Friday, 18 September 2020

Pelecehan Verbal dan Potensi Pelanggaran PILKADA

    

    Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), laiknya kompetisi lainnya, mendorong para kontestanya untuk menarik simpati para pemilih melalui berbagai cara. Mulai dengan memasang baliho dengan pose dan narasi yang memikat, bagi-bagi kebutuhan pokok kepada masyarakat bahkan sampai melakukan kampanye gelap (black campaign) kepada kontenstan lain. Hal tersebut semata-mata dilakukan guna merebut tiket kemenangan dan merengkuh kekuasaan. 
    Mengamati tahapan pilkada mulai dari pencalonan, penetapan bakal calon, kampanye, pemungutan suara sampai penetapan pemenang dan berakhir dengan pelantikan akan sangat menarik. Salah satunya adalah telah terjadi pergeseran kontestasi Pilkada dimana dominasi laki-laki berangsur berkurang dengan kemunculan calon-calon kontestan perempuan yang tak kalah berkualitas baik dari segi kognitif dan afektifnya. Bahkan diyakini kontestan perempuan memiliki nilai lebih daripada kontestan laki-laki. Bahkan seolah merasa terancam dengan kehadiran kontestan perempuan, beberapa bakal calon laki-laki terjerumus melakukan pelecehan verbal. Berdasarkan jejak digital pada media masa online, setidaknya terdapat 2 kasus pelecehan verbal yang menimpa balon cakada pada Pilkada serentak Desember 2020 mendatang. Kasus pertama menimpa bacalon wawalkot Tangerang Selatan yang disinyalir mendapat perundungan terhadap fisik (new.detik.com, tanggal 5 September 2020) dan kasus kedua menimpa bacalon wawalkot Depot yang mendapatkan pelecehan verbal pada saat menjalani tes kesehatan (new.detik.com, tanggal 11 September 2020). Terkait kedua kasus tersebut, artikel ini tidak berupaya memihak salah satu pihak manapun. Namun, artikel ini mencoba mengulas tentang fenomena pelecehan verbal dan dampaknya pada poses Pilkada.
    Kata dan kalimat berfungsi menyampaikan pesan dalam berkomunikasi. Namun kata dapat pula disalahgunakan menjadi senjata. Kathy Bosch, seorang extension specialist dari University of Nebraska, menulis sebuah artikel berjudul 'When words are used as a weapon' LINK. Menurutnya, pemilihan diksi yang  menyerang  dan menekan merupakan wujud dari pelecehan verbal yang bertujuan melemahkan mental, membuat marah, frustasi bahkan menimbulkan traumatis. Dalam konteks kontestasi pilkada,  pemilihan diksi menyerang, menekan dan merendahkan merupakan wujud pelecehan verbal lazim digunakan untuk meruntuhkan mental kontestan lainnya. Bahkan fitnah atau black campaign merupakan praktek ekstrim dari pelecehan verbal sebab tuduhan yang dilontarkan tidak mendapatkan cukup bukti yang valid. 
    Selanjutnya muncul pertanyaan, pelecehan verbal serta merta menggugurkan keikutsertaan atau kemenangan calon kepala daerah?. Sepengetahuan penulis, aturan yang dibuat Komisi Pemilihan Umum belum mengatur terhadap hal tersebut. Bahkan beberapa waktu lalu, para pegiat feminin yang tergabung dalam kaukasus perempuan perlemen mendesak adanya aturan yang melindungi hak-hak wanita dari pelecehan verbal dalam Proses Pilkada LINK. Selanjutnya, dalam tataran Undang-Undang, parlemen Indonesia masih belum mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual LINK. Terjadinya kekosongan aturan perundangan tersebut maka praktek pelecehan verbal masih akan ditemui selama proses Pilkada serentak mendatang.
    Sebagai penutup, pelecehan verbal pada proses Pilkada merupakan salah satu strategi untuk menjatuhkan mental lawan. Tanpa adanya peratuan perundangan yang mengatur tentang Penghapusan Kekerasan Seksual maka akan menyulitkan penegak hukum maupun komisi yang membidangi Pemilu untuk menjatuhkan sanksi bagi para pelanggarnya. 

0 comments: