakan
bahwa Kancil merupakan binatang cerdik dan pandai dihutan. Sayangnya dia
bertabiat buruk suka menyalahgunakan kepandaiannya untuk hal-hal negatif. Suatu
saat dia tertangkap basah mencuri timun oleh petani namun berkat kecerdikannya
dia berhasil lolos. Namun petani tak kurang akal maka dia lalu dia memasang
jebakan. Akhirnya kancil terkena jebakan tersebut dan dikurung oleh petani. Dan
lagi-lagi dia berhasil lolos berkat keliahainnya menipu daya anak petani agar
sudi membebaskannya. Dan pada fase klimaksnya Kancil akhirnya harus rela
meregang nyawanya di lahan pak tani akibat dia memakan jebakan berupa timun
yang telah diolesi racun oleh pak tani. Kisah tersebut merupakan kisah fabel
yang populer pada dekade 50-an di Jawa. Bisa jadi kisah kancil yang cerdik
tersebut menginspirasi sebagian besar koruptor kita untuk menggunakan
kecerdikannya untuk mencuri orang rakyat. Namun anekdot tersebut harus
dibuktikan secara empirik terlebih dahulu.
Mendongeng
dapat dilakukan secara formal maupun informal. Sekolah dapat memfasilitasi
kegiatan mendongeng dengan memasukkannya ke muatan lokal. Kegiatan ini akan
efektif diberlakukan pada jenjang pendidikan dasar dengan pertimbangan bahwa
anak-anak akan menyukai model pedagogik yang bersifat edutainment. Kisah
dongengnya dapat disampaikan melalui pertunjukan panggung boneka. Model ini
akan efektif untuk menyampaikan pesan karena para siswa akan dirangsang
berpikir kritis. Dan panggung boneka yang bersifat interaktif dapat menimbulkan
komunikasi timbal balik antara pendongeng dan pendengarnya. Sedangkan orangtua
dapat menyisihkan waktunya membacakan dongeng kepada anak-anaknya sebelum
tidur. Hal tersebut merupakan cara mendongeng secara informal. Manfaatnya
adalah terjalin hubungan informal antara anak dan orang tua. Selain itu orang
tua dapat menyampaikan nilai-nilai dan mengarahkan pola pikir anak terkait
substansi dongeng yang dibacakan sekaligus menumbuhkan minat baca pada anak. Kesamaan
dari kedua cara tersebut, yakni : Pendongeng bertindak sebagai fasilitator dan
motivator pada proses transfer nilai-nilai (kejujuran dan keteladanan)
tersebut. Pendongeng dituntut tegas dalam menjabarkan perwatakan antagonis dan
protagonis; hikmah/ keteladanan yang dapat diambil dari kisah yang sedang didongengkan
dst. Karena hal tersebut akan membantu anak-anak dalam membedakan hal-hal yang
bersifat hitam dan putih. Diharapkan mendongeng dapat merangsang pembentukan
watak dan karakter anak-anak dalam proses character building. Seyogyanya kita (orangtua dan pendidik) turut
memerangi korupsi dengan membenahi mentalitas anak-anak kita. Dan mendongeng
merupakan sarana efektif mentransformasikan nilai-nilai keteladanan dan
kejujuran. Karena asumsi tersebut bersandar pada teori belajar sosial. Selamat
Mencoba.
0 comments:
Post a Comment