Langkah Menuju Negeri Kangguru
Musim panas tahun 2014 menjadi musim yang paling menggetarkan hati saya. Setelah seluruh tahapan administratif dan pelatihan selesai, akhirnya tiket pesawat ke Adelaide berada di tangan. Saya memandangi tiket itu lama, seolah masih tidak percaya bahwa seorang pustakawan dari Kupang benar-benar akan menempuh pendidikan di luar negeri.
Sebelum keberangkatan, saya kembali ke Denpasar mengikuti Pre-Departure Training (PDT) di IALF Denpasar. Program ini menjadi semacam pemantapan bagi seluruh penerima beasiswa Australia Awards sebelum berangkat ke negeri tujuan. Di sana kami dibekali keterampilan akademik, teknik menulis ilmiah dalam bahasa Inggris, serta pengenalan budaya Australia.
Saya masih ingat hari-hari di IALF: pagi belajar academic writing, siang berdiskusi tentang metode penelitian, malam menulis esai yang akan dikoreksi esok hari. Para pengajar tidak hanya menekankan kecakapan bahasa, tetapi juga cara berpikir kritis dan terbuka—dua hal yang kemudian sangat membantu ketika saya belajar di luar negeri.
Di sela-sela pelatihan, saya sering termenung. Perjalanan ini terasa panjang sekali. Dari ruang kecil perpustakaan di Balai Penelitian Kehutanan Bali Nusra, dari meja kayu dengan komputer tua dan rak buku yang sebagian masih manual, saya melangkah sejauh ini. Saya belajar bahwa kesabaran dan ketekunan adalah mata uang paling berharga dalam menapaki tangga kehidupan.
Hari Keberangkatan
Hari keberangkatan tiba dengan campuran perasaan haru dan gembira. Keluarga, sahabat, dan rekan kerja di Kupang datang ke bandara untuk melepas saya. Ada doa, pelukan, dan pesan sederhana yang terngiang hingga kini: “Jangan lupa pulang dengan ilmu.”
Pesawat yang saya tumpangi lepas landas dari Bandara Ngurah Rai menuju Sydney, lalu dilanjutkan ke Adelaide. Saat melihat langit dari jendela pesawat, saya teringat perjalanan pertama saya dua belas tahun sebelumnya ketika naik pesawat Merpati menuju Kupang sebagai CPNS muda. Kini saya kembali di ketinggian yang sama, tapi dengan hati yang jauh lebih penuh pengalaman dan makna.
Ketika pesawat menembus awan, saya merasa seluruh perjalanan hidup saya ikut terangkat. Semua proses belajar, jatuh bangun, dan kegigihan terasa seperti pemandangan yang berlalu di bawah sayap pesawat—Kupang, Denpasar, Jakarta, hingga Adelaide—semuanya bersambung menjadi satu garis waktu panjang yang membentuk siapa saya hari ini.
Menjadi Mahasiswa di Negeri Orang
Kedatangan pertama di Adelaide memberi saya kesan yang sulit dilupakan. Udara terasa bersih dan sejuk, jalanan tertib, orang-orang ramah, dan suasana kampus University of South Australia begitu modern. Tapi di balik kekaguman itu, terselip juga rasa gugup: mampukah saya mengikuti perkuliahan dalam bahasa Inggris sepenuhnya?
Perkuliahan di Unisa menekankan self-learning. Tidak ada yang menunggu atau mengingatkan; semua bergantung pada kedisiplinan diri. Di sinilah saya benar-benar belajar arti kemandirian intelektual. Saya harus membaca berlembar-lembar jurnal, menulis laporan analisis, dan mempresentasikan proyek dalam bahasa Inggris.
Saya ingat saat pertama kali harus melakukan presentasi di depan kelas. Meskipun sudah berlatih berkali-kali di kamar, tetap saja suara saya sempat bergetar. Namun ketika melihat para dosen dan teman-teman dari berbagai negara tersenyum dan menyimak dengan antusias, rasa percaya diri itu tumbuh perlahan.
Saya belajar untuk tidak takut salah, karena dalam dunia akademik, kesalahan adalah bagian dari proses belajar. Dosen saya di Unisa sering berkata:
“Learning is not about perfection, it’s about persistence.”
Kalimat itu saya pegang teguh hingga kini—belajar bukan tentang sempurna, tapi tentang ketekunan.
Belajar dari Perbedaan Budaya
Tinggal di Australia membuka mata saya tentang pentingnya menghargai perbedaan. Saya bertemu teman dari berbagai negara: India, Filipina, Ghana, hingga Brasil. Masing-masing membawa budaya dan pandangan hidup yang berbeda, namun semua disatukan oleh semangat untuk belajar.
Dalam banyak diskusi, saya menemukan betapa kuatnya nilai-nilai keterbukaan, kejujuran akademik, dan kerja tim di lingkungan kampus. Saya juga kagum dengan sistem perpustakaan digital di Unisa yang begitu canggih. Semua koleksi bisa diakses secara daring, dan pustakawan di sana berperan aktif sebagai konsultan riset, bukan sekadar penjaga buku.
Setiap kali saya berkunjung ke perpustakaan universitas, saya selalu teringat perpustakaan di Kupang. Dalam hati, saya berjanji, suatu saat, perpustakaan di Indonesia pun akan seperti ini—terbuka, modern, dan ramah bagi siapa pun yang haus ilmu.
Saya mencatat banyak hal: cara pustakawan berinteraksi dengan pengguna, bagaimana sistem manajemen informasi dibangun, hingga bagaimana teknologi digunakan untuk memperluas akses pengetahuan. Semua catatan itu saya simpan rapi, dengan niat suatu hari nanti akan saya terapkan di tanah air.
Jatuh Bangun Menguasai Bahasa
Perjalanan akademik di luar negeri tidak selalu mulus. Salah satu tantangan terbesar adalah bahasa. Meski sudah melalui pelatihan di IALF dan memiliki skor IELTS yang cukup, kenyataannya memahami percakapan sehari-hari orang Australia tidak semudah yang saya bayangkan.
Aksen khas Australia sering membuat saya harus meminta lawan bicara mengulang kalimat mereka. Dalam seminar, saya kadang tertinggal menangkap istilah teknis. Tapi saya menolak menyerah. Setiap malam, saya menonton berita lokal dan mencatat frasa yang belum saya pahami. Saya juga berusaha aktif berdialog dengan teman-teman sekelas meski dengan kosa kata terbatas.
Ada masa-masa di mana saya merasa frustrasi, terutama saat nilai tugas pertama saya tidak sebagus yang diharapkan. Namun pengalaman itu justru mengasah ketahanan mental. Saya belajar untuk terus memperbaiki diri, memperluas perbendaharaan kata, dan menulis lebih runtut.
Saya mengikuti dua kali tes IELTS selama studi untuk memastikan kemampuan bahasa saya terus meningkat. Tes kedua akhirnya menunjukkan hasil yang jauh lebih baik. Saya bangga bukan karena nilai tinggi, tetapi karena itu menjadi bukti nyata bahwa ketekunan selalu berbuah hasil.
Menemukan Arti “Belajar” yang Sesungguhnya
Tahun 2015 menjadi masa paling produktif. Di sela jadwal kuliah dan tugas, saya sering mengunjungi perpustakaan publik di Adelaide. Saya terpesona oleh keterbukaan layanan dan budaya membaca masyarakatnya. Anak-anak, remaja, hingga lansia datang silih berganti untuk membaca, berdiskusi, atau sekadar duduk di ruang baca yang nyaman.
Saya sempat menulis catatan kecil di buku harian:
“Di negara ini, membaca adalah bagian dari kehidupan. Di tanah airku, membaca masih menjadi perjuangan.”
Catatan itu menjadi bahan renungan panjang. Saya sadar, membangun budaya literasi bukan hanya soal menyediakan buku, tapi soal membentuk kebiasaan dan lingkungan yang mendukung. Itulah pelajaran paling berharga yang saya dapatkan di Australia—bahwa perpustakaan sejati bukan sekadar tempat, tapi gerakan yang hidup di masyarakat.
Selama masa studi, saya tidak hanya fokus pada perkuliahan di kelas, tetapi juga berusaha mempraktikkan ilmu secara langsung melalui program on the job training di Brain Injury South Australia (BINSA) — sebuah lembaga yang memberikan layanan dukungan bagi individu dengan cedera otak traumatik. Di sana, saya bergabung dalam proyek manajemen rekod (record management project) yang berfokus pada penataan, digitalisasi, dan sistem retensi arsip lembaga.
Tantangannya cukup besar. BINSA memiliki beragam jenis dokumen yang kompleks — mulai dari catatan medis, laporan rehabilitasi, hingga korespondensi klien. Semua itu harus dikelola dengan prinsip kerahasiaan yang ketat dan efisiensi tinggi. Saya belajar langsung bagaimana standar pengelolaan arsip diterapkan di lembaga sosial dan kesehatan di Australia: sistematis, berbasis kebijakan, serta menjunjung tinggi akuntabilitas dan privasi pengguna layanan.
Saya masih ingat, pada minggu-minggu pertama, supervisor saya sempat ragu apakah saya bisa beradaptasi dengan cepat. Namun, dengan ketekunan dan keinginan kuat untuk belajar, saya berusaha memahami setiap prosedur dan sistem kerja mereka. Sedikit demi sedikit, saya mulai dipercaya menangani arsip digitalisasi dan merancang format indeks dokumen yang lebih efisien.
Hasil kerja itu ternyata mendapat apresiasi positif dari manajemen BINSA. Mereka menilai bahwa pendekatan yang saya gunakan — menggabungkan ketelitian teknis dengan kesadaran etis dalam menjaga informasi — memberikan nilai tambah bagi kinerja lembaga. Salah satu staf senior bahkan mengatakan bahwa sistem pengelolaan arsip yang saya bantu susun “membuat pekerjaan mereka lebih mudah dan lebih aman.”
Pengalaman di BINSA membuka mata saya bahwa profesi pustakawan dan arsiparis tidak sekadar mengelola dokumen, tetapi juga menjaga keberlanjutan memori kelembagaan yang mendukung pelayanan publik dan kemanusiaan. Di Australia, saya belajar bahwa setiap berkas memiliki cerita, setiap sistem memiliki tujuan, dan setiap pustakawan punya peran penting dalam memastikan informasi tetap hidup, akurat, dan dapat dipercaya.
Namun, studi di Australia tidak melulu tentang buku dan ruang kerja. Saya juga berkesempatan mengenal budaya lokal dan berwisata edukatif. Salah satu pengalaman paling berkesan adalah saat mengunjungi Hahndorf, sebuah desa kecil yang dikenal sebagai komunitas Jerman tertua di Australia Selatan.
Di Hahndorf, suasananya seperti melangkah ke masa lalu. Deretan rumah bergaya Bavarian, toko roti tradisional, dan galeri seni lokal menciptakan nuansa Eropa yang kental di tengah lanskap Australia. Saya menikmati berjalan di jalanan berbatu, mencicipi roti segar, dan berbincang dengan penduduk yang ramah. Dari mereka, saya belajar tentang pentingnya menjaga akar budaya di tengah arus modernisasi.
Kunjungan ke Hahndorf memberi saya perspektif baru — bahwa belajar di luar negeri bukan hanya tentang memperdalam ilmu akademik, tetapi juga tentang memahami keberagaman manusia dan nilai-nilai yang mereka jaga. Pengalaman itu menumbuhkan rasa hormat yang lebih dalam terhadap kearifan lokal, baik di Australia maupun di tanah air sendiri.
Selain kunjungan budaya, akhir pekan saya sering isi dengan bersepeda keliling kota. Salah satu rute favorit adalah menuju Port Adelaide, kawasan pelabuhan bersejarah yang menyimpan banyak cerita tentang perjalanan migrasi dan perdagangan di masa lalu. Bersepeda di sepanjang jalur tepi sungai sambil merasakan angin laut yang sejuk menjadi cara saya untuk menjaga kebugaran sekaligus mengenal lingkungan sekitar. Di Port Adelaide, saya senang berhenti di museum maritim, pasar tradisional, atau sekadar menikmati kopi di kafe tua yang masih mempertahankan gaya arsitektur kolonialnya.
Dari aktivitas-aktivitas kecil itu, saya belajar bahwa hidup di negeri orang tidak hanya soal belajar akademik, tapi juga tentang mengenal cara hidup, menghargai keberagaman, dan menumbuhkan empati lintas budaya. Setiap perjalanan akhir pekan, setiap percakapan dengan warga lokal, memberi saya pelajaran tentang kesederhanaan, kerja keras, dan pentingnya keterbukaan.
Kembali ke Tanah Air
Akhir tahun 2016, setelah menyelesaikan studi, saya bersiap kembali ke Indonesia. Saat pesawat meninggalkan Adelaide, perasaan haru menyelimuti hati. Saya menatap ke luar jendela, mengingat setiap langkah, setiap perjuangan, setiap malam panjang yang saya lalui di negeri orang.
Ketika pesawat mendarat di tanah air, saya tahu babak baru telah menanti. Saya kembali bukan sebagai orang yang sama seperti saat berangkat dulu. Ada pandangan yang lebih luas, pemahaman yang lebih dalam tentang ilmu, dan tekad yang lebih kuat untuk berkontribusi bagi negeri.
Kembali ke Kupang, saya disambut rekan-rekan sejawat dengan hangat. Banyak yang menanyakan pengalaman belajar di Australia, dan saya dengan senang hati berbagi cerita tentang sistem perpustakaan di sana, budaya akademik, serta pentingnya kolaborasi lintas bidang.
Saya mulai menerapkan beberapa hal kecil di tempat kerja: cara mengelola data digital, menata ruang baca agar lebih interaktif, hingga membuat pelatihan internal tentang literasi informasi. Saya percaya perubahan besar selalu berawal dari langkah-langkah kecil yang konsisten.
Makna Sebuah Perjalanan
Ketika saya menoleh ke belakang, perjalanan dari tahun 2005 hingga 2016 terasa seperti rangkaian panjang yang penuh warna—dari ruang sederhana di Kupang hingga aula kampus modern di Adelaide. Semua pengalaman itu menyatu menjadi satu benang merah tentang makna pengabdian dan pembelajaran seumur hidup.
Saya belajar bahwa menjadi pustakawan berarti terus bergerak di antara dua dunia: dunia pengetahuan yang terstruktur dan dunia manusia yang penuh dinamika. Kita dituntut untuk menjaga keseimbangan antara teknologi dan nilai-nilai kemanusiaan, antara sistem dan empati.
Pengalaman saya di Australia mengajarkan satu hal penting: pengetahuan yang tidak dibagikan hanyalah kesombongan intelektual. Maka, tugas seorang pustakawan sejati adalah membuka pintu ilmu bagi sebanyak mungkin orang, tanpa batas usia, jabatan, atau latar belakang.
Refleksi Rattahpinnusa
Dalam perjalanan hidup ini, saya memberi nama bagi kisah saya: Rattahpinnusa Haresariu Handisa—sebuah simbol perjalanan panjang dari akar budaya timur menuju cakrawala global, namun tetap berpijak pada tanah sendiri.
Saya menyadari, setiap langkah yang saya tempuh bukan sekadar pencapaian pribadi, tetapi bagian dari upaya membangun peradaban pengetahuan. Dari perpustakaan kecil di Balai Penelitian Kehutanan Bali Nusra, saya belajar arti kesetiaan pada profesi. Dari aktivitas di Ikatan Pustakawan Indonesia Kupang, saya belajar tentang kebersamaan. Dari tulisan-tulisan di Pos Kupang dan Timex, saya belajar menyuarakan gagasan. Dan dari bangku kuliah di Adelaide, saya belajar menjadi warga dunia yang rendah hati.
Saya menulis kisah ini bukan untuk dikenang, melainkan untuk mengingatkan diri sendiri bahwa jalan hidup yang sederhana pun bisa menjadi luar biasa jika dijalani dengan cinta dan ketulusan.
“Hidup adalah perpustakaan besar. Setiap hari kita membaca satu halaman baru, dan setiap keputusan yang kita buat adalah kalimat yang akan dibaca kembali oleh generasi berikutnya.”
Dan di situlah, saya menutup bab perjalanan ini—bukan sebagai akhir, melainkan sebagai jeda sebelum halaman berikutnya dibuka.
0 comments:
Post a Comment