Jejak di Antara Dua Kementerian
Keputusan itu membawa konsekuensi besar. Banyak unit kerja dirombak, nomenklatur berganti, dan lembaga yang saya kenal sebagai Badan Standardisasi Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BSILHK)—tempat saya bernaung sejak 2022—secara resmi dinyatakan dibubarkan.
Berita itu sempat menimbulkan rasa kosong. Dalam beberapa tahun terakhir, BSI bukan sekadar tempat bekerja, melainkan ruang belajar, berproses, dan berjejaring. Saya merasa punya ikatan emosional dengan lembaga itu, terutama karena keterlibatan saya dalam berbagai tim penyusunan dokumen penting bagi kantor pusat di Gunung Batu, Bogor.
Di sanalah saya bekerja bersama tim yang solid, di bawah koordinasi Pak Dasminto, S.Pi., M.Si., sosok senior yang saya hormati bukan hanya karena ilmunya, tapi juga karena keteladanannya sebagai “guru kehidupan.
“Menulis laporan lingkungan itu bukan hanya menulis data,” katanya suatu sore di ruang rapat kecil Gunung Batu.
“Kita sedang menulis tentang tanggung jawab manusia terhadap alam. Setiap angka punya cerita, setiap tabel punya dampak.”
Kalimat itu begitu membekas. Dari beliau, saya belajar bahwa profesionalisme sejati adalah perpaduan antara ketepatan dan kepedulian. Dalam kesederhanaannya, Pak Dasminto menjadi sosok mentor yang sabar, telaten, dan memberi ruang bagi timnya untuk berkembang.
Menyusun dokumen lingkungan untuk kantor pusat BSI menjadi pengalaman yang memperkaya. Saya berperan dalam mengompilasi dan memverifikasi data, menyusun struktur informasi, serta memastikan standar penulisan sesuai dengan pedoman teknis. Meski pekerjaan ini tampak administratif, namun saya melihatnya sebagai bentuk pengabdian ilmiah—mendokumentasikan tanggung jawab manusia terhadap kelestarian lingkungan.
Ketika akhirnya keputusan pemisahan dua kementerian diumumkan, muncul dilema pribadi yang cukup berat. Saya dihadapkan pada dua pilihan: tetap di lingkungan hidup atau kembali ke kehutanan.
Keduanya memiliki daya tarik tersendiri. Bidang lingkungan hidup memberi ruang luas bagi kajian lintas disiplin, sedangkan kehutanan adalah rumah lama tempat akar profesionalisme saya tumbuh.
Saya mengingat masa-masa awal karier tahun 2005, ketika pertama kali menjadi pustakawan di Balai Penelitian Kehutanan Kupang—masa penuh idealisme dan dedikasi sebagai rimbawan muda. Dari situlah saya akhirnya meneguhkan hati: kembali ke Kementerian Kehutanan.
Pilihan ini bukan karena nostalgia semata, tapi karena saya yakin bahwa di sana, jiwa rimbawan saya bisa terus memberi arti. Bagi saya, hutan bukan sekadar objek penelitian, tetapi ruang spiritual yang membentuk cara pandang hidup: sederhana, teduh, dan penuh keseimbangan.
“Saya lahir dan tumbuh di dunia rimbawan. Maka ke mana pun angin birokrasi berembus, akar saya tetap di kehutanan.”
Menapaki Babak Baru di Pusat Data dan Informasi
Keputusan itu membawa saya pada penugasan baru di Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Kehutanan, mulai awal tahun 2025. Saya diangkat sebagai Pustakawan Madya, sebuah posisi yang tidak hanya menandai kenaikan jabatan, tetapi juga tanggung jawab yang lebih luas dalam pengelolaan informasi publik dan manajemen data strategis.
Di lingkungan Pusdatin, saya menemukan atmosfer kerja yang dinamis dan modern. Transformasi digital tengah digalakkan, dan peran pustakawan kini melebar jauh melampaui dinding perpustakaan fisik. Kami bukan lagi sekadar penjaga buku, tapi arsitek pengetahuan, memastikan bahwa data kehutanan, laporan riset, dan informasi publik tersaji secara terbuka, akurat, dan mudah diakses.
Saya terlibat dalam berbagai kegiatan manajerial—mulai dari penguatan sistem informasi hingga pendampingan akreditasi layanan. Di sela tugas, saya juga sering diminta memberikan pembinaan dan pelatihan bagi rekan-rekan pustakawan muda yang baru bergabung.
Bagi saya, kesempatan ini seperti fase baru yang memberi ruang untuk mengasah kemampuan manajerial dan kepemimpinan. Saya mulai belajar mengelola tim lintas bidang, menyeimbangkan antara teknis, komunikasi, dan kebijakan. Kadang lelah, tapi selalu menyenangkan ketika melihat ide-ide baru tumbuh dari kolaborasi.
Menjadi Asesor Profesi Pustakawan
Salah satu tonggak penting dalam perjalanan saya di periode ini adalah saat memperoleh sertifikasi sebagai Asesor Profesi Pustakawan.
Peran ini memberi tanggung jawab sekaligus kehormatan besar—menilai, membimbing, dan memastikan kompetensi para pustakawan di berbagai lembaga. Saya merasa seolah berada di cermin masa lalu: dari seorang pustakawan muda yang dulu sering gugup saat dinilai, kini menjadi orang yang memegang instrumen penilaian.
Namun saya selalu berusaha memandangnya dengan empati. Setiap pustakawan memiliki kisah perjuangannya sendiri, dan tugas asesor bukan untuk mencari kesalahan, melainkan membantu mereka menemukan potensi terbaik. Dalam setiap asesmen, saya selalu berusaha menyampaikan pesan sederhana:
“Profesi kita mungkin sunyi, tapi pengaruhnya luas. Jangan berhenti belajar, karena ilmu pustaka adalah ilmu tentang kehidupan.”
Dari tugas ini saya belajar banyak—tentang keberagaman karakter, semangat, dan inovasi pustakawan di seluruh Indonesia. Mereka datang dari latar belakang berbeda, namun disatukan oleh kecintaan yang sama terhadap ilmu pengetahuan.
Menjadi Reviewer Jurnal Ilmiah
Selain menjadi asesor, saya juga aktif sebagai reviewer jurnal ilmiah pustakawan dan informasi. Aktivitas ini melengkapi perjalanan intelektual saya di dunia kepustakawanan.
Menjadi reviewer bukan hanya membaca naskah dan memberi catatan, tetapi juga menjaga integritas akademik. Setiap artikel yang dikirim penulis adalah hasil jerih payah dan refleksi pemikiran. Saya merasa bertanggung jawab untuk menilai dengan jujur dan membantu mereka memperbaiki kualitas ilmiah tulisan.
Dalam proses ini, saya kerap menemukan gagasan-gagasan segar dari pustakawan muda: tentang literasi digital, transformasi layanan, hingga etika kecerdasan buatan di perpustakaan. Saya merasa bangga melihat profesi ini terus berkembang dan beradaptasi dengan zaman.
Menjadi reviewer juga membuat saya terus belajar. Setiap naskah yang saya baca membuka wawasan baru, mengingatkan bahwa dalam dunia ilmu pengetahuan, tidak ada yang benar-benar selesai—semuanya terus bergerak, tumbuh, dan bertransformasi.
Refleksi: Antara Pohon dan Data
Kini, menjelang penghujung tahun 2025, saya sering merenung di sela kesibukan di Pusdatin. Kadang, saat menatap layar komputer yang menampilkan data hutan nasional, saya teringat kembali akar profesi saya di lapangan dulu—antara pohon, tanah, dan aroma getah pinus.
Dunia digital memang memudahkan segalanya, tapi di balik angka dan peta satelit itu, saya tahu ada hutan-hutan nyata yang hidup, ada masyarakat yang menggantungkan harapan, ada peneliti yang berjuang di medan berat. Dan di situlah pustakawan berperan: memastikan setiap data dan informasi menjadi jembatan antara sains dan kebijakan.
Saya sering berkata pada rekan-rekan muda:
“Menjadi pustakawan di kehutanan bukan hanya tentang mengelola data, tapi tentang menjaga keseimbangan antara manusia dan alam.”
Perjalanan ini mengajarkan saya bahwa ilmu pengetahuan dan kehutanan adalah dua sisi dari satu koin—yang satu mengakar pada logika, dan yang lain bernaung pada kehidupan. Keduanya saling melengkapi, seperti hutan dan hujan yang tak bisa dipisahkan.
Kisah Pengalaman Saya di Forum Internasional
Dalam kesempatan tersebut, saya mempresentasikan makalah berjudul “User-Centric Literacy Programme: Measuring Impact of Ecoliteracy at RI Ardi Kusuma Library.” Topik ini berangkat dari pengalaman lapangan dalam mengembangkan program literasi berbasis pengguna, sekaligus menilai dampak kegiatan literasi ekologis terhadap peningkatan kesadaran lingkungan di kalangan pengguna perpustakaan.
Berpartisipasi di ICoMUS menjadi pengalaman yang sangat berkesan. Saya tidak hanya belajar menyusun dan mempresentasikan karya ilmiah di hadapan peserta dari berbagai negara, tetapi juga memperluas wawasan tentang pentingnya kolaborasi lintas disiplin dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan layanan publik.
Kesempatan ini memupuk rasa percaya diri saya untuk terus berkarya di kancah akademik dan profesional. Lebih dari itu, pengalaman ini membuka pandangan bahwa keikutsertaan dalam forum internasional bukan sekadar ajang berbagi hasil riset, tetapi juga wadah untuk membangun jejaring global dan menumbuhkan semangat kontribusi bagi kemajuan literasi dan informasi di Indonesia.
Kisah Saya di Balik Muspera Expo 2025
Tahun 2025 menjadi salah satu momen yang berkesan dalam perjalanan karier saya di lingkungan Museum dan Perpustakaan Kehutanan (Muspera). Saat itu, Muspera genap berusia 42 tahun, dan untuk merayakan hari jadinya, kami menyelenggarakan sebuah perhelatan besar bertajuk “Muspera Expo 2025”, yang berlangsung pada 19–22 Agustus 2025 di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta.
Dengan mengusung tema “Hutan Lestari, Literasi Menginspirasi”, acara ini menjadi ajang untuk memperkuat peran Muspera sebagai ruang edukasi, rekreasi, dan inspirasi bagi masyarakat, khususnya generasi muda. Saya beruntung bisa terlibat langsung dalam penyelenggaraan kegiatan ini, mulai dari tahap perencanaan hingga pelaksanaan.
Selama hampir sepekan penuh, suasana Muspera begitu hidup. Kami menghadirkan berbagai kegiatan menarik — mulai dari eksplorasi museum dan arboretum bersama siswa serta mahasiswa, lomba menggambar bertema “Hutan Sahabat Kita”, hingga literasi dongeng dan adu opini “Suara Rimba Indonesia, Suara Rimbawan Muda”. Di sisi lain, pengunjung juga dapat menikmati pameran galeri, bazar kuliner nusantara, serta lomba foto mendadak jepret yang menambah semarak suasana.
Bagi saya pribadi, terlibat dalam Muspera Expo 2025 bukan hanya soal bekerja di balik layar sebuah acara besar, tetapi juga tentang menyaksikan bagaimana semangat literasi dan kecintaan terhadap hutan dapat disampaikan dengan cara yang kreatif dan menyenangkan.
Momen itu menumbuhkan rasa bangga sekaligus tanggung jawab, bahwa upaya pelestarian hutan tidak hanya berbicara tentang pohon dan alam, tetapi juga tentang bagaimana pengetahuan, budaya, dan kesadaran masyarakat bisa bertumbuh bersama. Melalui kegiatan ini, saya belajar bahwa kolaborasi lintas bidang — antara edukasi, komunikasi, dan konservasi — dapat melahirkan sesuatu yang inspiratif dan berdampak luas bagi publik.
Melangkah ke depan, saya tidak tahu pasti ke mana arah organisasi akan berkembang. Birokrasi akan selalu berubah, struktur bisa berganti, tapi semangat untuk mengabdi pada pengetahuan dan hutan akan tetap sama.
Saya merasa kini memasuki fase kedewasaan karier, di mana kepuasan bukan lagi diukur dari jabatan atau penghargaan, tetapi dari kemampuan untuk memberi makna bagi orang lain.
Setiap kali saya melihat rekan pustakawan muda yang bersemangat belajar, saya merasa optimis bahwa tongkat estafet profesi ini berada di tangan yang tepat. Mungkin nanti saya tidak lagi di garis depan, tapi saya ingin tetap menjadi bagian dari barisan yang menjaga nyala pengetahuan.
Karena pada akhirnya, pustakawan bukan sekadar profesi, melainkan perjalanan jiwa.


.jpeg)
https://orcid.org/0000-0002-6201-100X

0 comments:
Post a Comment