Kepulangan yang Penuh Arti
Setelah menutup bab panjang di Adelaide, saya kembali ke Indonesia dengan hati penuh syukur dan tekad baru. Tahun 2017 menjadi awal dari fase baru: kembali bertugas di Balai Penelitian Kehutanan Kupang, tempat yang dulu saya tinggalkan untuk belajar. Kini, saya datang dengan pandangan yang lebih luas dan semangat untuk menerapkan ilmu yang saya bawa dari Australia.
Kupang menyambut saya dengan cahaya matahari yang hangat dan angin kering dari arah Teluk. Aroma laut bercampur dengan debu jalanan seolah mengingatkan bahwa tanah ini adalah rumah sejati saya. Kembali ke Nusa Tenggara Timur bukan hanya penugasan, tapi juga panggilan hati.
Saya sadar, tugas seorang pustakawan di lembaga penelitian bukan sekadar mengelola buku dan data. Lebih dari itu, pustakawan adalah penjaga pengetahuan, penggerak informasi ilmiah, dan jembatan antara hasil penelitian dengan masyarakat.
Dengan semangat baru, saya bergabung dalam tim Seksi Data dan Informasi Balai Penelitian Kehutanan Kupang—sebuah posisi yang membawa kembali kenangan awal karier saya lebih dari satu dekade lalu. Bedanya, kali ini saya datang dengan bekal pengalaman manajemen informasi dari luar negeri dan pandangan global tentang pentingnya profesionalisme pustakawan riset.
Mengelola Jurnal Falok: Kolaborasi Lintas Balai
Salah satu tanggung jawab pertama yang saya emban setelah kembali adalah keterlibatan dalam pengelolaan Jurnal Falok, jurnal ilmiah kehutanan yang dikelola bersama oleh tiga balai litbang: Kupang, Mataram, dan Makassar.
Falok bukan sekadar jurnal ilmiah; ia adalah ruang intelektual bagi para peneliti di kawasan timur Indonesia untuk berbagi gagasan dan hasil riset. Tantangan terbesar dalam mengelolanya adalah menjaga konsistensi mutu naskah dan memperkuat jejaring antarbalai.
Saya berperan dalam penyusunan tata kelola penerbitan ilmiah, memperkenalkan sistem pengelolaan berbasis Open Journal System (OJS) agar proses editorial lebih transparan dan efisien. Perubahan ini tidak selalu mudah. Banyak rekan masih terbiasa dengan cara manual, namun dengan pendekatan yang sabar dan pelatihan berulang, sistem baru mulai diterima.
Dalam perjalanan ini, saya belajar bahwa perubahan tidak selalu datang dari kebijakan besar, melainkan dari kesabaran kecil yang dilakukan terus-menerus. Falok perlahan berkembang menjadi jurnal yang terindeks nasional, dan kontribusi lintas balai menjadikannya simbol kolaborasi dan semangat berbagi pengetahuan di wilayah timur Indonesia.
Naik Jabatan dan Pengakuan Profesional
Tahun-tahun berikutnya membawa kabar menggembirakan. Pada 2018, saya resmi naik jabatan menjadi Pustakawan Muda, sebuah pencapaian yang saya anggap bukan sekadar kenaikan pangkat, tetapi bentuk kepercayaan lembaga atas dedikasi dan profesionalisme.
Tahun yang sama, saya kembali mengukir prestasi dengan meraih penghargaan sebagai Juara Menulis Pustakawan Tingkat Provinsi NTT. Tulisan yang saya kirim waktu itu berjudul “Pustakawan di Era Digital: Menjaga Akar, Menyapa Masa Depan”—sebuah refleksi atas peran pustakawan di tengah perubahan teknologi informasi yang cepat.
Saya tidak menyangka tulisan itu mendapat apresiasi tinggi. Namun saya percaya, kekuatan tulisan bukan pada indahnya kata, melainkan pada ketulusan pengalaman yang dibagikan. Penghargaan itu menjadi pengingat bahwa pustakawan bukan hanya pengelola data, tetapi juga pengisah, penulis, dan penjaga narasi ilmu pengetahuan bangsa.
Mengawal Akreditasi Perpustakaan Cendana
Masih pada tahun yang sama, saya diberi tanggung jawab baru: mengawal proses akreditasi Perpustakaan Cendana, yang berada di bawah Balai Penelitian Kehutanan Kupang.
Proses akreditasi ini tidak mudah. Mulai dari penataan koleksi, pembaruan sarana, penyusunan standar layanan, hingga pendokumentasian kegiatan, semua harus dilakukan sesuai pedoman Perpustakaan Nasional. Tim kecil kami bekerja keras, kadang sampai malam hari, memastikan setiap butir bukti fisik dan digital tertata rapi.
Akhirnya, kerja keras itu berbuah hasil. Pada akhir 2018, Perpustakaan Cendana memperoleh akreditasi “B” dari Perpustakaan Nasional RI. Bagi kami, predikat ini bukan hanya nilai administratif, tapi bentuk pengakuan atas semangat kolaboratif tim kecil di Kupang yang terus menjaga eksistensi perpustakaan di daerah.
Saya belajar satu hal penting: akreditasi bukan sekadar dokumen penilaian, melainkan perjalanan pembelajaran menuju mutu layanan yang lebih baik. Di situ pula saya memahami bahwa pustakawan adalah pemimpin perubahan dalam skala mikro—dari ruang baca kecil, lahir budaya literasi yang besar.
Pindah ke Bogor: Meniti Jalur Baru
Akhir tahun 2018 membuka lembaran baru lagi. Saya mendapat kesempatan pindah tugas ke Perpustakaan RI Ardi Kusuma Bogor, yang berada di lingkungan Sekretariat Badan Litbang dan Inovasi Kehutanan.
Perpindahan ini bukan hanya perubahan lokasi, tetapi juga tantangan baru dalam skala nasional. Jika sebelumnya saya bekerja di lingkungan riset regional, kini saya masuk ke pusat kegiatan ilmiah nasional yang menjadi sumber kebijakan kehutanan.
Bogor memberi suasana yang sangat berbeda. Udara sejuk, ritme kerja cepat, dan lingkungan profesional yang menuntut standar tinggi. Di sinilah saya merasa ilmu dan pengalaman selama di Australia benar-benar diuji.
Saya berusaha membawa semangat keterbukaan dan inovasi dalam pengelolaan perpustakaan. Salah satu langkah penting adalah menginisiasi akreditasi Perpustakaan Ardi Kusuma dengan pendekatan berbasis mutu berkelanjutan.
Akreditasi “A”: Bukti Kerja Kolektif
Setelah proses panjang yang melibatkan perencanaan, penataan koleksi, digitalisasi arsip, dan penguatan layanan berbasis teknologi, akhirnya pada tahun 2020 kami berhasil membawa Perpustakaan Ardi Kusuma meraih akreditasi “A” dari Perpustakaan Nasional RI.
Capaian ini terasa istimewa. Tidak hanya karena nilai tertinggi, tetapi juga karena dilakukan di tengah masa pandemi yang membatasi aktivitas tatap muka. Tim bekerja dalam kondisi penuh keterbatasan, namun semangat untuk menjaga kualitas layanan tidak pernah surut.
Saya belajar, di balik setiap sertifikat akreditasi ada cerita tentang kerja keras, kerja tim, dan komitmen. Hasil itu juga menjadi bukti bahwa pustakawan Indonesia, dengan segala keterbatasannya, mampu menunjukkan profesionalisme dan dedikasi tinggi jika diberi ruang berkembang.
Titik Balik: Transformasi Lembaga
Tahun 2022 menjadi tahun penuh perubahan. Pemerintah memutuskan untuk membubarkan Badan Litbang dan Inovasi Kehutanan, lembaga tempat saya bernaung selama bertahun-tahun, dan menggantinya dengan Badan Standardisasi Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BSILHK).
Perubahan struktur organisasi ini tentu membawa dampak besar. Banyak jabatan berubah, unit kerja digabung atau dialihkan, dan sistem administrasi harus menyesuaikan. Dalam situasi penuh ketidakpastian itu, saya belajar tentang arti fleksibilitas dan ketenangan menghadapi transisi.
Sebagai Pustakawan Muda, saya tidak hanya bertugas di bidang informasi, tetapi juga mendapat tugas tambahan sebagai Ketua Tim Kerja Perlengkapan Barang Milik Negara (BMN) serta Tim Kerja Hukum di sekretariat baru.
Tanggung jawab ini menantang, tetapi sekaligus memperluas wawasan saya tentang tata kelola kelembagaan dan peran pustakawan dalam mendukung manajemen organisasi. Saya menyadari bahwa profesi pustakawan kini tidak lagi terbatas pada ruang baca, melainkan turut terlibat dalam sistem manajemen pengetahuan dan administrasi modern.
Refleksi atas Perjalanan 2017–2022
Melihat ke belakang, lima tahun ini terasa seperti rangkaian ujian dan berkah yang datang bergantian. Saya belajar bahwa perjalanan karier tidak pernah lurus; selalu ada tikungan yang membawa kita pada pemahaman baru.
Kembali ke Kupang mengajarkan saya tentang arti kesetiaan pada akar. Pindah ke Bogor memperluas pandangan saya tentang peran pustakawan dalam sistem nasional. Dan ketika lembaga berubah menjadi BSILHK, saya belajar arti bertahan dan menyesuaikan diri tanpa kehilangan integritas profesi.
Dalam setiap fase, saya menemukan makna bahwa pustakawan sejati bukan hanya pengelola informasi, tetapi juga pengelola perubahan. Ia hadir di setiap transisi, menata ulang sistem, dan memastikan pengetahuan tetap hidup di tengah arus birokrasi yang berganti.
Menjaga Nyala Semangat
Menulis kembali perjalanan ini membuat saya sadar: apa yang saya jalani bukan sekadar karier, tetapi panggilan hidup. Pustakawan, bagi saya, adalah profesi yang sunyi namun bermakna. Ia tidak selalu terlihat di panggung utama, tapi selalu hadir di balik layar, memastikan ilmu pengetahuan mengalir dengan baik.
Ketika rekan-rekan bertanya apa yang membuat saya tetap bertahan di dunia kepustakawanan selama lebih dari satu dekade, saya hanya menjawab sederhana:
“Karena saya percaya, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pengetahuan. Dan pustakawan adalah penjaga gerbang pengetahuan itu.”
Kini, di tengah perubahan struktur kelembagaan dan tantangan digitalisasi, saya tetap melangkah dengan keyakinan yang sama. Selama masih ada orang yang haus ilmu, pustakawan akan tetap dibutuhkan. Dan selama masih ada buku—baik fisik maupun digital—akan selalu ada makna dalam profesi ini.
0 comments:
Post a Comment