Tahun-tahun setelah 2010 menjadi periode yang paling produktif dan berwarna dalam perjalanan karier saya. Setelah menyelesaikan alih jalur pustakawan ahli di Merdeka Selatan, saya kembali ke Kupang dengan semangat baru. Semangat itu tidak hanya untuk memperbaiki sistem perpustakaan, tetapi juga untuk memperluas peran pustakawan sebagai penggerak literasi dan penyebar pengetahuan.
Menjadi Bagian dari Komunitas Profesi
Saya menyadari bahwa profesi pustakawan akan semakin kuat jika memiliki wadah bersama untuk bertukar gagasan dan pengalaman. Karena itu, saya bergabung dengan Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) Cabang Kupang. Di organisasi inilah saya mulai menemukan makna baru: menjadi pustakawan bukan hanya bekerja di balik meja, tetapi juga berperan dalam memperjuangkan peningkatan kualitas profesi di tingkat daerah.
Kegiatan IPI Kupang waktu itu sangat beragam—mulai dari pelatihan teknis, lokakarya literasi informasi, hingga advokasi ke pemerintah daerah agar lebih memperhatikan pengembangan perpustakaan dan tenaga pustakawan. Saya aktif menjadi bagian dari panitia kegiatan, kadang menjadi narasumber dalam pelatihan kecil, bahkan pernah dipercaya menyusun konsep kegiatan IPI untuk memperingati Hari Buku Nasional.
Di forum-forum itu, saya bertemu banyak pustakawan dari berbagai latar: dari sekolah, perguruan tinggi, hingga instansi pemerintah. Kami berbagi cerita tentang tantangan masing-masing, dan di sanalah saya belajar bahwa semangat pustakawan di daerah tidak kalah hebat dengan mereka yang bekerja di kota besar.
Melalui IPI, saya juga berkesempatan memperluas jaringan dan mengenal tokoh-tokoh inspiratif dunia kepustakawanan nasional. Dari mereka saya belajar bahwa kekuatan pustakawan terletak pada kemampuan terus belajar dan berbagi.
Menulis sebagai Wujud Pengabdian
Awalnya, tidak mudah menembus halaman opini. Beberapa kali tulisan saya dikembalikan atau tidak dimuat. Namun saya tidak menyerah. Saya percaya, setiap tulisan adalah bentuk pelayanan publik—sama halnya dengan melayani pemustaka di perpustakaan, hanya saja kali ini pelayanannya melalui kata.
Suatu hari, saya menerima kabar bahwa tulisan saya berjudul “Membaca di Tengah Padang Lontar” dimuat di Harian Pos Kupang. Tulisan itu berbicara tentang semangat masyarakat NTT dalam mempertahankan tradisi lisan dan tantangan memperkuat budaya baca di daerah yang masih terbatas aksesnya terhadap buku.
Saya tidak menyangka, tulisan sederhana itu mendapat banyak tanggapan positif. Beberapa rekan guru dan mahasiswa datang ke perpustakaan dan berkata bahwa tulisan itu menginspirasi mereka untuk kembali menghidupkan kegiatan membaca di sekolah. Sejak saat itu, saya semakin yakin bahwa pena pustakawan bisa menjadi alat perubahan sosial.
Menulis bagi saya menjadi cara untuk menyuarakan gagasan yang lahir dari pengalaman nyata di lapangan. Di sela tugas harian, saya menyempatkan waktu menulis—kadang malam hari setelah keluarga tertidur, atau pagi-pagi sebelum berangkat ke kantor. Saya menulis bukan untuk ketenaran, melainkan untuk menyimpan jejak pemikiran, agar suatu saat bisa dibaca kembali oleh generasi berikutnya.
Membangun Jembatan Pengetahuan
Aktivitas menulis juga memperkuat posisi perpustakaan sebagai sumber rujukan lokal. Saya berinisiatif membuat kliping artikel dan opini tentang kehutanan, lingkungan, dan budaya NTT, agar informasi itu bisa dimanfaatkan oleh peneliti dan masyarakat. Koleksi kliping itu kemudian menjadi bahan inspirasi untuk berbagai diskusi ilmiah di balai.
Saya mulai menyadari bahwa perpustakaan bukan hanya ruang fisik, melainkan ekosistem pengetahuan yang tumbuh dari interaksi pustakawan, pengguna, dan masyarakat. Maka, setiap tulisan, setiap kegiatan literasi, dan setiap inisiatif otomasi yang kami jalankan adalah bagian dari satu kesatuan misi besar: menyebarkan pengetahuan dari timur untuk Indonesia.
Penghargaan Pustakawan Berprestasi Tingkat Provinsi NTT (2013)
Di tahun-tahun berikutnya, buah dari dedikasi itu mulai terasa. Saya dipercaya mewakili instansi dalam ajang Pemilihan Pustakawan Berprestasi Tingkat Nasional. Tak pernah terbayang sebelumnya, seorang pustakawan dari Kupang bisa berdiri sejajar dengan para pustakawan hebat dari seluruh Indonesia—berbagi pengalaman, gagasan, dan inovasi dalam mengembangkan layanan informasi.
Pengalaman itu menjadi salah satu momen paling berkesan dalam perjalanan hidup saya. Selain memperoleh banyak inspirasi dari rekan-rekan pustakawan berprestasi lainnya, saya juga mendapat kehormatan untuk diundang ke Istana Negara dan berjabat tangan langsung dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat itu, rasa haru dan bangga menyatu dalam satu momen yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Bagi saya, penghargaan itu bukan sekadar pengakuan pribadi, melainkan simbol dari perjuangan panjang pustakawan di daerah—bahwa dari tempat terpencil sekalipun, semangat literasi dan pengabdian bisa bersinar sampai ke pusat negeri. Itulah titik di mana saya benar-benar memahami makna kata “dedikasi”: bekerja sepenuh hati tanpa menuntut pengakuan, namun justru mendapatkan penghargaan karena ketulusan itu sendiri.
Menatap Peluang ke Dunia Internasional
Setelah penghargaan itu, saya merasa terpanggil untuk terus berkembang. Saya mulai mencari kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, agar dapat membawa wawasan baru bagi pengembangan perpustakaan.
Tahun 2014 menjadi tahun yang membuka jalan baru. Saya mendapat informasi tentang program pelatihan bahasa Inggris (English Training for Government Officers) yang merupakan bagian dari persiapan beasiswa Australia Awards.
Dorongan untuk mencoba datang dari berbagai arah: rekan kerja, keluarga, bahkan kepala balai yang melihat potensi saya untuk melanjutkan studi. Meski sempat ragu karena usia tidak muda lagi, saya memutuskan untuk mencoba. Saya sadar, belajar tidak mengenal batas waktu.
Saya mengikuti seleksi administrasi dan tes bahasa Inggris tahap awal di Denpasar. Saat menerima surat pengumuman bahwa saya lolos tahap awal English Training dan direkomendasikan untuk mengikuti program pengembangan kapasitas menuju Australia Awards, perasaan saya campur aduk: haru, bangga, sekaligus gugup.
Saya tahu, jalan menuju sana tidak akan mudah, terutama karena kemampuan bahasa Inggris saya masih terbatas. Tapi saya berjanji pada diri sendiri, jika kesempatan ini sudah terbuka, saya akan memperjuangkannya sebaik mungkin.
Persiapan dan Semangat Baru
Setelah lolos seleksi, saya mengikuti pelatihan pra-keberangkatan di IALF Denpasar. Di sinilah saya bertemu dengan banyak pegawai dari berbagai instansi di Indonesia, semuanya bersemangat untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris demi meraih beasiswa.
Hari-hari di IALF terasa seperti kembali menjadi mahasiswa. Setiap pagi belajar grammar, siang latihan listening dan speaking, malam hari mengerjakan tugas essay. Di awal program, nilai IELTS saya belum mencapai standar minimal. Saya harus mencoba dua kali tes IELTS untuk mendapatkan skor yang dibutuhkan agar bisa diterima di universitas tujuan.
Saya masih ingat perjuangan itu—malam-malam belajar sendiri di kamar, membaca artikel berbahasa Inggris keras-keras agar pengucapan saya membaik, dan mendengarkan rekaman BBC Learning English melalui radio kecil. Kadang saya merasa lelah, tapi semangat untuk bisa membawa ilmu ke tanah air membuat saya bertahan.
Terpilih sebagai Penerima Beasiswa Australia Awards
Akhirnya, usaha panjang itu berbuah manis. Saya menerima kabar bahwa saya terpilih sebagai penerima beasiswa Australia Awards Scholarship, dengan program studi Manajemen Informatika di University of South Australia (Unisa Adelaide).
Saya hampir tidak bisa berkata apa-apa ketika membaca surat itu. Perjalanan panjang dari perpustakaan kecil di Kupang kini membawa saya ke pintu dunia internasional. Saya teringat semua proses—dari saat pertama kali memegang buku katalog, saat listrik padam di tengah instalasi sistem otomasi, hingga malam-malam menulis opini tentang literasi di Pos Kupang. Semua perjuangan itu terasa terbayar.
Penghargaan dan kesempatan ini bukan hanya pencapaian pribadi, tapi bukti bahwa kerja keras, keuletan, dan niat tulus untuk terus belajar akan selalu menemukan jalannya.
Refleksi Akhir Bab
Tahun-tahun antara 2010 hingga 2014 menjadi babak yang meneguhkan identitas saya sebagai pustakawan, penulis, dan pembelajar. Saya belajar bahwa ilmu tidak berhenti di ruang baca, melainkan harus terus dibagikan, dikembangkan, dan disuarakan.
Melalui organisasi, saya belajar berkolaborasi. Melalui tulisan, saya belajar menyampaikan gagasan. Melalui penghargaan, saya belajar rendah hati. Dan melalui kesempatan beasiswa, saya belajar bahwa mimpi orang timur pun bisa terbang tinggi.
Perjalanan ini membawa saya pada satu keyakinan yang selalu saya pegang hingga kini:
“Pustakawan bukan hanya tentang buku, tapi tentang membangun peradaban dari setiap huruf yang dijaga dengan cinta.”
0 comments:
Post a Comment