Sunday, 12 October 2025

VI. Jejak di Adelaide: Antara Ilmu, Disiplin, dan Kerinduan (2014–2016)

Aktif di Persatuan Pelajar Indonesia Australia (PPIA)

Salah satu pengalaman berharga selama studi di Unisa adalah keterlibatan saya di Persatuan Pelajar Indonesia Australia (PPIA) South Australia. Saya dipercaya sebagai Koordinator Publikasi dan Dokumentasi, peran yang sangat sesuai dengan latar belakang saya di bidang informasi dan komunikasi.

Kegiatan di PPIA memberi warna baru dalam kehidupan saya di Adelaide. Saya belajar mengatur kegiatan komunitas, berkoordinasi dengan berbagai pihak, dan tentu saja memperluas jejaring dengan mahasiswa Indonesia dari berbagai universitas. Kami menggelar diskusi budaya, festival makanan, hingga peringatan Hari Kemerdekaan RI dengan semangat kebersamaan yang luar biasa.

Menjadi bagian dari PPIA membuat saya merasa tetap dekat dengan tanah air. Setiap acara yang kami selenggarakan adalah bentuk kecil dari cinta kami pada Indonesia. Dalam komunitas ini, saya belajar mempraktikkan kemampuan manajerial—menyusun rencana, membagi tugas, dan memimpin tim lintas karakter dan latar belakang.

Tantangan komunikasi antarbudaya juga terasa. Ada saatnya perbedaan pendapat muncul, tapi dari situ saya belajar mengelola konflik dengan cara yang terbuka dan profesional. Semua pengalaman itu sangat berharga dan memperkuat keterampilan kepemimpinan saya sebagai pustakawan yang kelak akan kembali memimpin tim di tanah air.

Kisah Pengalaman Organisasi Saya di Australia Selatan

Selama menempuh studi di University of South Australia (UNISA), saya tidak hanya fokus pada kegiatan akademik, tetapi juga berupaya mengasah kemampuan berorganisasi dan memperluas jejaring. Saat itu, saya bergabung dengan Persatuan Pelajar Indonesia Australia (PPIA) South Australia, sebuah organisasi tingkat negara bagian yang mewadahi mahasiswa Indonesia yang belajar di Flinders University, University of Adelaide, dan University of South Australia.

Saya diberikan kepercayaan untuk menjabat sebagai Koordinator Bidang Media dan Humas di bawah kepemimpinan Presiden PPIA SA, Saudara Maulana dari Flinders University, pada periode 2015–2016. Dalam peran tersebut, saya bertanggung jawab mengelola komunikasi publik, menyebarluaskan informasi kegiatan, serta menjaga hubungan baik antara PPIA dengan komunitas mahasiswa dan masyarakat Indonesia di Australia Selatan.

Kegiatan PPIA sangat beragam — mulai dari kegiatan akademik seperti seminar dan diskusi ilmiah, hingga kegiatan sosial kemasyarakatan seperti penyambutan mahasiswa baru, buka puasa bersama, family gathering, dan acara Back for Good bagi pelajar yang akan kembali ke Indonesia. Salah satu momen berkesan adalah ketika PPIA SA berkolaborasi dengan berbagai komunitas Indonesia di Adelaide untuk menyelenggarakan INDO FEST, sebuah festival budaya yang memperkenalkan seni dan kuliner Indonesia kepada masyarakat setempat.

Menjelang akhir masa kepengurusan, saya dipercaya menjadi Ketua Panitia Pelaksana Rapat Pertanggungjawaban Tahunan sekaligus memimpin proses regenerasi kepemimpinan PPIA SA. Tugas tersebut memberi saya pengalaman berharga dalam time management, koordinasi tim lintas kampus, serta komunikasi antarbudaya yang menuntut ketepatan, empati, dan diplomasi.



Dari pengalaman berorganisasi ini, saya belajar bahwa keterlibatan di luar ruang kuliah sama pentingnya dengan capaian akademik. PPIA SA menjadi ruang pembelajaran nyata tentang kepemimpinan, kolaborasi, dan bagaimana membangun jaringan lintas bangsa dengan semangat kebersamaan dan profesionalisme


Magang Di BINSA

Selama masa studi, saya tidak hanya fokus pada perkuliahan di kelas, tetapi juga berusaha mempraktikkan ilmu secara langsung melalui program on the job training di Brain Injury South Australia (BINSA) — sebuah lembaga yang memberikan layanan dukungan bagi individu dengan cedera otak traumatik. Di sana, saya bergabung dalam proyek manajemen rekod (record management project) yang berfokus pada penataan, digitalisasi, dan sistem retensi arsip lembaga.

Tantangannya cukup besar. BINSA memiliki beragam jenis dokumen yang kompleks — mulai dari catatan medis, laporan rehabilitasi, hingga korespondensi klien. Semua itu harus dikelola dengan prinsip kerahasiaan yang ketat dan efisiensi tinggi. Saya belajar langsung bagaimana standar pengelolaan arsip diterapkan di lembaga sosial dan kesehatan di Australia: sistematis, berbasis kebijakan, serta menjunjung tinggi akuntabilitas dan privasi pengguna layanan.

Saya masih ingat, pada minggu-minggu pertama, supervisor saya sempat ragu apakah saya bisa beradaptasi dengan cepat. Namun, dengan ketekunan dan keinginan kuat untuk belajar, saya berusaha memahami setiap prosedur dan sistem kerja mereka. Sedikit demi sedikit, saya mulai dipercaya menangani arsip digitalisasi dan merancang format indeks dokumen yang lebih efisien.

Hasil kerja itu ternyata mendapat apresiasi positif dari manajemen BINSA. Mereka menilai bahwa pendekatan yang saya gunakan — menggabungkan ketelitian teknis dengan kesadaran etis dalam menjaga informasi — memberikan nilai tambah bagi kinerja lembaga. Salah satu staf senior bahkan mengatakan bahwa sistem pengelolaan arsip yang saya bantu susun “membuat pekerjaan mereka lebih mudah dan lebih aman.”

Pengalaman di BINSA membuka mata saya bahwa profesi pustakawan dan arsiparis tidak sekadar mengelola dokumen, tetapi juga menjaga keberlanjutan memori kelembagaan yang mendukung pelayanan publik dan kemanusiaan. Di Australia, saya belajar bahwa setiap berkas memiliki cerita, setiap sistem memiliki tujuan, dan setiap pustakawan punya peran penting dalam memastikan informasi tetap hidup, akurat, dan dapat dipercaya.


Menemukan Kedamaian di Tepi Torrens River

Ketika rasa rindu pada keluarga datang, saya punya satu tempat pelarian favorit: tepi Torrens River. Sungai yang membelah kota Adelaide itu menjadi saksi banyak malam saya menggelar tikar kecil, membaca buku, dan menatap langit.

Dari sanalah saya sering menulis surat elektronik untuk keluarga di Indonesia, terutama untuk istri dan anak-anak. Saya bercerita tentang kegiatan kuliah, tentang suhu dingin yang menusuk, dan tentang makanan yang mulai bisa saya masak sendiri.

Kadang saya hanya duduk diam, mendengarkan gemericik air dan burung camar yang terbang rendah di atas sungai. Dalam keheningan itu, saya menemukan keseimbangan batin. Rindu tidak lagi menjadi beban, melainkan energi untuk terus maju.

Saya sering membayangkan wajah keluarga di Kupang, terutama anak-anak yang sedang tumbuh besar. Mereka menjadi alasan terkuat saya untuk menyelesaikan studi dengan baik. Saya ingin ketika mereka dewasa nanti, mereka tahu bahwa ayahnya pernah berjuang keras demi ilmu dan masa depan mereka.

Menjelang Wisuda

Waktu berjalan cepat. Tanpa terasa, dua tahun berlalu. Akhir tahun 2016, saya menyelesaikan semua kewajiban akademik dan bersiap mengikuti wisuda pada Desember 2016.

Momen wisuda itu menjadi puncak dari seluruh perjalanan panjang saya. Yang paling membahagiakan, keluarga saya—istri, anak-anak, dan kedua orang tua—bisa hadir lengkap di Adelaide. Mereka datang jauh-jauh dari Indonesia untuk menyaksikan momen bersejarah itu.

Ketika mereka tiba di bandara Adelaide, saya menahan air mata. Rasanya semua perjuangan terbayar lunas. Melihat mereka duduk di antara hadirin saat saya berjalan di podium untuk menerima ijazah, saya merasakan kebahagiaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Setelah acara usai, kami berfoto di halaman kampus City West yang dihiasi bendera dan bunga. Angin sore Adelaide membawa aroma eukaliptus yang lembut, seolah ikut merayakan keberhasilan kecil dari perjalanan panjang seorang pustakawan dari Indonesia timur.

Pengalaman Tak Terlupakan

Hari-hari setelah wisuda saya isi dengan berkeliling kota bersama keluarga—menunjukkan tempat-tempat yang dulu menjadi bagian dari kehidupan saya: rumah di Cowra Street, kampus Unisa, perpustakaan kota, dan tentu saja tepi Torrens River tempat saya sering melepas rindu.

Kami menikmati setiap momen, berjalan di antara daun-daun kering yang berguguran, menikmati kopi di kafe kecil, dan berbicara tentang masa depan. Saya berjanji pada diri sendiri, pengalaman di Adelaide ini tidak akan berhenti sebagai kenangan, tetapi akan menjadi fondasi untuk langkah-langkah pengabdian berikutnya.

Dari Adelaide, saya membawa pulang bukan hanya gelar akademik, tetapi juga nilai-nilai kehidupan: disiplin, kerja keras, keterbukaan, dan kerendahan hati. Semua itu menjadi bekal yang sangat berharga untuk melanjutkan perjalanan sebagai pustakawan, pengajar, dan pembelajar seumur hidup.

Kembali ke Tanah Air

Akhir tahun 2016, setelah menyelesaikan studi, saya bersiap kembali ke Indonesia. Saat pesawat meninggalkan Adelaide, perasaan haru menyelimuti hati. Saya menatap ke luar jendela, mengingat setiap langkah, setiap perjuangan, setiap malam panjang yang saya lalui di negeri orang.

Ketika pesawat mendarat di tanah air, saya tahu babak baru telah menanti. Saya kembali bukan sebagai orang yang sama seperti saat berangkat dulu. Ada pandangan yang lebih luas, pemahaman yang lebih dalam tentang ilmu, dan tekad yang lebih kuat untuk berkontribusi bagi negeri.

Kembali ke Kupang, saya disambut rekan-rekan sejawat dengan hangat. Banyak yang menanyakan pengalaman belajar di Australia, dan saya dengan senang hati berbagi cerita tentang sistem perpustakaan di sana, budaya akademik, serta pentingnya kolaborasi lintas bidang.

Saya mulai menerapkan beberapa hal kecil di tempat kerja: cara mengelola data digital, menata ruang baca agar lebih interaktif, hingga membuat pelatihan internal tentang literasi informasi. Saya percaya perubahan besar selalu berawal dari langkah-langkah kecil yang konsisten.

Makna Sebuah Perjalanan

Ketika saya menoleh ke belakang, perjalanan dari tahun 2005 hingga 2016 terasa seperti rangkaian panjang yang penuh warna—dari ruang sederhana di Kupang hingga aula kampus modern di Adelaide. Semua pengalaman itu menyatu menjadi satu benang merah tentang makna pengabdian dan pembelajaran seumur hidup.

Saya belajar bahwa menjadi pustakawan berarti terus bergerak di antara dua dunia: dunia pengetahuan yang terstruktur dan dunia manusia yang penuh dinamika. Kita dituntut untuk menjaga keseimbangan antara teknologi dan nilai-nilai kemanusiaan, antara sistem dan empati.

Pengalaman saya di Australia mengajarkan satu hal penting: pengetahuan yang tidak dibagikan hanyalah kesombongan intelektual. Maka, tugas seorang pustakawan sejati adalah membuka pintu ilmu bagi sebanyak mungkin orang, tanpa batas usia, jabatan, atau latar belakang.

Refleksi Rattahpinnusa

Dalam perjalanan hidup ini, saya memberi nama bagi kisah saya: Rattahpinnusa Haresariu Handisa—sebuah simbol perjalanan panjang dari akar budaya timur menuju cakrawala global, namun tetap berpijak pada tanah sendiri.

Saya menyadari, setiap langkah yang saya tempuh bukan sekadar pencapaian pribadi, tetapi bagian dari upaya membangun peradaban pengetahuan. Dari perpustakaan kecil di Balai Penelitian Kehutanan Bali Nusra, saya belajar arti kesetiaan pada profesi. Dari aktivitas di Ikatan Pustakawan Indonesia Kupang, saya belajar tentang kebersamaan. Dari tulisan-tulisan di Pos Kupang dan Timex, saya belajar menyuarakan gagasan. Dan dari bangku kuliah di Adelaide, saya belajar menjadi warga dunia yang rendah hati.

Kini, ketika saya kembali membuka halaman demi halaman kehidupan, saya melihat satu pola yang jelas: bahwa semua hal indah lahir dari kesabaran dan niat baik.
Menjadi pustakawan bukan sekadar pekerjaan; ia adalah panggilan hati untuk menjaga terang pengetahuan di tengah zaman yang terus berubah.

Saya menulis kisah ini bukan untuk dikenang, melainkan untuk mengingatkan diri sendiri bahwa jalan hidup yang sederhana pun bisa menjadi luar biasa jika dijalani dengan cinta dan ketulusan.

“Hidup adalah perpustakaan besar. Setiap hari kita membaca satu halaman baru, dan setiap keputusan yang kita buat adalah kalimat yang akan dibaca kembali oleh generasi berikutnya.”

Dan di situlah, saya menutup bab perjalanan ini—bukan sebagai akhir, melainkan sebagai jeda sebelum halaman berikutnya dibuka.

Rattahpinnusa dan Jejak yang Tertinggal

Perjalanan saya di Adelaide mengajarkan satu hal sederhana namun mendalam:

“Ilmu tidak hanya ditemukan di ruang kuliah, tetapi di setiap pengalaman yang kita jalani dengan hati terbuka.”

Dari ruang kelas Dr. Dianne hingga ladang anggur di pinggiran kota, dari rapat PPIA hingga sore di tepi Torrens River—semuanya adalah bagian dari universitas kehidupan yang membentuk siapa saya hari ini.

Ketika pesawat membawa kami kembali ke Indonesia, saya menatap ke luar jendela dan berbisik pelan,

“Terima kasih, Adelaide. Engkau telah mengajari saya arti sebenarnya dari belajar, bekerja, dan mencintai dari jauh.”

Dan begitulah, bab Rattahpinnusa Haresariu Handisa di Adelaide berakhir—bukan sebagai penutup, tetapi sebagai fondasi bagi bab berikutnya: pengabdian dan perjalanan pulang membangun kembali dunia pengetahuan di tanah air.

0 comments: