Sunday, 12 October 2025

XX. Epilog — Menjaga Api di Tengah Hutan Pengetahuan

 Dua puluh tahun telah berlalu sejak langkah pertama saya menapaki tangga dunia kepustakawanan. Dari ruang kecil berdebu di Balai Penelitian Kehutanan Bali Nusa Tenggara hingga ruang rapat modern di Pusat Data dan Informasi Kementerian Kehutanan, waktu berjalan secepat bayangan yang berpindah di antara dedaunan. Namun di balik laju itu, ada jejak panjang pembelajaran, kerja keras, dan permenungan yang tak pernah selesai.

Menjadi pustakawan bukanlah jalan yang populer ketika saya memulainya. Profesi ini kerap dianggap sunyi, bahkan terpinggirkan. Banyak orang membayangkan pustakawan hanya duduk di belakang meja, mencatat dan meminjamkan buku. Tapi bagi saya, di situlah justru letak kebesaran profesi ini: ia sunyi, tetapi berpengaruh; ia tidak banyak bicara, tetapi menjaga denyut kehidupan ilmu pengetahuan bangsa.

Saya belajar bahwa setiap buku yang tersusun di rak adalah hasil perjalanan panjang manusia yang mencari arti hidup. Setiap data yang tersimpan dengan rapi adalah bentuk tanggung jawab kita terhadap masa depan. Dan setiap perpustakaan, sekecil apa pun, adalah ruang keabadian gagasan.

Ketika saya menoleh ke belakang, perjalanan ini bukan tanpa jatuh bangun. Dari keterbatasan fasilitas di Kupang, peralihan sistem manual ke otomasi, hingga perjuangan melanjutkan studi ke Australia yang penuh rintangan budaya dan bahasa — semua meninggalkan bekas yang mendalam. Ada masa-masa ketika saya hampir menyerah, ketika rindu keluarga terasa seperti beban yang tak tertahankan. Namun di situlah kekuatan baru tumbuh: dari kesabaran, dari tekad, dan dari keyakinan bahwa ilmu adalah cahaya yang tak boleh padam.

Saya masih ingat ketika berdiri di tepi Torrens River, di Adelaide, menatap air yang mengalir pelan sambil membuka buku dan mengenang wajah keluarga di Indonesia. Saat itu saya memahami bahwa pengabdian tidak selalu berarti hadir secara fisik, tetapi bagaimana kita menjaga makna dari jarak — tetap belajar, tetap berjuang, agar kelak pulang membawa manfaat.

Kembali ke tanah air pada 2017 membawa tanggung jawab baru: membangun kembali, menata ulang, dan menyesuaikan langkah dengan perubahan zaman. Dunia pustakawan tidak lagi sama. Teknologi digital merambah cepat, mengubah cara orang mencari, mengelola, dan memahami informasi. Namun esensinya tetap: pustakawan adalah penuntun. Di tengah banjir informasi, ia menyalakan lentera agar orang tak tersesat.

Saya bersyukur karena sepanjang perjalanan, saya dikelilingi oleh orang-orang yang tulus — rekan sejawat, mentor, dan pimpinan yang memberi ruang tumbuh. Mereka tidak hanya mengajarkan pekerjaan, tetapi juga kebijaksanaan hidup. Saya belajar bahwa di balik sistem dan dokumen, ada nilai kemanusiaan yang jauh lebih besar: empati, kesabaran, dan semangat untuk terus berbagi pengetahuan.

Kini, setelah lebih dari dua dekade mengabdi, saya memahami bahwa profesi pustakawan sejati bukanlah tentang seberapa tinggi jabatan atau seberapa banyak sertifikat yang dikantongi. Melainkan tentang seberapa banyak pengetahuan yang berhasil dijaga dan diwariskan.

Ilmu itu seperti hutan. Ia tumbuh perlahan, memerlukan ketekunan, perawatan, dan perlindungan. Bila dirawat dengan baik, ia menjadi paru-paru bagi peradaban. Bila dibiarkan gundul, bangsa akan kehilangan arah. Dan pustakawan, sejatinya, adalah penjaga hutan itu — rimbawan pengetahuan yang menjaga keseimbangan antara tradisi dan inovasi, antara teks dan nilai.

Kepada generasi muda pustakawan, saya ingin menitipkan pesan sederhana:
Jangan pernah merasa kecil karena memilih profesi ini. Dunia mungkin berubah cepat, tetapi nilai dasar pustakawan — kejujuran, integritas, dan pelayanan ilmu — tidak akan lekang oleh waktu. Jadilah penjaga data yang andal, tetapi juga penjaga nurani yang lembut. Jadilah profesional yang terampil, tetapi juga manusia yang rendah hati.

Karena sesungguhnya, bekerja di dunia kepustakawanan adalah bekerja untuk peradaban. Kita mungkin tak selalu berada di panggung utama, tetapi dari balik layar, kita menyalakan lampu agar dunia tetap terang.

Saya menulis kisah ini bukan untuk membanggakan pencapaian, melainkan untuk menyadari betapa setiap langkah kecil ternyata memiliki arti besar bila dijalani dengan ketulusan. Bahwa hidup adalah serangkaian bab yang harus ditulis dengan kejujuran — baik saat bahagia, lelah, maupun ragu.

Dan kini, ketika menatap masa depan yang masih panjang, saya hanya ingin tetap berjalan di jalur ini: menjadi pustakawan yang belajar seumur hidup. Sebab dalam belajar, manusia menemukan dirinya; dalam berbagi pengetahuan, manusia menemukan makna hidupnya.

Maka biarlah kisah ini berakhir di sini, tapi semangatnya tidak.
Karena selama masih ada buku yang dibuka, data yang dikaji, dan generasi yang haus akan ilmu, tugas seorang pustakawan sejati tidak akan pernah selesai.

Rattahpinnusa Haresariu Handisa
Bogor – Jakarta, 2025

IX. Meniti Ujung Ranting, Merenda Akar Baru (2023–2025)

 Perjalanan hidup kerap membawa manusia pada persimpangan yang tak selalu mudah ditebak. Tahun 2023 menjadi tahun yang sarat dinamika bagi dunia kerja saya, sekaligus momentum besar bagi arah kelembagaan di tempat saya mengabdi. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang selama ini berdiri dalam satu atap besar, memasuki fase pemisahan kembali menjadi dua entitas: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan.

Pemisahan itu tidak sekadar berarti pergeseran struktur organisasi, tetapi juga membawa gelombang perubahan dalam penataan sumber daya manusia, sarana, dan kebijakan teknis. Dalam proses tersebut, Badan Standardisasi Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BSILHK) — tempat saya mengabdikan diri beberapa tahun terakhir — resmi dinyatakan dibubarkan.

Bagi banyak orang, pembubaran ini seperti kehilangan sebuah rumah besar yang telah membesarkan banyak ide, penelitian, dan kerja sama. Bagi saya pribadi, BSILHK bukan sekadar unit kerja, melainkan tempat di mana nilai integritas dan kolaborasi tumbuh subur. Saya masih ingat jelas saat dipercaya menjadi bagian dari tim penyusunan dokumen lingkungan Kantor Pusat BSI Gunung Batu, sebuah pengalaman yang mempertemukan saya dengan banyak sosok inspiratif, salah satunya Pak Dasminto, S.Pi., M.Si. — seorang figur yang saya anggap sebagai guru kehidupan dan mentor sejati.

Dari beliau, saya belajar tentang ketelitian, kesabaran, dan nilai tanggung jawab yang sederhana namun mendalam. Ia tidak banyak berbicara, tetapi setiap arahannya tajam dan penuh makna. “Kualitas kerja itu bukan dari seberapa cepat selesai, tapi seberapa dalam kita memahami maknanya,” begitu salah satu pesannya yang masih saya ingat. Dalam setiap rapat, dalam setiap lembar dokumen yang kami kerjakan bersama, saya menemukan keteladanan dalam diam — bentuk kepemimpinan yang menumbuhkan, bukan menekan.

Ketika wacana pemisahan kementerian mulai menguat, muncul dilema pribadi yang cukup berat: apakah saya akan tetap bertahan di ranah lingkungan hidup, atau kembali ke kementerian kehutanan, akar profesi dan jiwa rimbawan yang sudah melekat sejak awal pengabdian?

Pertimbangan itu tidak hanya bersifat administratif, melainkan juga spiritual dan emosional. Lingkungan hidup memberi ruang bagi pengembangan lintas disiplin, sementara kehutanan telah menanamkan nilai-nilai rimba yang mendalam dalam diri saya — nilai kesetiaan, ketekunan, dan penghormatan terhadap alam sebagai bagian dari kehidupan.

Pada akhirnya, setelah melalui perenungan panjang, saya memilih untuk kembali ke kehutanan. Saya sadar, jalan pulang bukan berarti mundur. Justru, di sanalah akar nilai profesional dan pengabdian saya tumbuh. Jiwa rimbawan adalah napas yang tidak bisa dipisahkan dari perjalanan saya sebagai pustakawan di sektor kehutanan.

Tahun 2025 menjadi awal babak baru setelah badai perubahan organisasi itu mereda. Saya mendapatkan amanah baru untuk bertugas di Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Kehutanan sebagai Pustakawan Madya. Penugasan ini terasa seperti lingkaran kehidupan yang berputar kembali: dari dulu mengelola data, pengetahuan, dan informasi di Kupang, kini kembali berhadapan dengan dunia data di tingkat pusat — dengan tantangan yang lebih luas dan teknologi yang jauh lebih kompleks.

Di Pusdatin, saya menemukan kembali gairah untuk belajar. Dunia pustakawan kini telah bertransformasi ke arah digitalisasi penuh, dengan tekanan pada open access, interoperabilitas data, dan integrasi sistem informasi. Tanggung jawab sebagai pustakawan madya bukan lagi sekadar mengelola koleksi, melainkan juga memastikan bahwa data dan pengetahuan dapat memberi manfaat strategis bagi pengambilan kebijakan.

Selain menjalankan tugas utama, saya juga diberi kepercayaan untuk mengasah kemampuan manajerial melalui berbagai kegiatan lintas bidang. Saya terlibat dalam pengembangan sistem layanan publik berbasis data, menjadi narasumber pelatihan literasi informasi, serta ikut menginisiasi kegiatan transformasi digital pustaka kehutanan.

Tak berhenti di sana, pada tahun yang sama saya mendapatkan kesempatan untuk menjadi asesor profesi pustakawan, sebuah peran yang membawa tanggung jawab moral besar untuk menilai sekaligus membina rekan sejawat agar kompetensi pustakawan Indonesia terus meningkat. Peran ini membuat saya semakin memahami bahwa profesi pustakawan bukan hanya tentang mengelola koleksi, tetapi juga tentang mengelola manusia dan martabat pengetahuan.

Selain itu, saya juga dipercaya sebagai jurnal reviewer di beberapa terbitan ilmiah. Aktivitas ini membuka ruang refleksi akademik baru — menelaah tulisan, memberi masukan substansial, dan memastikan kualitas publikasi pustakawan Indonesia semakin terjaga. Dari situ saya belajar bahwa menulis dan menilai tulisan adalah dua sisi dari proses belajar yang sama.

Meski dinamika organisasi terus bergulir, saya merasa justru di sinilah makna kedewasaan profesional diuji. Tidak lagi tergantung pada stabilitas institusi, melainkan pada keteguhan diri. Pengalaman panjang dari Kupang hingga Adelaide, dari ruang kecil perpustakaan Balai hingga meja kerja di pusat data, membentuk keteguhan bahwa di mana pun ditempatkan, pengabdian harus tetap berakar pada nilai: ilmu, integritas, dan kemanfaatan.

Kini, memasuki akhir tahun 2025, saya menatap masa depan profesi pustakawan dengan semangat baru. Dunia informasi bergerak cepat, teknologi berubah setiap waktu, namun esensi pustakawan tetap sama — menjaga agar pengetahuan tetap hidup, tersusun, dan bermanfaat bagi generasi berikutnya.

Sebagai seorang rimbawan pustakawan, saya percaya bahwa pengetahuan adalah hutan yang harus dirawat. Di dalamnya tumbuh berbagai pohon ide, semak pemikiran, dan bunga-bunga inspirasi. Bila tidak dijaga, hutan itu akan gundul — dan bangsa akan kehilangan arah.

Dari perjalanan panjang ini, saya belajar bahwa setiap fase, baik yang penuh tantangan maupun yang membawa kebahagiaan, semuanya adalah bagian dari proses menjadi manusia yang utuh. Perjalanan karier bukan sekadar soal jabatan, tetapi tentang makna hidup yang tumbuh dari kerja keras, kesetiaan, dan ketulusan.

Dan di antara semua perubahan yang datang silih berganti, saya selalu kembali pada satu keyakinan: bahwa pustakawan sejati bukan hanya penjaga buku, tetapi penjaga pengetahuan dan jiwa bangsa.

VIII. Menyemai Ulang Akar Rimbawan: Dari Gunung Batu ke Pusdatin (2023–2025)

 Jejak di Antara Dua Kementerian

Tahun 2023 membuka lembar baru yang sarat dinamika. Setelah hampir dua dekade berkarier di bawah naungan satu lembaga besar yang menaungi penelitian dan inovasi kehutanan, saya harus kembali menghadapi perubahan struktural yang tak terelakkan. Pemerintah memutuskan untuk memisahkan kembali Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan, dua entitas besar yang sebelumnya sempat bergabung dalam satu atap.
Keputusan itu membawa konsekuensi besar. Banyak unit kerja dirombak, nomenklatur berganti, dan lembaga yang saya kenal sebagai Badan Standardisasi Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BSILHK)—tempat saya bernaung sejak 2022—secara resmi dinyatakan dibubarkan.
Berita itu sempat menimbulkan rasa kosong. Dalam beberapa tahun terakhir, BSI bukan sekadar tempat bekerja, melainkan ruang belajar, berproses, dan berjejaring. Saya merasa punya ikatan emosional dengan lembaga itu, terutama karena keterlibatan saya dalam berbagai tim penyusunan dokumen penting bagi kantor pusat di Gunung Batu, Bogor.
Di sanalah saya bekerja bersama tim yang solid, di bawah koordinasi Pak Dasminto, S.Pi., M.Si., sosok senior yang saya hormati bukan hanya karena ilmunya, tapi juga karena keteladanannya sebagai “guru kehidupan.

Belajar dari Sang Pembimbing
Saya masih ingat bagaimana Pak Dasminto sering menekankan pentingnya keseimbangan antara administrasi dan esensi. Beliau mengajarkan bahwa setiap dokumen lingkungan, setiap laporan, bukan sekadar memenuhi kewajiban formal, tapi juga menyimpan makna etika terhadap bumi dan hutan yang kita jaga.
“Menulis laporan lingkungan itu bukan hanya menulis data,” katanya suatu sore di ruang rapat kecil Gunung Batu.
“Kita sedang menulis tentang tanggung jawab manusia terhadap alam. Setiap angka punya cerita, setiap tabel punya dampak.”
Kalimat itu begitu membekas. Dari beliau, saya belajar bahwa profesionalisme sejati adalah perpaduan antara ketepatan dan kepedulian. Dalam kesederhanaannya, Pak Dasminto menjadi sosok mentor yang sabar, telaten, dan memberi ruang bagi timnya untuk berkembang.
Menyusun dokumen lingkungan untuk kantor pusat BSI menjadi pengalaman yang memperkaya. Saya berperan dalam mengompilasi dan memverifikasi data, menyusun struktur informasi, serta memastikan standar penulisan sesuai dengan pedoman teknis. Meski pekerjaan ini tampak administratif, namun saya melihatnya sebagai bentuk pengabdian ilmiah—mendokumentasikan tanggung jawab manusia terhadap kelestarian lingkungan.

Dilema dan Keputusan
Ketika akhirnya keputusan pemisahan dua kementerian diumumkan, muncul dilema pribadi yang cukup berat. Saya dihadapkan pada dua pilihan: tetap di lingkungan hidup atau kembali ke kehutanan.
Keduanya memiliki daya tarik tersendiri. Bidang lingkungan hidup memberi ruang luas bagi kajian lintas disiplin, sedangkan kehutanan adalah rumah lama tempat akar profesionalisme saya tumbuh.
Saya mengingat masa-masa awal karier tahun 2005, ketika pertama kali menjadi pustakawan di Balai Penelitian Kehutanan Kupang—masa penuh idealisme dan dedikasi sebagai rimbawan muda. Dari situlah saya akhirnya meneguhkan hati: kembali ke Kementerian Kehutanan.
Pilihan ini bukan karena nostalgia semata, tapi karena saya yakin bahwa di sana, jiwa rimbawan saya bisa terus memberi arti. Bagi saya, hutan bukan sekadar objek penelitian, tetapi ruang spiritual yang membentuk cara pandang hidup: sederhana, teduh, dan penuh keseimbangan.
“Saya lahir dan tumbuh di dunia rimbawan. Maka ke mana pun angin birokrasi berembus, akar saya tetap di kehutanan.”

Menapaki Babak Baru di Pusat Data dan Informasi
Keputusan itu membawa saya pada penugasan baru di Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Kehutanan, mulai awal tahun 2025. Saya diangkat sebagai Pustakawan Madya, sebuah posisi yang tidak hanya menandai kenaikan jabatan, tetapi juga tanggung jawab yang lebih luas dalam pengelolaan informasi publik dan manajemen data strategis.
Di lingkungan Pusdatin, saya menemukan atmosfer kerja yang dinamis dan modern. Transformasi digital tengah digalakkan, dan peran pustakawan kini melebar jauh melampaui dinding perpustakaan fisik. Kami bukan lagi sekadar penjaga buku, tapi arsitek pengetahuan, memastikan bahwa data kehutanan, laporan riset, dan informasi publik tersaji secara terbuka, akurat, dan mudah diakses.
Saya terlibat dalam berbagai kegiatan manajerial—mulai dari penguatan sistem informasi hingga pendampingan akreditasi layanan. Di sela tugas, saya juga sering diminta memberikan pembinaan dan pelatihan bagi rekan-rekan pustakawan muda yang baru bergabung.
Bagi saya, kesempatan ini seperti fase baru yang memberi ruang untuk mengasah kemampuan manajerial dan kepemimpinan. Saya mulai belajar mengelola tim lintas bidang, menyeimbangkan antara teknis, komunikasi, dan kebijakan. Kadang lelah, tapi selalu menyenangkan ketika melihat ide-ide baru tumbuh dari kolaborasi.

Menjadi Asesor Profesi Pustakawan


Salah satu tonggak penting dalam perjalanan saya di periode ini adalah saat memperoleh sertifikasi sebagai Asesor Profesi Pustakawan.
Peran ini memberi tanggung jawab sekaligus kehormatan besar—menilai, membimbing, dan memastikan kompetensi para pustakawan di berbagai lembaga. Saya merasa seolah berada di cermin masa lalu: dari seorang pustakawan muda yang dulu sering gugup saat dinilai, kini menjadi orang yang memegang instrumen penilaian.
Namun saya selalu berusaha memandangnya dengan empati. Setiap pustakawan memiliki kisah perjuangannya sendiri, dan tugas asesor bukan untuk mencari kesalahan, melainkan membantu mereka menemukan potensi terbaik. Dalam setiap asesmen, saya selalu berusaha menyampaikan pesan sederhana:
“Profesi kita mungkin sunyi, tapi pengaruhnya luas. Jangan berhenti belajar, karena ilmu pustaka adalah ilmu tentang kehidupan.”
Dari tugas ini saya belajar banyak—tentang keberagaman karakter, semangat, dan inovasi pustakawan di seluruh Indonesia. Mereka datang dari latar belakang berbeda, namun disatukan oleh kecintaan yang sama terhadap ilmu pengetahuan.

Menjadi Reviewer Jurnal Ilmiah
Selain menjadi asesor, saya juga aktif sebagai reviewer jurnal ilmiah pustakawan dan informasi. Aktivitas ini melengkapi perjalanan intelektual saya di dunia kepustakawanan.
Menjadi reviewer bukan hanya membaca naskah dan memberi catatan, tetapi juga menjaga integritas akademik. Setiap artikel yang dikirim penulis adalah hasil jerih payah dan refleksi pemikiran. Saya merasa bertanggung jawab untuk menilai dengan jujur dan membantu mereka memperbaiki kualitas ilmiah tulisan.
Dalam proses ini, saya kerap menemukan gagasan-gagasan segar dari pustakawan muda: tentang literasi digital, transformasi layanan, hingga etika kecerdasan buatan di perpustakaan. Saya merasa bangga melihat profesi ini terus berkembang dan beradaptasi dengan zaman.
Menjadi reviewer juga membuat saya terus belajar. Setiap naskah yang saya baca membuka wawasan baru, mengingatkan bahwa dalam dunia ilmu pengetahuan, tidak ada yang benar-benar selesai—semuanya terus bergerak, tumbuh, dan bertransformasi.

Refleksi: Antara Pohon dan Data
Kini, menjelang penghujung tahun 2025, saya sering merenung di sela kesibukan di Pusdatin. Kadang, saat menatap layar komputer yang menampilkan data hutan nasional, saya teringat kembali akar profesi saya di lapangan dulu—antara pohon, tanah, dan aroma getah pinus.
Dunia digital memang memudahkan segalanya, tapi di balik angka dan peta satelit itu, saya tahu ada hutan-hutan nyata yang hidup, ada masyarakat yang menggantungkan harapan, ada peneliti yang berjuang di medan berat. Dan di situlah pustakawan berperan: memastikan setiap data dan informasi menjadi jembatan antara sains dan kebijakan.
Saya sering berkata pada rekan-rekan muda:
“Menjadi pustakawan di kehutanan bukan hanya tentang mengelola data, tapi tentang menjaga keseimbangan antara manusia dan alam.”
Perjalanan ini mengajarkan saya bahwa ilmu pengetahuan dan kehutanan adalah dua sisi dari satu koin—yang satu mengakar pada logika, dan yang lain bernaung pada kehidupan. Keduanya saling melengkapi, seperti hutan dan hujan yang tak bisa dipisahkan.

Kisah Pengalaman Saya di Forum Internasional


Mengawali karier di Pusat Data dan Informasi (Pusdatin), saya mendapat kesempatan berharga untuk tampil di forum akademik tingkat internasional. Pada 16 Oktober 2025, saya menjadi presenter dalam International Conference on Multidisciplinary Academic Studies (ICoMUS) 2025, yang diselenggarakan oleh Universitas Terbuka di UTCC Convention Center, Tangerang.
Dalam kesempatan tersebut, saya mempresentasikan makalah berjudul “User-Centric Literacy Programme: Measuring Impact of Ecoliteracy at RI Ardi Kusuma Library.” Topik ini berangkat dari pengalaman lapangan dalam mengembangkan program literasi berbasis pengguna, sekaligus menilai dampak kegiatan literasi ekologis terhadap peningkatan kesadaran lingkungan di kalangan pengguna perpustakaan.
Berpartisipasi di ICoMUS menjadi pengalaman yang sangat berkesan. Saya tidak hanya belajar menyusun dan mempresentasikan karya ilmiah di hadapan peserta dari berbagai negara, tetapi juga memperluas wawasan tentang pentingnya kolaborasi lintas disiplin dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan layanan publik.
Kesempatan ini memupuk rasa percaya diri saya untuk terus berkarya di kancah akademik dan profesional. Lebih dari itu, pengalaman ini membuka pandangan bahwa keikutsertaan dalam forum internasional bukan sekadar ajang berbagi hasil riset, tetapi juga wadah untuk membangun jejaring global dan menumbuhkan semangat kontribusi bagi kemajuan literasi dan informasi di Indonesia.

Kisah Saya di Balik Muspera Expo 2025

Tahun 2025 menjadi salah satu momen yang berkesan dalam perjalanan karier saya di lingkungan Museum dan Perpustakaan Kehutanan (Muspera). Saat itu, Muspera genap berusia 42 tahun, dan untuk merayakan hari jadinya, kami menyelenggarakan sebuah perhelatan besar bertajuk “Muspera Expo 2025”, yang berlangsung pada 19–22 Agustus 2025 di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta.

Dengan mengusung tema “Hutan Lestari, Literasi Menginspirasi”, acara ini menjadi ajang untuk memperkuat peran Muspera sebagai ruang edukasi, rekreasi, dan inspirasi bagi masyarakat, khususnya generasi muda. Saya beruntung bisa terlibat langsung dalam penyelenggaraan kegiatan ini, mulai dari tahap perencanaan hingga pelaksanaan.

Selama hampir sepekan penuh, suasana Muspera begitu hidup. Kami menghadirkan berbagai kegiatan menarik — mulai dari eksplorasi museum dan arboretum bersama siswa serta mahasiswa, lomba menggambar bertema “Hutan Sahabat Kita”, hingga literasi dongeng dan adu opini “Suara Rimba Indonesia, Suara Rimbawan Muda”. Di sisi lain, pengunjung juga dapat menikmati pameran galeri, bazar kuliner nusantara, serta lomba foto mendadak jepret yang menambah semarak suasana.

Bagi saya pribadi, terlibat dalam Muspera Expo 2025 bukan hanya soal bekerja di balik layar sebuah acara besar, tetapi juga tentang menyaksikan bagaimana semangat literasi dan kecintaan terhadap hutan dapat disampaikan dengan cara yang kreatif dan menyenangkan.

Momen itu menumbuhkan rasa bangga sekaligus tanggung jawab, bahwa upaya pelestarian hutan tidak hanya berbicara tentang pohon dan alam, tetapi juga tentang bagaimana pengetahuan, budaya, dan kesadaran masyarakat bisa bertumbuh bersama. Melalui kegiatan ini, saya belajar bahwa kolaborasi lintas bidang — antara edukasi, komunikasi, dan konservasi — dapat melahirkan sesuatu yang inspiratif dan berdampak luas bagi publik.


Menatap Masa Depan
Melangkah ke depan, saya tidak tahu pasti ke mana arah organisasi akan berkembang. Birokrasi akan selalu berubah, struktur bisa berganti, tapi semangat untuk mengabdi pada pengetahuan dan hutan akan tetap sama.
Saya merasa kini memasuki fase kedewasaan karier, di mana kepuasan bukan lagi diukur dari jabatan atau penghargaan, tetapi dari kemampuan untuk memberi makna bagi orang lain.
Setiap kali saya melihat rekan pustakawan muda yang bersemangat belajar, saya merasa optimis bahwa tongkat estafet profesi ini berada di tangan yang tepat. Mungkin nanti saya tidak lagi di garis depan, tapi saya ingin tetap menjadi bagian dari barisan yang menjaga nyala pengetahuan.
Karena pada akhirnya, pustakawan bukan sekadar profesi, melainkan perjalanan jiwa.

VII. Kembali ke Akar, Menyemai Kembali Ilmu di Tanah Sendiri (2017–2022)

Kepulangan yang Penuh Arti
Setelah menutup bab panjang di Adelaide, saya kembali ke Indonesia dengan hati penuh syukur dan tekad baru. Tahun 2017 menjadi awal dari fase baru: kembali bertugas di Balai Penelitian Kehutanan Kupang, tempat yang dulu saya tinggalkan untuk belajar. Kini, saya datang dengan pandangan yang lebih luas dan semangat untuk menerapkan ilmu yang saya bawa dari Australia.
Kupang menyambut saya dengan cahaya matahari yang hangat dan angin kering dari arah Teluk. Aroma laut bercampur dengan debu jalanan seolah mengingatkan bahwa tanah ini adalah rumah sejati saya. Kembali ke Nusa Tenggara Timur bukan hanya penugasan, tapi juga panggilan hati.
Saya sadar, tugas seorang pustakawan di lembaga penelitian bukan sekadar mengelola buku dan data. Lebih dari itu, pustakawan adalah penjaga pengetahuan, penggerak informasi ilmiah, dan jembatan antara hasil penelitian dengan masyarakat.
Dengan semangat baru, saya bergabung dalam tim Seksi Data dan Informasi Balai Penelitian Kehutanan Kupang—sebuah posisi yang membawa kembali kenangan awal karier saya lebih dari satu dekade lalu. Bedanya, kali ini saya datang dengan bekal pengalaman manajemen informasi dari luar negeri dan pandangan global tentang pentingnya profesionalisme pustakawan riset.

Mengelola Jurnal Falok: Kolaborasi Lintas Balai
Salah satu tanggung jawab pertama yang saya emban setelah kembali adalah keterlibatan dalam pengelolaan Jurnal Falok, jurnal ilmiah kehutanan yang dikelola bersama oleh tiga balai litbang: Kupang, Mataram, dan Makassar.
Falok bukan sekadar jurnal ilmiah; ia adalah ruang intelektual bagi para peneliti di kawasan timur Indonesia untuk berbagi gagasan dan hasil riset. Tantangan terbesar dalam mengelolanya adalah menjaga konsistensi mutu naskah dan memperkuat jejaring antarbalai.
Saya berperan dalam penyusunan tata kelola penerbitan ilmiah, memperkenalkan sistem pengelolaan berbasis Open Journal System (OJS) agar proses editorial lebih transparan dan efisien. Perubahan ini tidak selalu mudah. Banyak rekan masih terbiasa dengan cara manual, namun dengan pendekatan yang sabar dan pelatihan berulang, sistem baru mulai diterima.
Dalam perjalanan ini, saya belajar bahwa perubahan tidak selalu datang dari kebijakan besar, melainkan dari kesabaran kecil yang dilakukan terus-menerus. Falok perlahan berkembang menjadi jurnal yang terindeks nasional, dan kontribusi lintas balai menjadikannya simbol kolaborasi dan semangat berbagi pengetahuan di wilayah timur Indonesia.

Naik Jabatan dan Pengakuan Profesional
Tahun-tahun berikutnya membawa kabar menggembirakan. Pada 2018, saya resmi naik jabatan menjadi Pustakawan Muda, sebuah pencapaian yang saya anggap bukan sekadar kenaikan pangkat, tetapi bentuk kepercayaan lembaga atas dedikasi dan profesionalisme.
Tahun yang sama, saya kembali mengukir prestasi dengan meraih penghargaan sebagai Juara Menulis Pustakawan Tingkat Provinsi NTT. Tulisan yang saya kirim waktu itu berjudul “Pustakawan di Era Digital: Menjaga Akar, Menyapa Masa Depan”—sebuah refleksi atas peran pustakawan di tengah perubahan teknologi informasi yang cepat.
Saya tidak menyangka tulisan itu mendapat apresiasi tinggi. Namun saya percaya, kekuatan tulisan bukan pada indahnya kata, melainkan pada ketulusan pengalaman yang dibagikan. Penghargaan itu menjadi pengingat bahwa pustakawan bukan hanya pengelola data, tetapi juga pengisah, penulis, dan penjaga narasi ilmu pengetahuan bangsa.

Mengawal Akreditasi Perpustakaan Cendana


Masih pada tahun yang sama, saya diberi tanggung jawab baru: mengawal proses akreditasi Perpustakaan Cendana, yang berada di bawah Balai Penelitian Kehutanan Kupang.
Proses akreditasi ini tidak mudah. Mulai dari penataan koleksi, pembaruan sarana, penyusunan standar layanan, hingga pendokumentasian kegiatan, semua harus dilakukan sesuai pedoman Perpustakaan Nasional. Tim kecil kami bekerja keras, kadang sampai malam hari, memastikan setiap butir bukti fisik dan digital tertata rapi.
Akhirnya, kerja keras itu berbuah hasil. Pada akhir 2018, Perpustakaan Cendana memperoleh akreditasi “B” dari Perpustakaan Nasional RI. Bagi kami, predikat ini bukan hanya nilai administratif, tapi bentuk pengakuan atas semangat kolaboratif tim kecil di Kupang yang terus menjaga eksistensi perpustakaan di daerah.
Saya belajar satu hal penting: akreditasi bukan sekadar dokumen penilaian, melainkan perjalanan pembelajaran menuju mutu layanan yang lebih baik. Di situ pula saya memahami bahwa pustakawan adalah pemimpin perubahan dalam skala mikro—dari ruang baca kecil, lahir budaya literasi yang besar.

Pindah ke Bogor: Meniti Jalur Baru
Akhir tahun 2018 membuka lembaran baru lagi. Saya mendapat kesempatan pindah tugas ke Perpustakaan RI Ardi Kusuma Bogor, yang berada di lingkungan Sekretariat Badan Litbang dan Inovasi Kehutanan.
Perpindahan ini bukan hanya perubahan lokasi, tetapi juga tantangan baru dalam skala nasional. Jika sebelumnya saya bekerja di lingkungan riset regional, kini saya masuk ke pusat kegiatan ilmiah nasional yang menjadi sumber kebijakan kehutanan.
Bogor memberi suasana yang sangat berbeda. Udara sejuk, ritme kerja cepat, dan lingkungan profesional yang menuntut standar tinggi. Di sinilah saya merasa ilmu dan pengalaman selama di Australia benar-benar diuji.
Saya berusaha membawa semangat keterbukaan dan inovasi dalam pengelolaan perpustakaan. Salah satu langkah penting adalah menginisiasi akreditasi Perpustakaan Ardi Kusuma dengan pendekatan berbasis mutu berkelanjutan.

Akreditasi “A”: Bukti Kerja Kolektif
Setelah proses panjang yang melibatkan perencanaan, penataan koleksi, digitalisasi arsip, dan penguatan layanan berbasis teknologi, akhirnya pada tahun 2020 kami berhasil membawa Perpustakaan Ardi Kusuma meraih akreditasi “A” dari Perpustakaan Nasional RI.
Capaian ini terasa istimewa. Tidak hanya karena nilai tertinggi, tetapi juga karena dilakukan di tengah masa pandemi yang membatasi aktivitas tatap muka. Tim bekerja dalam kondisi penuh keterbatasan, namun semangat untuk menjaga kualitas layanan tidak pernah surut.
Saya belajar, di balik setiap sertifikat akreditasi ada cerita tentang kerja keras, kerja tim, dan komitmen. Hasil itu juga menjadi bukti bahwa pustakawan Indonesia, dengan segala keterbatasannya, mampu menunjukkan profesionalisme dan dedikasi tinggi jika diberi ruang berkembang

Menikmati Bangku Kuliah kembali
Beberapa tahun kemudian, tepatnya saat pandemi tahun 2021, ketika ritme kerja melambat dan ada lebih banyak waktu untuk refleksi, muncul kembali keinginan lama yang sempat tertunda — melanjutkan studi di bidang Ilmu Hukum. Saya melihat bahwa dalam praktik sehari-hari, banyak aspek pekerjaan dan kehidupan sosial yang berkaitan erat dengan pemahaman hukum.
Saya pun memilih Universitas Terbuka (UPBJJ Bogor) karena fleksibilitas waktunya yang memungkinkan saya tetap bekerja sambil kuliah. Melalui jalur Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL), saya diterima dan mulai menempuh perjalanan baru mempelajari hukum. Dari situ saya belajar bahwa antara idealitas peraturan dan praktik hukum di lapangan sering kali terdapat kesenjangan yang menarik untuk dikaji secara kritis.
Perjalanan ini tidak mudah, karena saya harus terus menyeimbangkan waktu antara pekerjaan, belajar, dan kegiatan organisasi. Namun, tekad untuk menuntaskan cita-cita membuat saya bertahan. Akhirnya, pada tahun 2025, saya berhasil menyelesaikan pendidikan hukum dan resmi menyandang gelar Sarjana Hukum (S.H.).
Kini, kombinasi keilmuan dari perpustakaan, administrasi negara, komunikasi, dan hukum membentuk cara pandang saya yang lebih luas dan interdisipliner. Semua bidang itu saling melengkapi, mendorong saya untuk terus berkarya sebagai pengamat dan peneliti lintas disiplin. Beberapa hasil tulisan dan penelitian saya dapat diakses melalui laman Google Scholar: https://scholar.google.com/citations?user=7Iifom4AAAAJ&hl=id.
Perjalanan panjang ini menjadi bukti bahwa belajar bukan sekadar mengejar gelar, tetapi tentang mendewasakan cara berpikir, memperluas wawasan, dan memberi manfaat bagi sesama.

Titik Balik: Transformasi Lembaga
Tahun 2022 menjadi tahun penuh perubahan. Pemerintah memutuskan untuk membubarkan Badan Litbang dan Inovasi Kehutanan, lembaga tempat saya bernaung selama bertahun-tahun, dan menggantinya dengan Badan Standardisasi Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BSILHK).
Perubahan struktur organisasi ini tentu membawa dampak besar. Banyak jabatan berubah, unit kerja digabung atau dialihkan, dan sistem administrasi harus menyesuaikan. Dalam situasi penuh ketidakpastian itu, saya belajar tentang arti fleksibilitas dan ketenangan menghadapi transisi.
Sebagai Pustakawan Muda, saya tidak hanya bertugas di bidang informasi, tetapi juga mendapat tugas tambahan sebagai Ketua Tim Kerja Perlengkapan Barang Milik Negara (BMN) serta Tim Kerja Hukum di sekretariat baru.
Tanggung jawab ini menantang, tetapi sekaligus memperluas wawasan saya tentang tata kelola kelembagaan dan peran pustakawan dalam mendukung manajemen organisasi. Saya menyadari bahwa profesi pustakawan kini tidak lagi terbatas pada ruang baca, melainkan turut terlibat dalam sistem manajemen pengetahuan dan administrasi modern.

Refleksi atas Perjalanan 2017–2022
Melihat ke belakang, lima tahun ini terasa seperti rangkaian ujian dan berkah yang datang bergantian. Saya belajar bahwa perjalanan karier tidak pernah lurus; selalu ada tikungan yang membawa kita pada pemahaman baru.
Kembali ke Kupang mengajarkan saya tentang arti kesetiaan pada akar. Pindah ke Bogor memperluas pandangan saya tentang peran pustakawan dalam sistem nasional. Dan ketika lembaga berubah menjadi BSILHK, saya belajar arti bertahan dan menyesuaikan diri tanpa kehilangan integritas profesi.
Dalam setiap fase, saya menemukan makna bahwa pustakawan sejati bukan hanya pengelola informasi, tetapi juga pengelola perubahan. Ia hadir di setiap transisi, menata ulang sistem, dan memastikan pengetahuan tetap hidup di tengah arus birokrasi yang berganti.
Menjaga Nyala Semangat
Menulis kembali perjalanan ini membuat saya sadar: apa yang saya jalani bukan sekadar karier, tetapi panggilan hidup. Pustakawan, bagi saya, adalah profesi yang sunyi namun bermakna. Ia tidak selalu terlihat di panggung utama, tapi selalu hadir di balik layar, memastikan ilmu pengetahuan mengalir dengan baik.
Ketika rekan-rekan bertanya apa yang membuat saya tetap bertahan di dunia kepustakawanan selama lebih dari satu dekade, saya hanya menjawab sederhana:
“Karena saya percaya, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pengetahuan. Dan pustakawan adalah penjaga gerbang pengetahuan itu.”
Kini, di tengah perubahan struktur kelembagaan dan tantangan digitalisasi, saya tetap melangkah dengan keyakinan yang sama. Selama masih ada orang yang haus ilmu, pustakawan akan tetap dibutuhkan. Dan selama masih ada buku—baik fisik maupun digital—akan selalu ada makna dalam profesi ini.













VI. Jejak di Adelaide: Antara Ilmu, Disiplin, dan Kerinduan (2014–2016)

Aktif di Persatuan Pelajar Indonesia Australia (PPIA)

Salah satu pengalaman berharga selama studi di Unisa adalah keterlibatan saya di Persatuan Pelajar Indonesia Australia (PPIA) South Australia. Saya dipercaya sebagai Koordinator Publikasi dan Dokumentasi, peran yang sangat sesuai dengan latar belakang saya di bidang informasi dan komunikasi.

Kegiatan di PPIA memberi warna baru dalam kehidupan saya di Adelaide. Saya belajar mengatur kegiatan komunitas, berkoordinasi dengan berbagai pihak, dan tentu saja memperluas jejaring dengan mahasiswa Indonesia dari berbagai universitas. Kami menggelar diskusi budaya, festival makanan, hingga peringatan Hari Kemerdekaan RI dengan semangat kebersamaan yang luar biasa.

Menjadi bagian dari PPIA membuat saya merasa tetap dekat dengan tanah air. Setiap acara yang kami selenggarakan adalah bentuk kecil dari cinta kami pada Indonesia. Dalam komunitas ini, saya belajar mempraktikkan kemampuan manajerial—menyusun rencana, membagi tugas, dan memimpin tim lintas karakter dan latar belakang.

Tantangan komunikasi antarbudaya juga terasa. Ada saatnya perbedaan pendapat muncul, tapi dari situ saya belajar mengelola konflik dengan cara yang terbuka dan profesional. Semua pengalaman itu sangat berharga dan memperkuat keterampilan kepemimpinan saya sebagai pustakawan yang kelak akan kembali memimpin tim di tanah air.

Kisah Pengalaman Organisasi Saya di Australia Selatan

Selama menempuh studi di University of South Australia (UNISA), saya tidak hanya fokus pada kegiatan akademik, tetapi juga berupaya mengasah kemampuan berorganisasi dan memperluas jejaring. Saat itu, saya bergabung dengan Persatuan Pelajar Indonesia Australia (PPIA) South Australia, sebuah organisasi tingkat negara bagian yang mewadahi mahasiswa Indonesia yang belajar di Flinders University, University of Adelaide, dan University of South Australia.

Saya diberikan kepercayaan untuk menjabat sebagai Koordinator Bidang Media dan Humas di bawah kepemimpinan Presiden PPIA SA, Saudara Maulana dari Flinders University, pada periode 2015–2016. Dalam peran tersebut, saya bertanggung jawab mengelola komunikasi publik, menyebarluaskan informasi kegiatan, serta menjaga hubungan baik antara PPIA dengan komunitas mahasiswa dan masyarakat Indonesia di Australia Selatan.

Kegiatan PPIA sangat beragam — mulai dari kegiatan akademik seperti seminar dan diskusi ilmiah, hingga kegiatan sosial kemasyarakatan seperti penyambutan mahasiswa baru, buka puasa bersama, family gathering, dan acara Back for Good bagi pelajar yang akan kembali ke Indonesia. Salah satu momen berkesan adalah ketika PPIA SA berkolaborasi dengan berbagai komunitas Indonesia di Adelaide untuk menyelenggarakan INDO FEST, sebuah festival budaya yang memperkenalkan seni dan kuliner Indonesia kepada masyarakat setempat.

Menjelang akhir masa kepengurusan, saya dipercaya menjadi Ketua Panitia Pelaksana Rapat Pertanggungjawaban Tahunan sekaligus memimpin proses regenerasi kepemimpinan PPIA SA. Tugas tersebut memberi saya pengalaman berharga dalam time management, koordinasi tim lintas kampus, serta komunikasi antarbudaya yang menuntut ketepatan, empati, dan diplomasi.



Dari pengalaman berorganisasi ini, saya belajar bahwa keterlibatan di luar ruang kuliah sama pentingnya dengan capaian akademik. PPIA SA menjadi ruang pembelajaran nyata tentang kepemimpinan, kolaborasi, dan bagaimana membangun jaringan lintas bangsa dengan semangat kebersamaan dan profesionalisme


Magang Di BINSA

Selama masa studi, saya tidak hanya fokus pada perkuliahan di kelas, tetapi juga berusaha mempraktikkan ilmu secara langsung melalui program on the job training di Brain Injury South Australia (BINSA) — sebuah lembaga yang memberikan layanan dukungan bagi individu dengan cedera otak traumatik. Di sana, saya bergabung dalam proyek manajemen rekod (record management project) yang berfokus pada penataan, digitalisasi, dan sistem retensi arsip lembaga.

Tantangannya cukup besar. BINSA memiliki beragam jenis dokumen yang kompleks — mulai dari catatan medis, laporan rehabilitasi, hingga korespondensi klien. Semua itu harus dikelola dengan prinsip kerahasiaan yang ketat dan efisiensi tinggi. Saya belajar langsung bagaimana standar pengelolaan arsip diterapkan di lembaga sosial dan kesehatan di Australia: sistematis, berbasis kebijakan, serta menjunjung tinggi akuntabilitas dan privasi pengguna layanan.

Saya masih ingat, pada minggu-minggu pertama, supervisor saya sempat ragu apakah saya bisa beradaptasi dengan cepat. Namun, dengan ketekunan dan keinginan kuat untuk belajar, saya berusaha memahami setiap prosedur dan sistem kerja mereka. Sedikit demi sedikit, saya mulai dipercaya menangani arsip digitalisasi dan merancang format indeks dokumen yang lebih efisien.

Hasil kerja itu ternyata mendapat apresiasi positif dari manajemen BINSA. Mereka menilai bahwa pendekatan yang saya gunakan — menggabungkan ketelitian teknis dengan kesadaran etis dalam menjaga informasi — memberikan nilai tambah bagi kinerja lembaga. Salah satu staf senior bahkan mengatakan bahwa sistem pengelolaan arsip yang saya bantu susun “membuat pekerjaan mereka lebih mudah dan lebih aman.”

Pengalaman di BINSA membuka mata saya bahwa profesi pustakawan dan arsiparis tidak sekadar mengelola dokumen, tetapi juga menjaga keberlanjutan memori kelembagaan yang mendukung pelayanan publik dan kemanusiaan. Di Australia, saya belajar bahwa setiap berkas memiliki cerita, setiap sistem memiliki tujuan, dan setiap pustakawan punya peran penting dalam memastikan informasi tetap hidup, akurat, dan dapat dipercaya.


Menemukan Kedamaian di Tepi Torrens River

Ketika rasa rindu pada keluarga datang, saya punya satu tempat pelarian favorit: tepi Torrens River. Sungai yang membelah kota Adelaide itu menjadi saksi banyak malam saya menggelar tikar kecil, membaca buku, dan menatap langit.

Dari sanalah saya sering menulis surat elektronik untuk keluarga di Indonesia, terutama untuk istri dan anak-anak. Saya bercerita tentang kegiatan kuliah, tentang suhu dingin yang menusuk, dan tentang makanan yang mulai bisa saya masak sendiri.

Kadang saya hanya duduk diam, mendengarkan gemericik air dan burung camar yang terbang rendah di atas sungai. Dalam keheningan itu, saya menemukan keseimbangan batin. Rindu tidak lagi menjadi beban, melainkan energi untuk terus maju.

Saya sering membayangkan wajah keluarga di Kupang, terutama anak-anak yang sedang tumbuh besar. Mereka menjadi alasan terkuat saya untuk menyelesaikan studi dengan baik. Saya ingin ketika mereka dewasa nanti, mereka tahu bahwa ayahnya pernah berjuang keras demi ilmu dan masa depan mereka.

Menjelang Wisuda

Waktu berjalan cepat. Tanpa terasa, dua tahun berlalu. Akhir tahun 2016, saya menyelesaikan semua kewajiban akademik dan bersiap mengikuti wisuda pada Desember 2016.

Momen wisuda itu menjadi puncak dari seluruh perjalanan panjang saya. Yang paling membahagiakan, keluarga saya—istri, anak-anak, dan kedua orang tua—bisa hadir lengkap di Adelaide. Mereka datang jauh-jauh dari Indonesia untuk menyaksikan momen bersejarah itu.

Ketika mereka tiba di bandara Adelaide, saya menahan air mata. Rasanya semua perjuangan terbayar lunas. Melihat mereka duduk di antara hadirin saat saya berjalan di podium untuk menerima ijazah, saya merasakan kebahagiaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Setelah acara usai, kami berfoto di halaman kampus City West yang dihiasi bendera dan bunga. Angin sore Adelaide membawa aroma eukaliptus yang lembut, seolah ikut merayakan keberhasilan kecil dari perjalanan panjang seorang pustakawan dari Indonesia timur.

Pengalaman Tak Terlupakan

Hari-hari setelah wisuda saya isi dengan berkeliling kota bersama keluarga—menunjukkan tempat-tempat yang dulu menjadi bagian dari kehidupan saya: rumah di Cowra Street, kampus Unisa, perpustakaan kota, dan tentu saja tepi Torrens River tempat saya sering melepas rindu.

Kami menikmati setiap momen, berjalan di antara daun-daun kering yang berguguran, menikmati kopi di kafe kecil, dan berbicara tentang masa depan. Saya berjanji pada diri sendiri, pengalaman di Adelaide ini tidak akan berhenti sebagai kenangan, tetapi akan menjadi fondasi untuk langkah-langkah pengabdian berikutnya.

Dari Adelaide, saya membawa pulang bukan hanya gelar akademik, tetapi juga nilai-nilai kehidupan: disiplin, kerja keras, keterbukaan, dan kerendahan hati. Semua itu menjadi bekal yang sangat berharga untuk melanjutkan perjalanan sebagai pustakawan, pengajar, dan pembelajar seumur hidup.

Kembali ke Tanah Air

Akhir tahun 2016, setelah menyelesaikan studi, saya bersiap kembali ke Indonesia. Saat pesawat meninggalkan Adelaide, perasaan haru menyelimuti hati. Saya menatap ke luar jendela, mengingat setiap langkah, setiap perjuangan, setiap malam panjang yang saya lalui di negeri orang.

Ketika pesawat mendarat di tanah air, saya tahu babak baru telah menanti. Saya kembali bukan sebagai orang yang sama seperti saat berangkat dulu. Ada pandangan yang lebih luas, pemahaman yang lebih dalam tentang ilmu, dan tekad yang lebih kuat untuk berkontribusi bagi negeri.

Kembali ke Kupang, saya disambut rekan-rekan sejawat dengan hangat. Banyak yang menanyakan pengalaman belajar di Australia, dan saya dengan senang hati berbagi cerita tentang sistem perpustakaan di sana, budaya akademik, serta pentingnya kolaborasi lintas bidang.

Saya mulai menerapkan beberapa hal kecil di tempat kerja: cara mengelola data digital, menata ruang baca agar lebih interaktif, hingga membuat pelatihan internal tentang literasi informasi. Saya percaya perubahan besar selalu berawal dari langkah-langkah kecil yang konsisten.

Makna Sebuah Perjalanan

Ketika saya menoleh ke belakang, perjalanan dari tahun 2005 hingga 2016 terasa seperti rangkaian panjang yang penuh warna—dari ruang sederhana di Kupang hingga aula kampus modern di Adelaide. Semua pengalaman itu menyatu menjadi satu benang merah tentang makna pengabdian dan pembelajaran seumur hidup.

Saya belajar bahwa menjadi pustakawan berarti terus bergerak di antara dua dunia: dunia pengetahuan yang terstruktur dan dunia manusia yang penuh dinamika. Kita dituntut untuk menjaga keseimbangan antara teknologi dan nilai-nilai kemanusiaan, antara sistem dan empati.

Pengalaman saya di Australia mengajarkan satu hal penting: pengetahuan yang tidak dibagikan hanyalah kesombongan intelektual. Maka, tugas seorang pustakawan sejati adalah membuka pintu ilmu bagi sebanyak mungkin orang, tanpa batas usia, jabatan, atau latar belakang.

Refleksi Rattahpinnusa

Dalam perjalanan hidup ini, saya memberi nama bagi kisah saya: Rattahpinnusa Haresariu Handisa—sebuah simbol perjalanan panjang dari akar budaya timur menuju cakrawala global, namun tetap berpijak pada tanah sendiri.

Saya menyadari, setiap langkah yang saya tempuh bukan sekadar pencapaian pribadi, tetapi bagian dari upaya membangun peradaban pengetahuan. Dari perpustakaan kecil di Balai Penelitian Kehutanan Bali Nusra, saya belajar arti kesetiaan pada profesi. Dari aktivitas di Ikatan Pustakawan Indonesia Kupang, saya belajar tentang kebersamaan. Dari tulisan-tulisan di Pos Kupang dan Timex, saya belajar menyuarakan gagasan. Dan dari bangku kuliah di Adelaide, saya belajar menjadi warga dunia yang rendah hati.

Kini, ketika saya kembali membuka halaman demi halaman kehidupan, saya melihat satu pola yang jelas: bahwa semua hal indah lahir dari kesabaran dan niat baik.
Menjadi pustakawan bukan sekadar pekerjaan; ia adalah panggilan hati untuk menjaga terang pengetahuan di tengah zaman yang terus berubah.

Saya menulis kisah ini bukan untuk dikenang, melainkan untuk mengingatkan diri sendiri bahwa jalan hidup yang sederhana pun bisa menjadi luar biasa jika dijalani dengan cinta dan ketulusan.

“Hidup adalah perpustakaan besar. Setiap hari kita membaca satu halaman baru, dan setiap keputusan yang kita buat adalah kalimat yang akan dibaca kembali oleh generasi berikutnya.”

Dan di situlah, saya menutup bab perjalanan ini—bukan sebagai akhir, melainkan sebagai jeda sebelum halaman berikutnya dibuka.

Rattahpinnusa dan Jejak yang Tertinggal

Perjalanan saya di Adelaide mengajarkan satu hal sederhana namun mendalam:

“Ilmu tidak hanya ditemukan di ruang kuliah, tetapi di setiap pengalaman yang kita jalani dengan hati terbuka.”

Dari ruang kelas Dr. Dianne hingga ladang anggur di pinggiran kota, dari rapat PPIA hingga sore di tepi Torrens River—semuanya adalah bagian dari universitas kehidupan yang membentuk siapa saya hari ini.

Ketika pesawat membawa kami kembali ke Indonesia, saya menatap ke luar jendela dan berbisik pelan,

“Terima kasih, Adelaide. Engkau telah mengajari saya arti sebenarnya dari belajar, bekerja, dan mencintai dari jauh.”

Dan begitulah, bab Rattahpinnusa Haresariu Handisa di Adelaide berakhir—bukan sebagai penutup, tetapi sebagai fondasi bagi bab berikutnya: pengabdian dan perjalanan pulang membangun kembali dunia pengetahuan di tanah air.

V. Menembus Dunia Baru: Dari Kupang ke Adelaide (2014–2016)

 Langkah Menuju Negeri Kangguru

Musim panas tahun 2014 menjadi musim yang paling menggetarkan hati saya. Setelah seluruh tahapan administratif dan pelatihan selesai, akhirnya tiket pesawat ke Adelaide berada di tangan. Saya memandangi tiket itu lama, seolah masih tidak percaya bahwa seorang pustakawan dari Kupang benar-benar akan menempuh pendidikan di luar negeri.

Sebelum keberangkatan, saya kembali ke Denpasar mengikuti Pre-Departure Training (PDT) di IALF Denpasar. Program ini menjadi semacam pemantapan bagi seluruh penerima beasiswa Australia Awards sebelum berangkat ke negeri tujuan. Di sana kami dibekali keterampilan akademik, teknik menulis ilmiah dalam bahasa Inggris, serta pengenalan budaya Australia.

Saya masih ingat hari-hari di IALF: pagi belajar academic writing, siang berdiskusi tentang metode penelitian, malam menulis esai yang akan dikoreksi esok hari. Para pengajar tidak hanya menekankan kecakapan bahasa, tetapi juga cara berpikir kritis dan terbuka—dua hal yang kemudian sangat membantu ketika saya belajar di luar negeri.

Di sela-sela pelatihan, saya sering termenung. Perjalanan ini terasa panjang sekali. Dari ruang kecil perpustakaan di Balai Penelitian Kehutanan Bali Nusra, dari meja kayu dengan komputer tua dan rak buku yang sebagian masih manual, saya melangkah sejauh ini. Saya belajar bahwa kesabaran dan ketekunan adalah mata uang paling berharga dalam menapaki tangga kehidupan.

Hari Keberangkatan

Hari keberangkatan tiba dengan campuran perasaan haru dan gembira. Keluarga, sahabat, dan rekan kerja di Kupang datang ke bandara untuk melepas saya. Ada doa, pelukan, dan pesan sederhana yang terngiang hingga kini: “Jangan lupa pulang dengan ilmu.”

Pesawat yang saya tumpangi lepas landas dari Bandara Ngurah Rai menuju Sydney, lalu dilanjutkan ke Adelaide. Saat melihat langit dari jendela pesawat, saya teringat perjalanan pertama saya dua belas tahun sebelumnya ketika naik pesawat Merpati menuju Kupang sebagai CPNS muda. Kini saya kembali di ketinggian yang sama, tapi dengan hati yang jauh lebih penuh pengalaman dan makna.

Ketika pesawat menembus awan, saya merasa seluruh perjalanan hidup saya ikut terangkat. Semua proses belajar, jatuh bangun, dan kegigihan terasa seperti pemandangan yang berlalu di bawah sayap pesawat—Kupang, Denpasar, Jakarta, hingga Adelaide—semuanya bersambung menjadi satu garis waktu panjang yang membentuk siapa saya hari ini.

Menjadi Mahasiswa di Negeri Orang

Kedatangan pertama di Adelaide memberi saya kesan yang sulit dilupakan. Udara terasa bersih dan sejuk, jalanan tertib, orang-orang ramah, dan suasana kampus University of South Australia begitu modern. Tapi di balik kekaguman itu, terselip juga rasa gugup: mampukah saya mengikuti perkuliahan dalam bahasa Inggris sepenuhnya?

Hari-hari pertama di kampus saya isi dengan beradaptasi: mempelajari sistem perkuliahan, mengenal dosen pembimbing, mencari buku di perpustakaan universitas, dan menyesuaikan diri dengan ritme akademik yang jauh berbeda.
Sebagai mahasiswa program Manajemen Informatika, saya ditantang untuk berpikir analitis dan logis, sekaligus kreatif dalam mengelola data dan sistem informasi.

Perkuliahan di Unisa menekankan self-learning. Tidak ada yang menunggu atau mengingatkan; semua bergantung pada kedisiplinan diri. Di sinilah saya benar-benar belajar arti kemandirian intelektual. Saya harus membaca berlembar-lembar jurnal, menulis laporan analisis, dan mempresentasikan proyek dalam bahasa Inggris.

Saya ingat saat pertama kali harus melakukan presentasi di depan kelas. Meskipun sudah berlatih berkali-kali di kamar, tetap saja suara saya sempat bergetar. Namun ketika melihat para dosen dan teman-teman dari berbagai negara tersenyum dan menyimak dengan antusias, rasa percaya diri itu tumbuh perlahan.

Saya belajar untuk tidak takut salah, karena dalam dunia akademik, kesalahan adalah bagian dari proses belajar. Dosen saya di Unisa sering berkata:

“Learning is not about perfection, it’s about persistence.”

Kalimat itu saya pegang teguh hingga kini—belajar bukan tentang sempurna, tapi tentang ketekunan.



Belajar dari Perbedaan Budaya

Tinggal di Australia membuka mata saya tentang pentingnya menghargai perbedaan. Saya bertemu teman dari berbagai negara: Papua Nugini, Timor Timur, Afrika Selatan, hingga Vietnam dan Mongolia. Masing-masing membawa budaya dan pandangan hidup yang berbeda, namun semua disatukan oleh semangat untuk belajar.



Dalam banyak diskusi, saya menemukan betapa kuatnya nilai-nilai keterbukaan, kejujuran akademik, dan kerja tim di lingkungan kampus. Saya juga kagum dengan sistem perpustakaan digital di Unisa yang begitu canggih. Semua koleksi bisa diakses secara daring, dan pustakawan di sana berperan aktif sebagai konsultan riset, bukan sekadar penjaga buku.

Setiap kali saya berkunjung ke perpustakaan universitas, saya selalu teringat perpustakaan di Kupang. Dalam hati, saya berjanji, suatu saat, perpustakaan di Indonesia pun akan seperti ini—terbuka, modern, dan ramah bagi siapa pun yang haus ilmu.




Saya mencatat banyak hal: cara pustakawan berinteraksi dengan pengguna, bagaimana sistem manajemen informasi dibangun, hingga bagaimana teknologi digunakan untuk memperluas akses pengetahuan. Semua catatan itu saya simpan rapi, dengan niat suatu hari nanti akan saya terapkan di tanah air.

Jatuh Bangun Menguasai Bahasa

Perjalanan akademik di luar negeri tidak selalu mulus. Salah satu tantangan terbesar adalah bahasa. Meski sudah melalui pelatihan di IALF dan memiliki skor IELTS yang cukup, kenyataannya memahami percakapan sehari-hari orang Australia tidak semudah yang saya bayangkan.

Aksen khas Australia sering membuat saya harus meminta lawan bicara mengulang kalimat mereka. Dalam seminar, saya kadang tertinggal menangkap istilah teknis. Tapi saya menolak menyerah. Setiap malam, saya menonton berita lokal dan mencatat frasa yang belum saya pahami. Saya juga berusaha aktif berdialog dengan teman-teman sekelas meski dengan kosa kata terbatas.

Ada masa-masa di mana saya merasa frustrasi, terutama saat nilai tugas pertama saya tidak sebagus yang diharapkan. Namun pengalaman itu justru mengasah ketahanan mental. Saya belajar untuk terus memperbaiki diri, memperluas perbendaharaan kata, dan menulis lebih runtut.

Saya mengikuti dua kali tes IELTS selama studi untuk memastikan kemampuan bahasa saya terus meningkat. Tes kedua akhirnya menunjukkan hasil yang jauh lebih baik. Saya bangga bukan karena nilai tinggi, tetapi karena itu menjadi bukti nyata bahwa ketekunan selalu berbuah hasil.

Bimbingan dari Sang Pembentuk Disiplin

Setelah resmi memulai studi di University of South Australia (Unisa), saya ditempatkan di kampus City West, salah satu kampus modern di pusat kota Adelaide yang menjadi rumah bagi mahasiswa dari berbagai belahan dunia. Program studi Manajemen Informatika yang saya ambil berada di bawah bimbingan seorang direktur program yang luar biasa tegas namun inspiratif: Dr. Dianne Valaqius (nama disamarkan).

Dr. Dianne dikenal sebagai sosok yang disiplin dan sangat memperhatikan detail. Sejak pertemuan pertama, beliau menegaskan bahwa studi pascasarjana bukan sekadar mengejar gelar, tetapi membentuk cara berpikir ilmiah dan profesional.

“Informatics is not about technology; it’s about integrity in managing information,” katanya pada kami, sekelompok kecil mahasiswa internasional di ruang kelas yang bercahaya hangat.

Saya masih ingat bagaimana beliau selalu menuntut ketepatan waktu. Tidak ada toleransi bagi tugas yang terlambat, dan setiap pekerjaan harus menunjukkan pemahaman konsep, bukan sekadar hasil salinan teori. Dalam banyak kesempatan, saya merasa seperti sedang diuji bukan hanya dari sisi akademik, tetapi juga kedisiplinan mental.

Namun di balik ketegasannya, Dr. Dianne adalah mentor yang peduli. Ia selalu menyediakan waktu ekstra untuk berdiskusi, bahkan saat saya merasa tertinggal karena perbedaan latar belakang budaya dan sistem pendidikan. Dengan sabar, beliau membantu saya menyesuaikan gaya akademik dan memberikan umpan balik yang membangun. Saya banyak belajar dari beliau tentang etika kerja, tanggung jawab, dan pentingnya berpikir sistematis dalam menghadapi setiap tantangan.

Culture Shock dan Adaptasi yang Tidak Mudah

Meski sudah dipersiapkan lewat pelatihan pra-keberangkatan, realitas kehidupan akademik di luar negeri ternyata tidak semulus bayangan. Saya mengalami apa yang disebut banyak mahasiswa asing sebagai culture shock—benturan budaya yang membuat segala sesuatu terasa asing dan menantang.

Budaya belajar yang sangat mandiri, perbedaan cara berpikir, bahkan kebiasaan berkomunikasi yang lebih langsung membuat saya sempat merasa kehilangan arah. Saya terbiasa bekerja dalam struktur birokratis yang rapi, sementara di sini, mahasiswa dituntut untuk lebih banyak mengajukan pertanyaan dan mempertanyakan segala hal, termasuk pandangan dosennya sendiri.

Pernah suatu kali saya diam terlalu lama dalam diskusi kelas, dan Dr. Dianne menatap saya sambil tersenyum, “Don’t be afraid to disagree, Rattah. Your perspective matters.”
Kalimat sederhana itu pelan-pelan membebaskan saya dari kebiasaan diam. Saya mulai belajar menyampaikan pendapat, meski dengan bahasa Inggris yang belum sempurna.

Perlahan-lahan, saya menemukan ritme. Saya belajar bahwa perbedaan bukan penghalang, tetapi ruang untuk tumbuh. Setiap hari di Adelaide menjadi latihan kecil untuk memahami keberagaman dan memperkuat jati diri sebagai pembelajar dari Indonesia.

Hidup di Cowra Street

Selama di Adelaide, saya tinggal di sebuah rumah sederhana di Cowra Street, kawasan yang tenang dan tidak jauh dari pusat kota. Rumah itu menjadi tempat bernaung sekaligus ruang refleksi. Setiap pagi, saya berangkat ke kampus menggunakan sepeda atau transportasi publik—tram dan bus yang teratur dan nyaman.

Perjalanan ke kampus selalu menjadi waktu untuk merenung. Di sepanjang jalan, saya melihat taman-taman rapi, warga yang berjalan santai sambil membawa kopi, dan suasana kota yang bersih. Di tengah keteraturan itu, saya belajar tentang pentingnya ketepatan waktu dan rasa hormat terhadap ruang publik.

Saya merasa hidup di Adelaide menanamkan nilai-nilai disiplin yang tak tertulis. Tidak ada yang mengingatkan untuk belajar, tapi lingkungan yang teratur membuat kita otomatis menyesuaikan diri. Jika di Indonesia saya sering berangkat terburu-buru, di sini saya belajar mempersiapkan segala sesuatu dengan tenang dan terencana.

Part-Time Job dan Sekolah Kehidupan

Belajar di luar negeri tidak hanya tentang kuliah. Untuk menambah pengalaman dan memahami etos kerja masyarakat Australia, saya memutuskan untuk mengambil beberapa pekerjaan paruh waktu (part-time job).

Pekerjaan pertama saya adalah pengantar katalog produk. Setiap akhir pekan, saya berkeliling lingkungan perumahan membagikan brosur dan katalog ke rumah-rumah. Meski tampak sederhana, pekerjaan itu mengajarkan saya ketekunan dan tanggung jawab. Saya belajar bahwa tidak ada pekerjaan yang rendah jika dilakukan dengan jujur.

Pekerjaan lain yang tak kalah berkesan adalah menjadi kuli pemetik anggur di ladang-ladang sekitar Adelaide Hills. Musim panen anggur selalu menjadi momen sibuk, dan saya ikut bekerja bersama para buruh dari berbagai negara. Teriknya matahari, tangan yang lecet, dan tubuh lelah di akhir hari menjadi pengalaman yang justru saya syukuri.

Dari sana saya belajar makna kerja keras sesungguhnya—bahwa setiap butir rezeki harus diiringi dengan usaha yang nyata. Kadang, di sela pekerjaan, saya tersenyum sendiri mengingat perjalanan hidup ini: dari pustakawan di Kupang menjadi mahasiswa dan pekerja musiman di Australia. Hidup memang penuh kejutan.

Menemukan Arti “Belajar” yang Sesungguhnya

Tahun 2015 menjadi masa paling produktif. Di sela jadwal kuliah dan tugas, saya sering mengunjungi perpustakaan publik di Adelaide. Saya terpesona oleh keterbukaan layanan dan budaya membaca masyarakatnya. Anak-anak, remaja, hingga lansia datang silih berganti untuk membaca, berdiskusi, atau sekadar duduk di ruang baca yang nyaman.

Saya sempat menulis catatan kecil di buku harian:

“Di negara ini, membaca adalah bagian dari kehidupan. Di tanah airku, membaca masih menjadi perjuangan.”

Catatan itu menjadi bahan renungan panjang. Saya sadar, membangun budaya literasi bukan hanya soal menyediakan buku, tapi soal membentuk kebiasaan dan lingkungan yang mendukung. Itulah pelajaran paling berharga yang saya dapatkan di Australia—bahwa perpustakaan sejati bukan sekadar tempat, tapi gerakan yang hidup di masyarakat.


Namun, studi di Australia tidak melulu tentang buku dan ruang kerja. Saya juga berkesempatan mengenal budaya lokal dan berwisata edukatif. Salah satu pengalaman paling berkesan adalah saat mengunjungi Hahndorf, sebuah desa kecil yang dikenal sebagai komunitas Jerman tertua di Australia Selatan.

Di Hahndorf, suasananya seperti melangkah ke masa lalu. Deretan rumah bergaya Bavarian, toko roti tradisional, dan galeri seni lokal menciptakan nuansa Eropa yang kental di tengah lanskap Australia. Saya menikmati berjalan di jalanan berbatu, mencicipi roti segar, dan berbincang dengan penduduk yang ramah. Dari mereka, saya belajar tentang pentingnya menjaga akar budaya di tengah arus modernisasi.

Kunjungan ke Hahndorf memberi saya perspektif baru — bahwa belajar di luar negeri bukan hanya tentang memperdalam ilmu akademik, tetapi juga tentang memahami keberagaman manusia dan nilai-nilai yang mereka jaga. Pengalaman itu menumbuhkan rasa hormat yang lebih dalam terhadap kearifan lokal, baik di Australia maupun di tanah air sendiri.


Selain kunjungan budaya, akhir pekan saya sering isi dengan bersepeda keliling kota. Salah satu rute favorit adalah menuju Port Adelaide, kawasan pelabuhan bersejarah yang menyimpan banyak cerita tentang perjalanan migrasi dan perdagangan di masa lalu. Bersepeda di sepanjang jalur tepi sungai sambil merasakan angin laut yang sejuk menjadi cara saya untuk menjaga kebugaran sekaligus mengenal lingkungan sekitar. Di Port Adelaide, saya senang berhenti di museum maritim, pasar tradisional, atau sekadar menikmati kopi di kafe tua yang masih mempertahankan gaya arsitektur kolonialnya.

Dari aktivitas-aktivitas kecil itu, saya belajar bahwa hidup di negeri orang tidak hanya soal belajar akademik, tapi juga tentang mengenal cara hidup, menghargai keberagaman, dan menumbuhkan empati lintas budaya. Setiap perjalanan akhir pekan, setiap percakapan dengan warga lokal, memberi saya pelajaran tentang kesederhanaan, kerja keras, dan pentingnya keterbukaan.