Saturday, 11 April 2020

UU PERPUSTAKAAN DAN “MELEK INFORMASI “ DI NTT


Setelah melalui pembahasan selama 2 tahun. Akhirnya DPR mengesahkan RUU Perpustakaan pada rapat paripurna, Selasa (2/10). Perundangan tersebut mengatur tentang fungsi, tujuan, tugas dan peran perpustakaan dalam membudayakan kebiasaan membaca (www.kompascyber.com). Hal yang melatarbelakangi penyusunan perundangan tersebut adalah rendahnya minat baca. Data dokumen UNDP dalam Human  Development Report 2000 menyebutkan bahwa angka melek huruf orang dewasa di Indonesia hanya 65,5 persen. Rendahnya minat baca ditengarai di picu oleh : tingginya harga buku di Indonesia; keterbatasan pemerintah (perpustakaan) memberikan akses informasi serta masih kentalnya budaya tutur pada sebagian besar masyarakat. Kondisi tersebut tidak sejalan dengan tujuan nasional, yakni: “mencerdaskan kehidupan bangsa”, yang termaktub pada alinea ke-4 pembukaan UUD 1945.
Perpustakaan sebagai pusat sumber ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian dan budaya dituntut berperan aktif meningkatkan minat baca masyarakat. Sehingga akan terwujud  masyarakat informasi berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi sebagaimana isi Deklarasi World Summit of Information Society - WSIS, 12 Desember 2003. Ironisnya  selama 60 tahun merdeka, perpustakaan belum menjadi bagian dari keseharian masyarakat Indonesia. Kondisi tersebut muncul karena perpustakan belum mampu mengemas fungsi informasi, dokumentasi, pendidikan serta rekreasi secara menarik sehingga masyarakat cenderung apatis terhadap keberadaannya. Maka dari itu perlu dikembangkan Sistem  Nasional Perpustakaan yang pelaksanaannya memerlukan landasan hukum. Dengan disahkannya UU perpustakaan maka usaha mewujudkan masyarakat berbasis informasi semakin lempang. Sebab perundangan tersebut bertujuan : 1.) Menjamin keberadaan dan terselenggaranya perpustakaan di Indonesia agar dapat memenuhi tugas dan fungsinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; 2.) Menjadi landasan hukum dan pedoman dalam menyelenggaraan dan mengembangkan perpustakaan di Indonesia menjadi Sistem Nasional Perpustakaan, khususnya untuk melayani masyarakat luas dalam sistem jaringan perpustakaan.

Literasi (“Melek”) Informasi di NTT.
Pemberlakuan otonomi daerah telah mengakibatkan ketidakjelasan kewenangan pusat dan daerah dibidang perpustakaan. Pada era sentralisasi, Perpustakaan Nasional selaku Lembaga Nasional Non Departemen mempunyai kewenangan penuh membuat kebijakan bidang perpustakaan dan mengimplementasikan kebijakan tersebut didaerah-daerah sehingga tercipta keseragaman kebijakan. Namun pada era desentralisasi saat ini, kewenangan tersebut praktis di kebiri. Hasilnya, keberagaman kebijakan dalam pengembangan perpustakaan pada tiap daerah secara umum tidak menguntungkan bagi penyelenggaraan perpustakaan secara profesional. Tarik menarik kepentingan pada pemerintahan daerah menyebabkan eksistensi perpustakaan di daerah mengalami pasang surut. Seperti halnya kasus pencoretan anggaran pengadaan buku perpustakaan oleh panitia anggaran DPRD Lembata yang dimuat pada HU Pos Kupang (2/11-07). Kasus tersebut terjadi karena ketiadaan komitmen pemerintahan daerah Lembata untuk mewujudkan masyarakat informasi. Akibatnya hak warga negara untuk mendapatkan layanan perpustakaan bagi peningkatan ilmu pengetahuan tidak dapat dipenuhi secara maksimal. Maka tidak heran jika sebagian besar masyarakat NTT masih berkutat dengan kebodohan dan kemiskinan. Padahal “melek huruf“mendorong orang untuk lebih kreatif dalam menghadapi masalah dengan berbekal ilmu pengetahuan. Sedangkan “melek informasi”  akan membuat kita pandai dalam membaca peluang.
Kemiskinan yang membelit masyarakat di NTT ini akibat dari tingginya angka buta huruf dan informasi. Survei terakhir BPS pada September 2006 menunjukkan bahwa 370.710 warga yang buta huruf dan 80 % diantaranya berada di desa-desa terpencil dan sulit dijangkau. Pemerintah Daerah tentunya tidak berpangku tangan melihat kondisi tersebut. Program Wajib belajar dan pendidikan kesetaraan tengah gencar dilaksanakan untuk memerangi kebodohan tersebut. Namun program-program tersebut akan kontraproduktif jika tidak di sinergikan dengan sarana penunjang pendidikan yang memadai. Sebagai gambaran, seseorang yang telah “melek” huruf berpotensi menjadi buta huruf lagi jika dia tidak secara konsisten melatih ketrampilan membacanya karena ketiadaan bahan bacaan. Sepantasnya jika program pemberantasan buta aksara dan informasi disinergikan dengan pembentukan perpustakaan-perpustakaan dikantong-kantong buta aksara. Karena pada hakekatnya, perpustakaan merupakan sarana pembelajaran sepanjang hayat. Konsepsi pendidikan seumur hidup tersebut dapat diterjemahkan dengan menjadikan perpustakaan desa sebagai :
1.)    Pusat informasi : dengan menyediakan fasilitas internet. Fasilitas ini menjadi sebuah kebutuhan di era informasi yang bergulir cepat seperti sekarang ini. Internet akan membuka cakrawala baru bagi penduduk yang hidup didaerah-daerah terisolir sehingga dia tetap mengikuti perkembangan dunia yang tengah terjadi. 
2.)    Pusat pendidikan : perpustakaan desa memungkinkan berkumpulnya sumber informasi dengan penggunanya. Dilihat dari jenisnya, perpustakaan desa menyediakan koleksi buku yang mencakup ilmu  pengetahuan dan ilmu terapan. Penggunanya pun dapat memilah dan membekali diri dengan ilmu sesuai kebutuhannya.
3.)    Pusat rekreasi : Secara umum penduduk desa, terutama yang tinggal didaerah terpencil mengalami keterbatasan media hiburan. Perpustakaan desa dapat berfungsi sebagai sarana rekreasi dengan menyediakan koleksi-koleksi yang bersifat menghibur, semisal: koran, majalah serta buletin penyuluhan.

0 comments: