Setelah melalui pembahasan selama 2 tahun. Akhirnya DPR
mengesahkan RUU Perpustakaan pada rapat paripurna, Selasa (2/10). Perundangan
tersebut mengatur tentang fungsi, tujuan, tugas dan peran perpustakaan dalam
membudayakan kebiasaan membaca (www.kompascyber.com). Hal yang melatarbelakangi penyusunan perundangan
tersebut adalah rendahnya minat baca. Data dokumen UNDP dalam Human Development Report 2000 menyebutkan bahwa angka
melek huruf orang dewasa di Indonesia hanya 65,5 persen. Rendahnya minat baca
ditengarai di picu oleh : tingginya harga buku di Indonesia; keterbatasan
pemerintah (perpustakaan) memberikan akses informasi serta masih kentalnya
budaya tutur pada sebagian besar masyarakat. Kondisi tersebut tidak sejalan
dengan tujuan nasional, yakni: “mencerdaskan
kehidupan bangsa”, yang termaktub pada alinea ke-4 pembukaan UUD 1945.
Perpustakaan sebagai pusat sumber ilmu pengetahuan, teknologi,
kesenian dan budaya dituntut berperan aktif meningkatkan minat baca masyarakat.
Sehingga akan terwujud masyarakat
informasi berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi sebagaimana isi Deklarasi
World Summit of Information Society - WSIS, 12 Desember 2003. Ironisnya selama 60 tahun merdeka, perpustakaan belum
menjadi bagian dari keseharian masyarakat Indonesia. Kondisi tersebut muncul
karena perpustakan belum mampu mengemas fungsi informasi, dokumentasi,
pendidikan serta rekreasi secara menarik sehingga masyarakat cenderung apatis terhadap
keberadaannya. Maka dari itu perlu dikembangkan Sistem Nasional Perpustakaan yang pelaksanaannya
memerlukan landasan hukum. Dengan disahkannya UU perpustakaan maka usaha
mewujudkan masyarakat berbasis informasi semakin lempang. Sebab perundangan tersebut
bertujuan : 1.) Menjamin keberadaan dan terselenggaranya perpustakaan di
Indonesia agar dapat memenuhi tugas dan fungsinya dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara; 2.) Menjadi landasan hukum dan pedoman dalam menyelenggaraan dan
mengembangkan perpustakaan di Indonesia menjadi Sistem Nasional Perpustakaan,
khususnya untuk melayani masyarakat luas dalam sistem jaringan perpustakaan.
Literasi (“Melek”)
Informasi di NTT.
Pemberlakuan otonomi daerah telah mengakibatkan ketidakjelasan
kewenangan pusat dan daerah dibidang perpustakaan. Pada era sentralisasi,
Perpustakaan Nasional selaku Lembaga Nasional Non Departemen mempunyai
kewenangan penuh membuat kebijakan bidang perpustakaan dan mengimplementasikan
kebijakan tersebut didaerah-daerah sehingga tercipta keseragaman kebijakan.
Namun pada era desentralisasi saat ini, kewenangan tersebut praktis di kebiri.
Hasilnya, keberagaman kebijakan dalam pengembangan perpustakaan pada tiap
daerah secara umum tidak menguntungkan bagi penyelenggaraan perpustakaan secara
profesional. Tarik menarik kepentingan pada pemerintahan daerah menyebabkan
eksistensi perpustakaan di daerah mengalami pasang surut. Seperti halnya kasus
pencoretan anggaran pengadaan buku perpustakaan oleh panitia anggaran DPRD
Lembata yang dimuat pada HU Pos Kupang (2/11-07). Kasus tersebut terjadi karena
ketiadaan komitmen pemerintahan daerah Lembata untuk mewujudkan masyarakat
informasi. Akibatnya hak warga negara untuk mendapatkan layanan perpustakaan
bagi peningkatan ilmu pengetahuan tidak dapat dipenuhi secara maksimal. Maka
tidak heran jika sebagian besar masyarakat NTT masih berkutat dengan kebodohan
dan kemiskinan. Padahal “melek huruf“mendorong
orang untuk lebih kreatif dalam menghadapi masalah dengan berbekal ilmu
pengetahuan. Sedangkan “melek informasi” akan membuat kita pandai dalam membaca
peluang.
Kemiskinan yang membelit masyarakat di NTT ini akibat dari
tingginya angka buta huruf dan informasi. Survei terakhir BPS pada September
2006 menunjukkan bahwa 370.710 warga yang buta huruf dan 80 % diantaranya
berada di desa-desa terpencil dan sulit dijangkau. Pemerintah Daerah tentunya
tidak berpangku tangan melihat kondisi tersebut. Program Wajib belajar dan
pendidikan kesetaraan tengah gencar dilaksanakan untuk memerangi kebodohan
tersebut. Namun program-program tersebut akan kontraproduktif jika tidak di
sinergikan dengan sarana penunjang pendidikan yang memadai. Sebagai gambaran,
seseorang yang telah “melek” huruf berpotensi menjadi buta huruf lagi jika dia
tidak secara konsisten melatih ketrampilan membacanya karena ketiadaan bahan
bacaan. Sepantasnya jika program pemberantasan buta aksara dan informasi
disinergikan dengan pembentukan perpustakaan-perpustakaan dikantong-kantong
buta aksara. Karena pada hakekatnya, perpustakaan merupakan sarana pembelajaran
sepanjang hayat. Konsepsi pendidikan seumur hidup tersebut dapat diterjemahkan
dengan menjadikan perpustakaan desa sebagai :
1.)
Pusat
informasi : dengan menyediakan fasilitas internet. Fasilitas ini menjadi sebuah
kebutuhan di era informasi yang bergulir cepat seperti sekarang ini. Internet
akan membuka cakrawala baru bagi penduduk yang hidup didaerah-daerah terisolir
sehingga dia tetap mengikuti perkembangan dunia yang tengah terjadi.
2.)
Pusat
pendidikan : perpustakaan desa memungkinkan berkumpulnya sumber informasi
dengan penggunanya. Dilihat dari jenisnya, perpustakaan desa menyediakan
koleksi buku yang mencakup ilmu
pengetahuan dan ilmu terapan. Penggunanya pun dapat memilah dan
membekali diri dengan ilmu sesuai kebutuhannya.
3.)
Pusat
rekreasi : Secara umum penduduk desa, terutama yang tinggal didaerah terpencil
mengalami keterbatasan media hiburan. Perpustakaan desa dapat berfungsi sebagai
sarana rekreasi dengan menyediakan koleksi-koleksi yang bersifat menghibur,
semisal: koran, majalah serta buletin penyuluhan.
0 comments:
Post a Comment