Bangsa
Indonesia adalah bangsa yang religius. Hal tersebut tercermin melalui Sila 1
Pancasila yang mengakui Ketuhanan Yang Maha Esa. Ironisnya, keberagamaan (religiousity) tersebut belum menjamin
terbebasnya bangsa ini dari perilaku menyimpang (baca: korupsi). Dari waktu ke waktu, korupsi di Indonesia
berkembang mencapai taraf yang mengkhawatirkan. Pada tahun 2002, Transparancy
International menempatkan. Indonesia sebagai negara terkorup nomor 4 didunia.
Satu tahun kemudian peringkat Indonesia ”naik” dan berada diurutan 6.
(Tanthowi, Pramono U: 2004). Disadari atau tidak, korupsi berdampak pada
munculnya ekonomi biaya tinggi, kerugian negara serta menurunnya moral budaya.
Sehingga bangsa ini semakin sulit lepas dari jeratan krisis multi dimensi.
Padahal pemerintah
telah membentuk instrumen hukum dalam menangani kasus korupsi, namun usaha tersebut
belum terbukti efektif. Bahkan
pranata hukum yang dibuat berpotensi menjadi ladang korupsi baru. Karena
terjadi kecenderungan, peran hukum sebagai tindakan represif telah diselewengkan
oleh segelintir oknum penegak hukum sehingga kita mengenal istilah KUHP (Kasih Uang Habis
Perkara). Maka perlu dioptimalkan upaya pencegahan dengan memberikan pemahaman kepada
masing-masing individu bahwa korupsi bertentangan dengan ajaran agama. Sebab korupsi merupakan bentuk
dari ketidakjujuran, keserakahan, pencurian dan tindakan yang merugikan orang
lain dan kesemuanya itu bertentangan dengan ajaran agama manapun khususnya
Islam. Dalam Islam dikenal konsep taqwa yakni mentaati perintah dan menjauhi
larangannya. Semakin tinggi derajat ketaqwaan seseorang maka dia akan senantiasa
menjauhi tindakan dosa sebab dia merasa terawasi oleh Tuhan YME. Sehingga hal
tersebut akan membentuk sistem pengawasan internal yang mampu mengidentifikasi
suatu tindakan melanggar ajaran agama atau tidak.
Puasa sebagai salah satu rukun
islam mempunyai peran strategis dalam membentuk pribadi seorang muslim. Hakikat
puasa adalah ibadah melawan hawa nafsu dengan cara bertakwa dan menahan diri dari
tindakan keji. Ditinjau dari segi pendidikan, ibadah ini bertujuan membentuk
insan yang jujur, qanaah (menerima apa
adanya) dan Ikhlas( tanpa pamrih).
Berdasar nilai-nilai yang terkandung
maka ibadah ini relevan bila digunakan sebagai terapi mengikis korupsi.
Penjabaran dari nilai-nilai tersebut sebagai berikut:
a)KEJUJURAN: Puasa mengajarkan kita berlaku
jujur sebab Allah swt Maha Mengawasi. Bisa saja kita mengaku berpuasa kepada
orang lain sedangkan kenyataannya tidak. Namun Allah tidak pernah lengah
mengawasi hamba-hambanya. Merujuk Tafsir QS.2 Al Baqarah ayat 186 yang bermakna:
” Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya
kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan
permohonan orang yang berdoa apabila dia memohon kepada-Ku, maka hendaklah
mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku
agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” Apabila kita telah memahami dan
berpedoman pada ayat diatas maka dalam diri kita akan tertanam rasa takut
berbuat curang kapanpun dan dimanapun kita berada.
b)
QONAAH : Puasa adalah perisai. Maksudnya,
puasa menjaga kita dari segala bentuk penyimpangan, kefasikan, dosa dan
penyakit jiwa. Dan puasa menjadi terapi untuk mengendalikan keserakahan dengan
cara melatih sifat Qanaah. Makna dari Qonaah adalah perasaan menerima berdasar
ketentuan-Nya. Ilustrasinya semisal: Saya merupakan PNS golongan III dan
memahami serta mengamalkan sifat Qanaah maka saya akan berusaha hidup
sewajarnya sesuai kemampuan saya. Bila saya memaksakan diri berpola hidup layaknya
jetset maka mau tidak mau saya akan menyalahgunakan kewenangan jabatan saya
untuk memenuhi pola kehidupan tersebut. Qanaah merupakan alat untuk kontrol
diri dari ”menghalalkan” segala cara
dalam mendapat sesuatu. Merujuk pada tafsir QS.66 At-Tahrim ayat 6 yang
bermakna” Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang
tidak mendurhakai Allah terhadap yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. Kita dituntut berhati-hati
dalam menafkahi keluarga kita sehingga jangan sampai kita memberi makan
keluarga dengan harta yang cara mendapatkannya secara haram (baca: korupsi). Selain itu, para istri
hendaknya tidak menuntut kehidupan melebihi kemampuan suami dalam menafkahinya.
Sebab, dikhawatirkan suami terjerumus menggunakan cara – cara kotor dalam mendapatkan
harta.
c)
IKHLAS: Puasa melatih kita untuk
menumbuhkan sifat ikhlas dalam diri kita. Namun apabila kita berpuasa dan
bermaksud Riya (mendapatkan pamrih
berupa pujian) maka ibadah kita telah sia-sia dihadapan Allah swt. Hal tersebut
merujuk pada hadist dari Abu Hurrairah r.a yang berkata bahwasanya Rasulullah
saw bersabda: ”Allah swt berfirman: ’ Kecuali
puasa, maka sesungguhnya puasa untukku dan aku yang akan membalasnya’...” (HR.Muttafaq Alaih). Apabila sifat Ikhlas telah tertanam kuat
dalam diri kita maka sifat tersebut akan
terbawa dalam kehidupan sehari-hari khususnya lingkungan kerja. Sehingga praktek
pungutan liar dapat dikurangi.
Pada akhirnya, saya mengajak diri
saya sendiri dan saudara-saudara untuk menjadikan ramadhan ini sebagai titik balik
men-terapi diri kita dengan menanamkan sifat jujur, qanaah dan ikhlas sehingga
kita menjadi insan yang amanah dan bertaqwa.
Dan ketaqwaan yang terbina melalui puasa niscaya mampu meminimalkan peluang
terjadinya korupsi. Semoga korupsi dapat dikikis dengan cara mulai dari yang
kecil yakni diri sendiri melalui ibadah puasa. Amien.
0 comments:
Post a Comment