Sunday, 12 October 2025

VIII. Menyemai Ulang Akar Rimbawan: Dari Gunung Batu ke Pusdatin (2023–2025)

 

Jejak di Antara Dua Kementerian

Tahun 2023 membuka lembar baru yang sarat dinamika. Setelah hampir dua dekade berkarier di bawah naungan satu lembaga besar yang menaungi penelitian dan inovasi kehutanan, saya harus kembali menghadapi perubahan struktural yang tak terelakkan. Pemerintah memutuskan untuk memisahkan kembali Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan, dua entitas besar yang sebelumnya sempat bergabung dalam satu atap.

Keputusan itu membawa konsekuensi besar. Banyak unit kerja dirombak, nomenklatur berganti, dan lembaga yang saya kenal sebagai Badan Standardisasi Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BSILHK)—tempat saya bernaung sejak 2022—secara resmi dinyatakan dibubarkan.

Berita itu sempat menimbulkan rasa kosong. Dalam beberapa tahun terakhir, BSI bukan sekadar tempat bekerja, melainkan ruang belajar, berproses, dan berjejaring. Saya merasa punya ikatan emosional dengan lembaga itu, terutama karena keterlibatan saya dalam berbagai tim penyusunan dokumen penting bagi kantor pusat di Gunung Batu, Bogor.

Di sanalah saya bekerja bersama tim yang solid, di bawah koordinasi Pak Dasminto, S.Pi., M.Si., sosok senior yang saya hormati bukan hanya karena ilmunya, tapi juga karena keteladanannya sebagai “guru kehidupan.”

Belajar dari Sang Pembimbing

Saya masih ingat bagaimana Pak Dasminto sering menekankan pentingnya keseimbangan antara administrasi dan esensi. Beliau mengajarkan bahwa setiap dokumen lingkungan, setiap laporan, bukan sekadar memenuhi kewajiban formal, tapi juga menyimpan makna etika terhadap bumi dan hutan yang kita jaga.

“Menulis laporan lingkungan itu bukan hanya menulis data,” katanya suatu sore di ruang rapat kecil Gunung Batu.

“Kita sedang menulis tentang tanggung jawab manusia terhadap alam. Setiap angka punya cerita, setiap tabel punya dampak.”

Kalimat itu begitu membekas. Dari beliau, saya belajar bahwa profesionalisme sejati adalah perpaduan antara ketepatan dan kepedulian. Dalam kesederhanaannya, Pak Dasminto menjadi sosok mentor yang sabar, telaten, dan memberi ruang bagi timnya untuk berkembang.

Menyusun dokumen lingkungan untuk kantor pusat BSI menjadi pengalaman yang memperkaya. Saya berperan dalam mengompilasi dan memverifikasi data, menyusun struktur informasi, serta memastikan standar penulisan sesuai dengan pedoman teknis. Meski pekerjaan ini tampak administratif, namun saya melihatnya sebagai bentuk pengabdian ilmiah—mendokumentasikan tanggung jawab manusia terhadap kelestarian lingkungan.

Dilema dan Keputusan

Ketika akhirnya keputusan pemisahan dua kementerian diumumkan, muncul dilema pribadi yang cukup berat. Saya dihadapkan pada dua pilihan: tetap di lingkungan hidup atau kembali ke kehutanan.

Keduanya memiliki daya tarik tersendiri. Bidang lingkungan hidup memberi ruang luas bagi kajian lintas disiplin, sedangkan kehutanan adalah rumah lama tempat akar profesionalisme saya tumbuh.

Saya mengingat masa-masa awal karier tahun 2005, ketika pertama kali menjadi pustakawan di Balai Penelitian Kehutanan Kupang—masa penuh idealisme dan dedikasi sebagai rimbawan muda. Dari situlah saya akhirnya meneguhkan hati: kembali ke Kementerian Kehutanan.

Pilihan ini bukan karena nostalgia semata, tapi karena saya yakin bahwa di sana, jiwa rimbawan saya bisa terus memberi arti. Bagi saya, hutan bukan sekadar objek penelitian, tetapi ruang spiritual yang membentuk cara pandang hidup: sederhana, teduh, dan penuh keseimbangan.

“Saya lahir dan tumbuh di dunia rimbawan. Maka ke mana pun angin birokrasi berembus, akar saya tetap di kehutanan.”

Menapaki Babak Baru di Pusat Data dan Informasi

Keputusan itu membawa saya pada penugasan baru di Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Kehutanan, mulai awal tahun 2025. Saya diangkat sebagai Pustakawan Madya, sebuah posisi yang tidak hanya menandai kenaikan jabatan, tetapi juga tanggung jawab yang lebih luas dalam pengelolaan informasi publik dan manajemen data strategis.

Di lingkungan Pusdatin, saya menemukan atmosfer kerja yang dinamis dan modern. Transformasi digital tengah digalakkan, dan peran pustakawan kini melebar jauh melampaui dinding perpustakaan fisik. Kami bukan lagi sekadar penjaga buku, tapi arsitek pengetahuan, memastikan bahwa data kehutanan, laporan riset, dan informasi publik tersaji secara terbuka, akurat, dan mudah diakses.

Saya terlibat dalam berbagai kegiatan manajerial—mulai dari penguatan sistem informasi hingga pendampingan akreditasi layanan. Di sela tugas, saya juga sering diminta memberikan pembinaan dan pelatihan bagi rekan-rekan pustakawan muda yang baru bergabung.

Bagi saya, kesempatan ini seperti fase baru yang memberi ruang untuk mengasah kemampuan manajerial dan kepemimpinan. Saya mulai belajar mengelola tim lintas bidang, menyeimbangkan antara teknis, komunikasi, dan kebijakan. Kadang lelah, tapi selalu menyenangkan ketika melihat ide-ide baru tumbuh dari kolaborasi.

Menjadi Asesor Profesi Pustakawan

Salah satu tonggak penting dalam perjalanan saya di periode ini adalah saat memperoleh sertifikasi sebagai Asesor Profesi Pustakawan.

Peran ini memberi tanggung jawab sekaligus kehormatan besar—menilai, membimbing, dan memastikan kompetensi para pustakawan di berbagai lembaga. Saya merasa seolah berada di cermin masa lalu: dari seorang pustakawan muda yang dulu sering gugup saat dinilai, kini menjadi orang yang memegang instrumen penilaian.

Namun saya selalu berusaha memandangnya dengan empati. Setiap pustakawan memiliki kisah perjuangannya sendiri, dan tugas asesor bukan untuk mencari kesalahan, melainkan membantu mereka menemukan potensi terbaik. Dalam setiap asesmen, saya selalu berusaha menyampaikan pesan sederhana:

“Profesi kita mungkin sunyi, tapi pengaruhnya luas. Jangan berhenti belajar, karena ilmu pustaka adalah ilmu tentang kehidupan.”

Dari tugas ini saya belajar banyak—tentang keberagaman karakter, semangat, dan inovasi pustakawan di seluruh Indonesia. Mereka datang dari latar belakang berbeda, namun disatukan oleh kecintaan yang sama terhadap ilmu pengetahuan.

Menjadi Reviewer Jurnal Ilmiah

Selain menjadi asesor, saya juga aktif sebagai reviewer jurnal ilmiah pustakawan dan informasi. Aktivitas ini melengkapi perjalanan intelektual saya di dunia kepustakawanan.

Menjadi reviewer bukan hanya membaca naskah dan memberi catatan, tetapi juga menjaga integritas akademik. Setiap artikel yang dikirim penulis adalah hasil jerih payah dan refleksi pemikiran. Saya merasa bertanggung jawab untuk menilai dengan jujur dan membantu mereka memperbaiki kualitas ilmiah tulisan.

Dalam proses ini, saya kerap menemukan gagasan-gagasan segar dari pustakawan muda: tentang literasi digital, transformasi layanan, hingga etika kecerdasan buatan di perpustakaan. Saya merasa bangga melihat profesi ini terus berkembang dan beradaptasi dengan zaman.

Menjadi reviewer juga membuat saya terus belajar. Setiap naskah yang saya baca membuka wawasan baru, mengingatkan bahwa dalam dunia ilmu pengetahuan, tidak ada yang benar-benar selesai—semuanya terus bergerak, tumbuh, dan bertransformasi.

Refleksi: Antara Pohon dan Data

Kini, menjelang penghujung tahun 2025, saya sering merenung di sela kesibukan di Pusdatin. Kadang, saat menatap layar komputer yang menampilkan data hutan nasional, saya teringat kembali akar profesi saya di lapangan dulu—antara pohon, tanah, dan aroma getah pinus.

Dunia digital memang memudahkan segalanya, tapi di balik angka dan peta satelit itu, saya tahu ada hutan-hutan nyata yang hidup, ada masyarakat yang menggantungkan harapan, ada peneliti yang berjuang di medan berat. Dan di situlah pustakawan berperan: memastikan setiap data dan informasi menjadi jembatan antara sains dan kebijakan.

Saya sering berkata pada rekan-rekan muda:

“Menjadi pustakawan di kehutanan bukan hanya tentang mengelola data, tapi tentang menjaga keseimbangan antara manusia dan alam.”

Perjalanan ini mengajarkan saya bahwa ilmu pengetahuan dan kehutanan adalah dua sisi dari satu koin—yang satu mengakar pada logika, dan yang lain bernaung pada kehidupan. Keduanya saling melengkapi, seperti hutan dan hujan yang tak bisa dipisahkan.

Menatap Masa Depan

Melangkah ke depan, saya tidak tahu pasti ke mana arah organisasi akan berkembang. Birokrasi akan selalu berubah, struktur bisa berganti, tapi semangat untuk mengabdi pada pengetahuan dan hutan akan tetap sama.

Saya merasa kini memasuki fase kedewasaan karier, di mana kepuasan bukan lagi diukur dari jabatan atau penghargaan, tetapi dari kemampuan untuk memberi makna bagi orang lain.

Setiap kali saya melihat rekan pustakawan muda yang bersemangat belajar, saya merasa optimis bahwa tongkat estafet profesi ini berada di tangan yang tepat. Mungkin nanti saya tidak lagi di garis depan, tapi saya ingin tetap menjadi bagian dari barisan yang menjaga nyala pengetahuan.

Karena pada akhirnya, pustakawan bukan sekadar profesi, melainkan perjalanan jiwa.

0 comments: