Sunday, 12 October 2025

VI. Jejak di Adelaide: Antara Ilmu, Disiplin, dan Kerinduan (2014–2016)

Bimbingan dari Sang Pembentuk Disiplin

Setelah resmi memulai studi di University of South Australia (Unisa), saya ditempatkan di kampus City West, salah satu kampus modern di pusat kota Adelaide yang menjadi rumah bagi mahasiswa dari berbagai belahan dunia. Program studi Manajemen Informatika yang saya ambil berada di bawah bimbingan seorang direktur program yang luar biasa tegas namun inspiratif: Dr. Dianne Valaqius (nama disamarkan).

Dr. Dianne dikenal sebagai sosok yang disiplin dan sangat memperhatikan detail. Sejak pertemuan pertama, beliau menegaskan bahwa studi pascasarjana bukan sekadar mengejar gelar, tetapi membentuk cara berpikir ilmiah dan profesional.

“Informatics is not about technology; it’s about integrity in managing information,” katanya pada kami, sekelompok kecil mahasiswa internasional di ruang kelas yang bercahaya hangat.

Saya masih ingat bagaimana beliau selalu menuntut ketepatan waktu. Tidak ada toleransi bagi tugas yang terlambat, dan setiap pekerjaan harus menunjukkan pemahaman konsep, bukan sekadar hasil salinan teori. Dalam banyak kesempatan, saya merasa seperti sedang diuji bukan hanya dari sisi akademik, tetapi juga kedisiplinan mental.

Namun di balik ketegasannya, Dr. Dianne adalah mentor yang peduli. Ia selalu menyediakan waktu ekstra untuk berdiskusi, bahkan saat saya merasa tertinggal karena perbedaan latar belakang budaya dan sistem pendidikan. Dengan sabar, beliau membantu saya menyesuaikan gaya akademik dan memberikan umpan balik yang membangun. Saya banyak belajar dari beliau tentang etika kerja, tanggung jawab, dan pentingnya berpikir sistematis dalam menghadapi setiap tantangan.

Culture Shock dan Adaptasi yang Tidak Mudah

Meski sudah dipersiapkan lewat pelatihan pra-keberangkatan, realitas kehidupan akademik di luar negeri ternyata tidak semulus bayangan. Saya mengalami apa yang disebut banyak mahasiswa asing sebagai culture shock—benturan budaya yang membuat segala sesuatu terasa asing dan menantang.

Budaya belajar yang sangat mandiri, perbedaan cara berpikir, bahkan kebiasaan berkomunikasi yang lebih langsung membuat saya sempat merasa kehilangan arah. Saya terbiasa bekerja dalam struktur birokratis yang rapi, sementara di sini, mahasiswa dituntut untuk lebih banyak mengajukan pertanyaan dan mempertanyakan segala hal, termasuk pandangan dosennya sendiri.

Pernah suatu kali saya diam terlalu lama dalam diskusi kelas, dan Dr. Dianne menatap saya sambil tersenyum, “Don’t be afraid to disagree, Rattah. Your perspective matters.”
Kalimat sederhana itu pelan-pelan membebaskan saya dari kebiasaan diam. Saya mulai belajar menyampaikan pendapat, meski dengan bahasa Inggris yang belum sempurna.

Perlahan-lahan, saya menemukan ritme. Saya belajar bahwa perbedaan bukan penghalang, tetapi ruang untuk tumbuh. Setiap hari di Adelaide menjadi latihan kecil untuk memahami keberagaman dan memperkuat jati diri sebagai pembelajar dari Indonesia.

Aktif di Persatuan Pelajar Indonesia Australia (PPIA)

Salah satu pengalaman berharga selama studi di Unisa adalah keterlibatan saya di Persatuan Pelajar Indonesia Australia (PPIA) South Australia. Saya dipercaya sebagai Koordinator Publikasi dan Dokumentasi, peran yang sangat sesuai dengan latar belakang saya di bidang informasi dan komunikasi.

Kegiatan di PPIA memberi warna baru dalam kehidupan saya di Adelaide. Saya belajar mengatur kegiatan komunitas, berkoordinasi dengan berbagai pihak, dan tentu saja memperluas jejaring dengan mahasiswa Indonesia dari berbagai universitas. Kami menggelar diskusi budaya, festival makanan, hingga peringatan Hari Kemerdekaan RI dengan semangat kebersamaan yang luar biasa.

Menjadi bagian dari PPIA membuat saya merasa tetap dekat dengan tanah air. Setiap acara yang kami selenggarakan adalah bentuk kecil dari cinta kami pada Indonesia. Dalam komunitas ini, saya belajar mempraktikkan kemampuan manajerial—menyusun rencana, membagi tugas, dan memimpin tim lintas karakter dan latar belakang.

Tantangan komunikasi antarbudaya juga terasa. Ada saatnya perbedaan pendapat muncul, tapi dari situ saya belajar mengelola konflik dengan cara yang terbuka dan profesional. Semua pengalaman itu sangat berharga dan memperkuat keterampilan kepemimpinan saya sebagai pustakawan yang kelak akan kembali memimpin tim di tanah air.

Hidup di Cowra Street

Selama di Adelaide, saya tinggal di sebuah rumah sederhana di Cowra Street, kawasan yang tenang dan tidak jauh dari pusat kota. Rumah itu menjadi tempat bernaung sekaligus ruang refleksi. Setiap pagi, saya berangkat ke kampus menggunakan sepeda atau transportasi publik—tram dan bus yang teratur dan nyaman.

Perjalanan ke kampus selalu menjadi waktu untuk merenung. Di sepanjang jalan, saya melihat taman-taman rapi, warga yang berjalan santai sambil membawa kopi, dan suasana kota yang bersih. Di tengah keteraturan itu, saya belajar tentang pentingnya ketepatan waktu dan rasa hormat terhadap ruang publik.

Saya merasa hidup di Adelaide menanamkan nilai-nilai disiplin yang tak tertulis. Tidak ada yang mengingatkan untuk belajar, tapi lingkungan yang teratur membuat kita otomatis menyesuaikan diri. Jika di Indonesia saya sering berangkat terburu-buru, di sini saya belajar mempersiapkan segala sesuatu dengan tenang dan terencana.

Part-Time Job dan Sekolah Kehidupan

Belajar di luar negeri tidak hanya tentang kuliah. Untuk menambah pengalaman dan memahami etos kerja masyarakat Australia, saya memutuskan untuk mengambil beberapa pekerjaan paruh waktu (part-time job).

Pekerjaan pertama saya adalah pengantar katalog produk. Setiap akhir pekan, saya berkeliling lingkungan perumahan membagikan brosur dan katalog ke rumah-rumah. Meski tampak sederhana, pekerjaan itu mengajarkan saya ketekunan dan tanggung jawab. Saya belajar bahwa tidak ada pekerjaan yang rendah jika dilakukan dengan jujur.

Pekerjaan lain yang tak kalah berkesan adalah menjadi kuli pemetik anggur di ladang-ladang sekitar Adelaide Hills. Musim panen anggur selalu menjadi momen sibuk, dan saya ikut bekerja bersama para buruh dari berbagai negara. Teriknya matahari, tangan yang lecet, dan tubuh lelah di akhir hari menjadi pengalaman yang justru saya syukuri.

Dari sana saya belajar makna kerja keras sesungguhnya—bahwa setiap butir rezeki harus diiringi dengan usaha yang nyata. Kadang, di sela pekerjaan, saya tersenyum sendiri mengingat perjalanan hidup ini: dari pustakawan di Kupang menjadi mahasiswa dan pekerja musiman di Australia. Hidup memang penuh kejutan.

Menemukan Kedamaian di Tepi Torrens River

Ketika rasa rindu pada keluarga datang, saya punya satu tempat pelarian favorit: tepi Torrens River. Sungai yang membelah kota Adelaide itu menjadi saksi banyak malam saya menggelar tikar kecil, membaca buku, dan menatap langit.

Dari sanalah saya sering menulis surat elektronik untuk keluarga di Indonesia, terutama untuk istri dan anak-anak. Saya bercerita tentang kegiatan kuliah, tentang suhu dingin yang menusuk, dan tentang makanan yang mulai bisa saya masak sendiri.

Kadang saya hanya duduk diam, mendengarkan gemericik air dan burung camar yang terbang rendah di atas sungai. Dalam keheningan itu, saya menemukan keseimbangan batin. Rindu tidak lagi menjadi beban, melainkan energi untuk terus maju.

Saya sering membayangkan wajah keluarga di Kupang, terutama anak-anak yang sedang tumbuh besar. Mereka menjadi alasan terkuat saya untuk menyelesaikan studi dengan baik. Saya ingin ketika mereka dewasa nanti, mereka tahu bahwa ayahnya pernah berjuang keras demi ilmu dan masa depan mereka.

Menjelang Wisuda

Waktu berjalan cepat. Tanpa terasa, dua tahun berlalu. Akhir tahun 2016, saya menyelesaikan semua kewajiban akademik dan bersiap mengikuti wisuda pada Desember 2016.

Momen wisuda itu menjadi puncak dari seluruh perjalanan panjang saya. Yang paling membahagiakan, keluarga saya—istri, anak-anak, dan kedua orang tua—bisa hadir lengkap di Adelaide. Mereka datang jauh-jauh dari Indonesia untuk menyaksikan momen bersejarah itu.

Ketika mereka tiba di bandara Adelaide, saya menahan air mata. Rasanya semua perjuangan terbayar lunas. Melihat mereka duduk di antara hadirin saat saya berjalan di podium untuk menerima ijazah, saya merasakan kebahagiaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Setelah acara usai, kami berfoto di halaman kampus City West yang dihiasi bendera dan bunga. Angin sore Adelaide membawa aroma eukaliptus yang lembut, seolah ikut merayakan keberhasilan kecil dari perjalanan panjang seorang pustakawan dari Indonesia timur.

Pengalaman Tak Terlupakan

Hari-hari setelah wisuda saya isi dengan berkeliling kota bersama keluarga—menunjukkan tempat-tempat yang dulu menjadi bagian dari kehidupan saya: rumah di Cowra Street, kampus Unisa, perpustakaan kota, dan tentu saja tepi Torrens River tempat saya sering melepas rindu.

Kami menikmati setiap momen, berjalan di antara daun-daun kering yang berguguran, menikmati kopi di kafe kecil, dan berbicara tentang masa depan. Saya berjanji pada diri sendiri, pengalaman di Adelaide ini tidak akan berhenti sebagai kenangan, tetapi akan menjadi fondasi untuk langkah-langkah pengabdian berikutnya.

Dari Adelaide, saya membawa pulang bukan hanya gelar akademik, tetapi juga nilai-nilai kehidupan: disiplin, kerja keras, keterbukaan, dan kerendahan hati. Semua itu menjadi bekal yang sangat berharga untuk melanjutkan perjalanan sebagai pustakawan, pengajar, dan pembelajar seumur hidup.

Penutup – Rattahpinnusa dan Jejak yang Tertinggal

Perjalanan saya di Adelaide mengajarkan satu hal sederhana namun mendalam:

“Ilmu tidak hanya ditemukan di ruang kuliah, tetapi di setiap pengalaman yang kita jalani dengan hati terbuka.”

Dari ruang kelas Dr. Dianne hingga ladang anggur di pinggiran kota, dari rapat PPIA hingga sore di tepi Torrens River—semuanya adalah bagian dari universitas kehidupan yang membentuk siapa saya hari ini.

Ketika pesawat membawa kami kembali ke Indonesia, saya menatap ke luar jendela dan berbisik pelan,

“Terima kasih, Adelaide. Engkau telah mengajari saya arti sebenarnya dari belajar, bekerja, dan mencintai dari jauh.”

Dan begitulah, bab Rattahpinnusa Haresariu Handisa di Adelaide berakhir—bukan sebagai penutup, tetapi sebagai fondasi bagi bab berikutnya: pengabdian dan perjalanan pulang membangun kembali dunia pengetahuan di tanah air.

0 comments: